Mohon tunggu...
Candra Permadi
Candra Permadi Mohon Tunggu... r/n

r/n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Draft NBA 2025, Panggung Para Pemain Muda Bisa Nembak

16 Juli 2025   22:25 Diperbarui: 19 Juli 2025   12:11 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tabel rataan statistik para rookie NBA 2025 selama bermain di kampus (sport reference)

Dalam permainan basket NBA belakangan, seorang point guard serbabisa,  yang rata-rata bertinggi mendekati 198 cm (atau lebih), pada dasarnya menjadi pelayan seorang big man jago ngeblok (yang biasanya juga otomatis jago ngedunk) plus tiga pemain yaitu shooting guard, small forward, dan power forward yang rata-rata dituntut untuk bisa menutup ruang gerak pemain lawan mulai dari area tiga angka, memotong umpan pemain lawan, menusuk, bergerak menyelinap tanpa bola di antara penjagaan pemain lawan, mengumpan, menembak, menyelesaikan serangan di bawah jaring, bahkan mungkin mengeblok bola seperti tugas borongan para point guard serbabisa tadi. Bahkan jika postur dan skill mendukung, big man  yang rata-rata bertinggi antara 208-213 cm (bahkan lebih) juga bisa ikut bermain di lima posisi sekaligus seperti empat pemain lainnya, sebagaimana peran Victor Wembanyama (221 cm) atau rookie NBA tahun ini Cooper Flagg (206 cm) yang digadang-gadang (oleh para pengamat dan penikmat pertandingan basket) setidaknya meraih satu cincin juara NBA, bahkan sebelum pemain yang bersangkutan melakoni pertandingan NBA pertamanya, sepanjang pemain yang bersangkutan mampu menjaga kebugaran dan sikap/ profesionalitas di dalam dan luar lapangan (berikut tim mereka masing-masing).

Potensi permainan cair ala Bub Carrington (7), Kyshawn George (18), Alex Sarr (20) dan rookie Tre Johnson (12), dan Will Riley

Menariknya, meski narasi cenderung berpihak pada para pemain yang beberapa waktu lalu akrab disebut unicorn tersebut (karena keunikan skill dan postur pemain yang bersangkutan), para pemain yang cenderung mampu beradaptasi dengan perkembangan permainan NBA dari waktu ke waktu justru adalah para pemain yang senantiasa mengasah kemampuan menembak, berikut kemampuan membaca permainan dan pergerakan pemain lawan sebagaimana para pemain yang menjadi wajah draft NBA 2009 seperti Steph Curry, James Harden, Jrue Holiday, atau Demar DeRozan, meski harus diakui umpan-umpan memikat ala Ricky Rubio dan permainan komplet ala Blake Griffin, yang boleh jadi menjadi cikal bakal permainan ala unicorn, turut memberi warna tersendiri bagi permainan basket secara umum, bahkan hingga sekarang.

Ikoniknya beberapa draft NBA, termasuk angkatan 1996 (yang diwakili Allen Iverson, Kobe Bryant, Steve Nash, Ray Allen, atau Peja Stojakovic), 2003 (dengan Lebron James, Carmelo Anthony, dan Dwyane Wade-nya) atau 2009 justru menggambarkan bahwa para pemain yang permainannya mampu berkembang dari tiap draft cenderung tidak banyak. Antara lima sampai delapan pemain tiap angkatan terbilang cukup bagus lantaran kebanyakan lebih sering kurang dari itu, bahkan sebelum draft NBA dibatasi menjadi hanya dua putaran sejak tahun 1989, di mana tiap tim berhak memilih dua pemain sepanjang draft tim bersangkutan tidak terbang ke tim lain sebagai bagian transaksi pertukaran pemain atau pertukaran urutan draft seperti lima draft yang dimiliki Brooklyn Nets musim ini yang dua di antaranya didapatkan dari New York Knicks dan Houston Rockets. 

