Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 mengadopsi prinsip kemandirian dalam tata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai bagian integral dari prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Dalam Pasal 1A ayat (2), disebutkan bahwa prinsip tata kelola perusahaan yang baik meliputi beberapa aspek, antara lain transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kemandirian, dan kewajaran. Penjelasan lebih lanjut dalam UU ini menyatakan bahwa prinsip kemandirian adalah prinsip yang melandasi penyelenggaraan BUMN dengan menjaga profesionalisme tanpa mengedepankan benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip korporasi yang sehat. Prinsip ini bertujuan untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil oleh BUMN tidak terpengaruh oleh kepentingan luar yang tidak sesuai dengan tujuan perusahaan atau kepentingan negara.
Baca juga:
- Kebijakan Strategis ESG BUMN dan Relevansinya dengan Prinsip-prinsip Corporate Governance
- Ujian Kemandirian BUMN
- Larangan Benturan Kepentingan Tapi Bukan Penyelenggara Negara
- Tugas Mulia Danantara Mewujudkan Demokrasi Ekonomi (Bag.1)
- Kekayaan Negara yang Dipisahkan (KNyD), Legenda Keuangan Negara (Bag.1)
Untuk memastikan bahwa prinsip kemandirian ini berhasil diimplementasikan, dibutuhkan sejumlah prasyarat yang lebih mendalam, sebagaimana dijelaskan dalam teori kebijakan publik. Salah satu hal yang paling penting adalah komitmen politik yang kuat dari seluruh pihak yang terlibat, termasuk pemerintah, pengelola BUMN, serta legislatif. Tanpa dukungan politik yang konsisten, kebijakan mengenai kemandirian di BUMN akan kesulitan diterapkan secara efektif.
Komitmen politik dari aktor-aktor utama dalam kebijakan sangat penting dalam menentukan keberhasilan implementasi kebijakan publik (Sabatier,1988). Kebijakan yang dipengaruhi oleh komitmen politik yang lemah sering kali tidak mampu bertahan dalam jangka panjang atau gagal mencapai tujuannya. Keberhasilan implementasi kemandirian juga sangat bergantung pada keterlibatan aktif seluruh pemangku kepentingan. Dalam hal ini, pihak internal BUMN tidak dapat bekerja sendiri, melainkan perlu berkoordinasi dengan stakeholder eksternal seperti pemerintah daerah, masyarakat sekitar, dan sektor swasta. Keterlibatan mereka akan memastikan bahwa prinsip kemandirian dalam operasional BUMN dapat tetap dijaga tanpa terpengaruh oleh kepentingan pribadi atau kelompok tertentu yang bertentangan dengan peraturan dan prinsip korporasi yang sehat. Keterlibatan pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan yang transparan akan memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan tetap efektif dan tidak terdistorsi oleh pengaruh eksternal.
Selanjutnya, kesiapan sumber daya yang memadai merupakan prasyarat penting dalam penerapan prinsip kemandirian. Kesiapan ini mengacu pada ketersediaan sumber daya manusia yang terlatih dalam tata kelola yang baik dan memiliki pemahaman yang jelas tentang prinsip kemandirian. Selain itu, diperlukan pula infrastruktur yang mendukung transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan. Tanpa adanya kapasitas sumber daya yang cukup, kebijakan ini akan sulit diterapkan dengan maksimal. Grindle (1980) menyoroti bahwa implementasi kebijakan yang sukses sangat bergantung pada kesiapan sumber daya yang tersedia, baik dalam bentuk dana, kapasitas SDM, maupun infrastruktur yang memadai.
Transparansi dalam pengambilan keputusan dan pengawasan yang ketat juga merupakan elemen penting dalam memastikan prinsip kemandirian dapat diterapkan dengan efektif. Keputusan-keputusan yang diambil oleh BUMN harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, baik dalam aspek keuangan, operasional, maupun manajerial. Tanpa adanya pengawasan yang kuat, penerapan kemandirian di BUMN bisa terpengaruh oleh kepentingan pihak luar yang tidak sah. Pengawasan yang efektif adalah kunci untuk memastikan bahwa kebijakan publik dijalankan sesuai dengan tujuannya dan untuk menjaga agar tidak terjadi penyimpangan dari prinsip yang telah ditetapkan.
Evaluasi berkelanjutan terhadap kebijakan yang diterapkan juga menjadi aspek penting dalam memastikan prinsip kemandirian berjalan dengan baik. Evaluasi ini bertujuan untuk memantau efektivitas kebijakan dan memastikan bahwa kebijakan tersebut tetap relevan dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungan sosial dan ekonomi. Evaluasi ini bagian integral dari implementasi kebijakan, yang memungkinkan identifikasi masalah dan memberikan ruang bagi perbaikan kebijakan agar tetap relevan.
Selain itu, pengelolaan resistensi terhadap kebijakan menjadi tantangan besar dalam penerapan prinsip kemandirian. Resistensi bisa muncul dari pihak-pihak yang merasa terancam oleh perubahan kebijakan. Oleh karena itu, sangat penting bagi BUMN untuk mengelola resistensi ini dengan baik, melalui pelibatan pihak yang terpengaruh dan penjelasan yang jelas mengenai pentingnya prinsip kemandirian dalam menjaga keberlanjutan dan efisiensi operasional perusahaan. Implementasi kebijakan tidak hanya melibatkan penyesuaian terhadap prosedur administratif, tetapi juga mencakup pengelolaan konflik dan interaksi antara berbagai pihak yang terlibat dalam kebijakan tersebut (Van Meter dan Van Horn, 1975).
Akhirnya, untuk memastikan bahwa prinsip kemandirian diterapkan secara konsisten, perlu ada sistem sanksi yang jelas dan tegas bagi pihak-pihak yang melanggar ketentuan yang telah ditetapkan. Sanksi ini bertujuan untuk memberikan dorongan agar kebijakan diterapkan dengan tegas dan tidak mudah