Tidak seperti kebiasaan tim NBA belakangan pada umumnya, alih-alih digunakan sebagai alat tukar untuk mendatangkan pemain yang lebih matang atau setidaknya sebagian ditukarkan dengan draft tahun(-tahun) mendatang dari tim lain, kelima draft tersebut justru digunakan Nets untuk mendatangkan lima rookie sekaligus yang sekilas sama-sama bertipe playmaker dengan finishing prima (kecuali mungkin big man jangkung Danny Wolf yang juga bisa jadi secondary playmaker sekaligus screener  berkat postur, visi dan jump shot lumayan), yang meski terkesan kurang jago tembak, kelimanya, di atas kertas, bisa langsung berkontribusi di atas lapangan sejak hari pertama kompetisi tanpa ekspetasi berlebihan yang rata-rata disematkan pada para draft awal NBA, termasuk juga musim ini, yang rata-rata masih perlu mengasah beberapa skill potensialnya.
Kebetulan, meski tidak sepenuhnya sama, Nets pernah melakukan hal serupa lewat beberapa pemain relatif muda yang turut memperkuat tim tersebut pada musim 2017-18 seperti Jarret Allen (Cleveland Cavaliers), Caris LeVert (Detroit Pistons), D'Angelo Russel (Dallas Mavericks), atau Spencer Dinwiddie (Charlotte Hornets), yang meski akhirnya dilepas juga, misal Russel yang dikirim ke Golden State Warriors demi mendapatkan jasa superstar Kevin Durant (2019), keempat atau setidaknya tiga nama terakhir, meski tidak selalu menonjol,  sudah bertualang, minimal sebagai pemain cadangan rutin produktif setidaknya pada dua tim berbeda, sebelum sama-sama bermain untuk tim baru musim depan. Terlebih sebagai tim muda, kepingan komposisi pemain Nets belum selengkap tim-tim yang memulai proses peremajaan tim lebih awal, meski boleh jadi Nets juga terinspirasi oleh gaya permainan Indiana Pacers yang diperkuat banyak pemain bertipe serupa, yang skema permainannya, setidaknya sudah diperlihatkan Nets, selama kompetisi Summer League (yang sedang berlangsung saat ini). 


Terlepas dari itu semua, meski tidak selalu, sejauh berada di papan bawah, tim-tim yang kerap mendatangkan pemain dengan postur dan/atau gaya permainan yang khas, seperti halnya Nets, (kadang) Orlando Magic, Charlotte Hornets atau Washington Wizard kerap menjadi penyumbang pemain bagi tim-tim kompetitif untuk melengkapi kepingan permainan yang dibutuhkan, dengan istilah seller untuk tim yang melepas pemain yang menjadi incaran, serta buyer untuk tim yang kelak mendatangkan pemain yang menjadi incaran tersebut. 

Kuncinya tinggal niat awal. Apakah tim-tim tersebut sedari awal memang berniat menjadi seller (para rookie) dari awal seperti halnya Nets era rookie Jarret Allen cs atau "terpaksa" menjadi seller lantaran penampilan pemain kelak justru lebih matang ketimbang penampilan tim itu sendiri seperti halnya para alumni tim papan bawah yang rata-rata tampil konsisten setidaknya di babak semifinal (final wilayah) NBA sebagai role player atau rotasi rutin tim bersangkutan. #CalebMartin #PJWashington #BobyPortis 

Rekan sekaligus penerus Rudy Gobert di Minnesota Timberwolves dan timnas Perancis

Kehadiran para pemain yang gaya bermainnya dibutuhkan nyaris seluruh tim NBA seperti halnya para alumni dan rookie Nets tadi, terutama pada tim-tim kompetitif membuat para pemain muda kurang mendapat jam terbang seperti halnya pemain Detroit Pistons, Ron Holland (draft NBA no. 5, 2004) atau duo Houston Rockets, Reed Sheppard (2, 2004) atau Cam Whitmore (20, 2003) yang pindah ke Washington Wizard demi mendapat kesempatan bermain lebih baik.

Meski tidak selalu berasal dari draft-draft awal, para rookie memang  cenderung lebih bersahabat dengan tim-tim yang sedang membangun kembali timnya dari awal bermaterikan pemain muda atau tim-tim yang sudah sejak lama dikenal rajin memainkan para rookie, seperti Miami Heat (dengan para pemain antah-berantahnya), Memphis Grizzlies (dengan pemain berkesan kurang bertenaganya, namun entah kenapa punya jump shot kalem dan defense luwes), Chicago Bulls, San Antonio Spurs (yang sistem pembibitan juga ditiru Oklahoma City Thunder).


Terlebih usia para rookie pada draft NBA belakangan juga jauh lebih muda dari pendahulunya seperti Michael Jordan (3, 1984), Larry Bird (6, 1978), atau bahkan Tim Duncan (1, 1997), yang sempat menimba pengalaman antara tiga sampai empat musim di kampus masing-masing, dan kelak bermain dengan sesama rookie dari angkatan (yang tidak) berbeda (jauh), selama setidaknya lima atau enam musim, sebagaimana para pemain yang memperkuat tim-tim yang tampil dominan dari era 1960-an hingga mungkin pertengahan 1990-an, seiring makin berkembangnya jumlah tim NBA di era tersebut, berikut kompetisi antar tim di dalamnya.

Entah gimana Miami Heat selalu bisa memberi ruang berkembang untuk para rookie-nya termasuk (mungkin) Kasparas Jakucionis

Boleh jadi dimulai oleh Houston Rockets pada pertengahan dekade 1990-an, nyaris semua tim, termasuk Chicago Bulls yang awalnya lebih banyak memainkan pemain binaan sendiri saat meraih tiga gelar juara beruntun pertama (1991-1993), mulai memercayakan para pemain yang matang bersama tim lain seperti Ron Harper (Los Angeles Clippers), bokap draft NBA no.2 musim ini, Dylan Harper, defender bengal Dennis Rodman (Detroit Pistons), serta center Minnesota Timberwolves, Luc Longley, untuk menemani duo pemain kunci mereka Toni Kukoc eh Scottie Pippen dan Michael Jordan yang turut membawa Bulls meraih tiga cincin juara beruntun kedua (1996-1998).

Menariknya, meski pertimbangan tim dalam memilih calon rookie incarannya, khususnya pada urutan-urutan awal, biasanya tidak berbeda jauh dari konsensus yang didasarkan pada penampilan dominan pemain bersangkutan sepanjang musim (berikut keunikan skill, postur, hingga kematangan permainan), yang logika pembenarannya bisa ditelururi setidaknya lewat klip scouting report, keputusan tim dalam memilih rookie kadang juga dipengaruhi permainan yang sedang tren atau setidaknya sosok kunci yang ada di dalamnya, meski tidak selalu berasal dari tim juara, seperti halnya saat Minnesota Timberwolves memilih Andrew Wiggins (1, 2014) yang gaya bermainnya sempat disandingkan dengan Kawhi Leonard, yang naik daun tepat sebelum Wiggins didraft atau Trae Young (5, 2018) yang visi serta rataan percobaan tembakan tiga angka sempat disamakan dengan Steph Curry, meski Trae justru kini lebih dikenal sebagai playmaker licin produktif ketimbang penembak jitu.

Ekspetasi penikmat NBA terhadap para rookie justru kerap baru terpenuhi ketika trennya sudah tidak lagi seheboh di awal, sebagaimana draft angkatan 2022 yang justru berhasil memenuhi ekspetasi yang disematkan pada draft angkatan 2019 yang awalnya mengedepankan potensi para pemain tangkas yang akurasi tembakannya belum begitu terasah seperti Zion Williams, Jarret Culver, Cam Reddish, Romeo Langford atau Grant Williams.


Channel Resmi NBA

Berbekal akurasi tembakan yang lebih terasah, para pemain seperti Paolo Bonchero, Jalen Williams, Jaden Ivy, hingga Ben Mathurin yang awalnya terlihat lebih cungkring, justru bisa terlihat lebih kokoh namun tetap luwes, dua atau tiga tahun setelahnya, tepatnya saat malam pemilihan rookie NBA atau yang lebih akrab disebut draft night. Kesiapan postur dan kematangan permainan para rookie tahun 2022 tersebut (bahkan setahun sebelumnya) seolah menjadi kriteria pembanding bagi para pemain yang setidaknya bisa masuk bursa draft NBA tahun-tahun berikutnya, selama tidak ada perbedaan mendasar pada permainan NBA yang hadir belakangan.

Tabel rataan statistik para rookie NBA 2025 selama bermain di kampus (sport reference)
Tabel rataan statistik para rookie NBA 2025 selama bermain di kampus (sport reference)

semua statistik diolah berdasarkan data dari basketball reference yang bisa jadi rada kurang akurat karena salah ketik (sport reference)
semua statistik diolah berdasarkan data dari basketball reference yang bisa jadi rada kurang akurat karena salah ketik (sport reference)

semua tabel coretan abal-abal ini sumbernya sama. Tips paling gampang ngecek gaya maen tim, liat tabel rataan 3PA dan akurasi 3P%
semua tabel coretan abal-abal ini sumbernya sama. Tips paling gampang ngecek gaya maen tim, liat tabel rataan 3PA dan akurasi 3P%

Menariknya, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, para pemain yang didraft pada urutan-urutan awal pada angkatan kali ini kebanyakan bukan pemain yang dijadikan pijakan awal dalam membangun tim muda lantaran setidaknya sembilan  draft urutan awal bermain bersama tim yang gaya permainannya sudah mulai terbentuk setidaknya satu atau dua tahun sebelumnya, misal, tentu saja,  Copper Flagg yang berkat skill-nya yang relatif komplet, terutama dari sisi defense dan visi permainan, membuatnya ditugaskan menjadi  pelayan  big man Daniel Gafford (Derreck Lively) plus trio guard/forward yaitu forward dominan Anthony Davis (yang dilapis forward tangkas PJ Washington), forward jago tembak Klay Thompson (forward muda ulet Max Christie), hingga guard kurang bertenaga jago tembak. D'Angelo Russell (atau playmaker defensif Australia Dante Exum) yang sama-sama mengisi peran guard produktif serbabisa Kyrie Irving yang tengah dalam masa pemulihan.

Sebagaimana Flagg, penembak jitu tangkas Tre Johnson (6, 2005) bersama sesama rookie Wizard lain yaitu penembak jitu merangkap playmaker luwes Will Riley, dan forward luwes bertenaga Jamir Watkins, juga bermain bersama para pemain muda berpengalaman yang rata-rata berfisik prima dengan visi bagus seperti playmaker Bub Carrington, guard Kyshawn George, mini Giannis (tapi maksa), Bilal Coulibaly, hingga center Alex Sarr yang punya rataan assist cukup bagus untuk seorang center.

basketball reference 
basketball reference 

Tabel Rataan klasemen Orlando Magic 
Tabel Rataan klasemen Orlando Magic 

proses cara ngambil rataan klasemen tiap tim yangjumlah tim keseluruhan dan jatah tim yang lolos playoff selalu berkembang 
proses cara ngambil rataan klasemen tiap tim yangjumlah tim keseluruhan dan jatah tim yang lolos playoff selalu berkembang 

Dengan barisan pemain muda yang arah permainannya sudah mulai terlihat, tidak mengherankan, jika, para pemain senior, yang rata-rata mampu memastikan raihan angka Wizard tetap terjaga seperti Khris Middleton, Marcus Smart, atau bahkan pemain baru CJ McCollum bisa berganti seragam di tengah kompetisi musim baru berjalan kelak.

Perkembangan fisik para para pemain jago tembak (meski ga selalu dari area tiga angka) draft NBA 2022   
Perkembangan fisik para para pemain jago tembak (meski ga selalu dari area tiga angka) draft NBA 2022   

Seperti halnya para draft Wizard yang turut melengkapi kepingan permainan yang mulai terbentuk. Kehadiran rookie favorit saya Kon Knueppel beserta kompatriotnya Liam McNeely dan rookie jangkung tahun lalu Brandon Miller juga turut mempertegas gaya permainan run and gun yang membutuhkan serangan balik dan pengambilan keputusan cepat, segera setelah tembakan pemain lawan luput, seperti identitas yang bahkan sudah mulai berkembang sejak Hornets era awal lewat para point guard mungilnya  seperti Muggsy Bogues (160 cm), DJ Augustin dan Kemba Waler (183 cm), Terry Rozier (185 cm), atau playmaker jangkung Lamelo Ball, yang tetap menjaga permainan bertempo cepat ala Hornets, yang dikelilingi sesama penembak jitu seperti Josh Green atau Pat Connaughton, sekaligus dilindungi pemain luwes bertenaga seperti Miles Bridges, rookie Sion James , atau center baru mereka Mason Plumlee beserta pelapisnya, rookie  Ryan Kalkebrenner, atau fotokopian Lamelo (juga) favorit saya Tidjane Selaun, serta penjaga identitas guard mungil Hornets, Tre Mann (191 cm).

tabel rataan klasemen wilayah timur. Knicks, Sixers, Celtics jadi tim yang konsisten maen di timur sejak debut
tabel rataan klasemen wilayah timur. Knicks, Sixers, Celtics jadi tim yang konsisten maen di timur sejak debut

 Rataan klasemen wilayah barat
 Rataan klasemen wilayah barat

Identitas yang kadang menarik disaksikan di atas lapangan, namun tidak selalu di papan skor dan statistik, lantaran lewat permainan cepat tersebut, Hornets lebih sering berada di luar peringkat delapan besar sejak tim ini berdiri tahun 1988, meski pencapaian tersebut juga dipengaruhi  kurang jelasnya visi permainan Hornets dari waktu ke waktu (dengan seringnya gonta-ganti pelatih), yang turut membuat para pemain senior enggan bermain untuk Hornets serta rentan cederanya beberapa pemain dalam beberapa musim terakhir, termasuk dua pemain kunci Lamelo Ball dan rookie Brandon Miller,

Melihat rekam jejak kebugaran Lamelo Ball selama bermain di NBA, Hornets lantas mendatangkan dua playmaker bertipe cepat sekaligus yaitu Collin Sexton dan Spencer Dinwiddie untuk mengantisipasi absennya Ball saat musim tengah berlangsung.

Langkah antisipasi yang sama juga diambil sesama tim muda, New Orleans Pelicans, yang justru mendatangkan sesama playmaker luwes Jeremy Fears dan sesama rookie yang lebih jangkung Derik Queen, yang secara gaya bermain sedikit tumpang tindih dengan Zion Williamson, yang lebih sering menepi selama masa pemulihan.

Tidak seperti gaya permainan tim NBA kebanyakan, dilindungi  Yves Missi di bawah jaring atau pemain baru Kevon Looney, permainan dua angka Pelicans justru makin kental dengan kehadiran dua pemain baru tadi, meski rataan percobaan tembakan tiga angka yang cukup banyak (namun belum tentu akurasinya) bisa dihadirkan oleh para pemain bengal seperti Jordan Poole dan Dejounte Murray, atau Trey Murphy (yang akurasi tembakan tiga angkanya lebih konsisten) yang biasa melapis sekaligus bermain bersama Herb Jones, salah satu defender terbaik NBA saat ini.

Dipadu dengan serangan balik cepat, identitas permainan dua angka juga ditunjukkan Toronto Raptors, tim yang entah kenapa terkesan lebih sering menunjukkan permainan yang lebih sering berseberangan dengan gaya permainan NBA yang sedang marak.

Diperkuat para pemain ulet bervisi prima, yang tidak selalu berpostur tinggi, para pemain seperti Ochai Agbaji, Scottie Barnes, Jonathan Mogbo, dan rookie Collin Murray Boyles (9,2005) yang gaya permainannya lebih terlihat seperti fotokopian satu sama lain, Raptors secara teori bakal lebih sering mempertontonkan kombinasi tusukan dan umpan tajamnya pada Jakob Poetl (selama yang bersangkutan tidak berpindah tim di tengah jalannya kompetisi) atau sesama playmaker tadi yang rata-rata sama-sama jago seruduk dan bergerak tanpa bola tersebut, termasuk pada Gradey Dick dan/ atau Ja'Kobe Walter (beserta pemain baru Brandon Ingram) yang paling punya akurasi tembakan tiga angka lumayan. 

Bahkan dengan kombinasi akurasi tembakan tiga angka dan pergerakan tanpa bola yang bagus, Dick justru bisa menjadi pembuka ruang bagi para mayoritas pemain Raptors yang punya akurasi tembakan tiga angka setara atau di bawah 36%, termasuk playmaker mungil mereka Jamal Shead.

Kehadiran playmaker yang senantiasa tidak terburu-buru saat memberikan umpan akurat, Tyus Jones (beserta playmaker rookie ulet Noah Penda) dan penembak jitu gempal favorit saya Desmond Bane (beserta calon pelapis sekaligus rekan di atas lapangan,  Jase Richardson yang punya akurasi umpan tajam dan tembakan tiga angka menjanjikan meski jumlah rataannya tidak banyak) bisa jadi bakal memberi warna tersendiri bagi permainan Orlando Magic  yang dikenal banyak diperkuat para pemain jangkung tangkas bertenaga yang kurang jago tembak dan hobi bergerak tanpa bola seperti playmaker Jalen Suggs, forward jangkung dengan visi bagus, Franz Wagner, serta pemain serbabisa gempal Paolo Banchero. Terlebih Magic tidak lagi diperkuat rookie binaan sendiri, Caleb Houston yang hijrah ke Atlanta Hawks. 

 Membahas permainan dua angka, tidak lengkap rasanya tanpa membahas tim yang di atas kertas memainkan permainan bertempo cepat seperti San Antonio Spurs yang bisa jadi memainkan komposisi 2-2-1 lewat permainan duo playmaker jago seruduk (kurang jago tembak) DeAron Fox (Jordan McLaughlin) dan Stephon Castle (dan/atau Dylan Harper) plus dua pemain dengan jump shot kalem mematikan Devin Vassell (atau Keldon Johnson) dan Harrison Barnes (atau Kelly Olynyk yang dikenal jago membuka ruang dengan menjadi dinding pemantul bagi para pemain yang bergerak tanpa bola), menemani Victor Wembanyama (Wemby) yang bisa bermain bergantian atau malah bersama big man jago tembak, Luke Kornet, terutama jika salah satu dari mereka bermain dari area tiga angka atau setidaknya, dekat area lemparan bebas sebagai power forward.


Bahkan, dengan komposisi pemain yang luwes dan postur yang mendukung, Spurs praktis bisa memainkan tiga guard sekaligus dalam skema 1-3-1, dengan memaksa Harper (198 cm) yang mewarisi kemampuan defense dari bokapnya sebagai forward, menemani para guard Fox, Castle, atau bahkan McLaughlin yang lebih mungil.

Komposisi yang juga luwes juga bisa dipertontonkan Atlanta Hawks, entah kenapa, terlepas bakal mendapat menit bermain yang cukup atau tidak, lewat kehadiran rookie luwes bertenaga Asa Newell (23, 2005), yang mesti sedikit,  mengingatkan saya pada Hawks era Dominique Wilkins yang bermain bersama playmaker mungil Doc Rivers, guard tidak egois Randy Wittman, serta forward tangkas Kevin Wills (atau pelapisnya yang lebih luwes Cliff Levingston beserta big man kalem, Tree Rollins.

Terlebih, musim ini Hawks memainkan para forward tangkas paten yang cenderung kaku seperti Dyson Daniels (yang bisa dilapis guard luwes Kobe Buffkin atau shooter murni Luke Kennard), Jalen Johnson (rookie Asa Newell yang cenderung lebih lincah bertenaga) dan Zacharie Risarcher (yang akurasi tembakan tiga angkanya paling menonjol di antaranya ketiganya) <yang bisa dilapis atau bermain bersama defender jago tembak Nickeil Alexander Walker) yang bukan hanya melindungi guard mungil kurang jago defense mereka Trae Young, tapi juga sebagai petarung apabila apabila center utama mereka yang rentan cedera Kristaps Porzingis (dan pelapisnya yang lebih kalem Onyeka Okongwu) bermain dari area tiga angka, termasuk bersama Luke Kennard yang dikenal kurang jago defense.

Kemiripan dengan permainan generasi jadul, di atas kertas juga bisa dipertontonkan Portland Trail Blazers yang dengan mendatangkan rookie lambat tapi lincah asal tiongkok Yang Hansen (yang bisa dilapis big man skillful sabar Donovan Clingan) yang otomatis mengingatkan kita pada era Nikola Jokic eh Avidas Sabonis, big man kreatif dengan visi bagus yang juga dikelilingi para pemain yang jago bergerak dengan atau tanpa bola termasuk para pemain Blazers terkini yang dikenal tangkas dan kurang jago tembak termasuk playmaker mereka Scoot Handerson (yang bisa dilapis sekaligus bermain bersama playmaker senior jago defense dan nembak Jrue Holiday), guard kekar dan tangkas Shaedon Sharpe (dan/atau defender jago steal dan ngeblok Toumani Camara), secondary playmaker jangkung lumayan jago tembak Deni Avdija (shooter Rayan Ruppert), plus forward tangkas senior Jerami Grant (Kris Murray yang punya dribel dan pergerakan luwes).

Utah Jazz jadi tim berikutnya yang tampaknya juga ikut meneruskan tradisi mereka lewat  komposisi pemain muda mereka sejak beberapa tahun lalu, terutama tradisi memainkan komposisi pemain dengan postur menonjol dengan peran yang jelas. Sebut saja Walker Kessler (213 cm) yang mengingatkan kita pada permainan big man raksasa Mark Eaton atau Greg Ostertaag yang lebih tangkas, tapi tetap lebih jangkung dari big man NBA kebanyakan.

Tembakan akurat dari power forward seperti Karl Malone dan Carlos Boozer juga ditunjukkan Kyle kyle filipowski, pemain senior Kevin Love, atau Lauri Markannen (yang cepat atau lambat boleh jadi akan dilepas ke tim lain lantaran usia dan kematangan permainan Markannen kurang sesuai dengan visi permainan Jazz yang mengandalkan pemain muda),

Bahkan permainan ala tukang angkut air khas Byron Russell juga dihadirkan lewat permainan Tyler Hendricks yang tangkas dan jago block shot. Sayang alur permainan Jazz musim ini belum terlalu hidup lantaran Isaiah Collier, playmaker kalem yang lebih bernaluri pengumpan, belum menampakkan jiwa kepemimpinan seperti halnya para playmaker legendaris Jazz (atau mayoritas playmaker NBA terkini). Keyonte George yang juga sering menjadi starter di posisi serupa juga lebih bertipe guard yang produktif mencetak angka ketimbang pengatur serangan.

Kehadiran rookie  Ace Bailey, yang mengingatkan saya pada forward jangkung Minnesota Timberwolves, Kevin Garnett, berkat defense dan tembakan akurat satu versus satunya, seolah juga belum menjawab kebutuhan Jazz akan sosok playmaker dengan gaya permainan yang kuat lantaran Bailey cenderung langsung menembak begitu menerima umpan, layaknya mantan duo Chicago Bulls (dan sekarang Sacramento Kings) Zach Levine dan Demar Derozan, yang meski akurat, justru menghambat alur permainan tim.

Berbicara tentang Bulls yang dikenal jago memoles talenta superstar seperti layaknya Michael Jordan, Derrick Rose, dan Jimmy Butler yang dikenal sama-sama mampu menggendong timnya melaju jauh di babak playoff di eranya masing-masing, Bulls tampaknya mencoba menapak jalur yang sama dengan mendatangkan big man luwes jangkung jago tembak asal Perancis, Noa Essengue (dan big man Australia, Lachlan Olbrich, dengan dribel, tusukan dan umpan lumayan prima), yang bersama rookie mereka tahun lalu, Matas Buzelis,  justru mengingatkan kita pada mantan rookie Bulls, Lauri Markannen, yang tampil solid selama kompetisi summer league kali ini, meski harus diakui dari sisi kesungguhan dalam bermain belum sekental para legenda Bulls di atas. Terlepas dari itu semua, setidaknya kehadiran Essengue (dan Olbrich) yang juga punya visi prima, bisa saling mengisi atau bahkan menggantikan big man senior Nikola Vucevic di kemudian hari.

Membahas sekumpulan para rookie musim ini belum lengkap rasanya jika tidak membahas Phoenix Suns, yang bisa jadi tampil lebih menjanjikan berkat kedatangan para pemain baru, termasuk para rookie yang sesuai dengan kebutuhan tim.

 Jika perannya sebagai playmaker utama tidak diisi guard/ forward produktif, yang baru memperpanjang masa baktinya bersama Suns, Devin Booker, (berikut calon pelapis/rekan guard di lapangan, rookie Koby Brea, yang dikenal sebagai penembak jitu dengan akurasi tembakan menonjol), playmaker produktif Jalen Green yang dikenal kurang efisien mencetak angka bakal menjadi pelayan bagi rookie Khaman Maluach, yang seperti juga duo big man Suns lainnya, Mark Williams dan Nick Richard (apabila tidak berpindah tim) sama-sama jago menyambut umpan lambung, meski Maluach juga dikenal jago membaca permainan dan pergerakan pemain lawan, terutama dari sisi defense plus trio forward yang bisa diisi Booker dan salah dua dari tiga defender merangkap penembak jitu mungil: Dillon Brooks, Royce O’Neal (198 cm), dan pemain Bengal Grayson Allen (193 cm), yang praktis bisa bermain bersama apabila Booker/Green bermain sebagai playmaker, dengan catatan Bradley Beal, yang menurut kabar terbaru akan bermain bersama Los Angeles Clippers, tidak lagi bermain bersama tim.

Jika ingin memainkan permainan yang lebih bertenaga, peran salah satu forward Suns bisa diisi Ryan Dunn  (198 cm) yang dikenal jago memotong umpan pemain lawan dan mengeblok bola seperti halnya Oso Ighodaro (208 cm), yang juga hobi bergerak dari area tiga angka sebelum menuntaskan serangan atau umpan di bawah jaring.

Sayang, meski punya pergerakan tanpa bola yang bagus, setidaknya musim lalu, Dunn dan Ighodaro, kurang terlihat sering membuka ruang lewat umpan pada pemain yang lebih bebas atau bergerak tanpa bola.

Jika ingin memainkan skema permainan yang lebih luwes, pelatih baru Suns Jordan Ott, bisa memainkan forward kalem Nigel Hayes Davis atau rookie Rasheer Fleeming (206 cm) yang terbilang klise eh tangkas dan lumayan jago tembak.

Dengan kekurangan yang terbilang cukup jelas, Suns boleh jadi masih perlu satu hingga dua langkah ke depan untuk menjadi tim yang lebih solid. Hanya saja lewat skema permainan yang sudah lebih terarah, mestinya Suns bisa lebih memaksimalkan potensi tim dari dalam, setidaknya dengan memberi kepercayaan dan peran lebih luas pada para pemain mudanya, seperti Ighodaro, yang sudah mulai terlihat selama kompetisi Summer League kali ini.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun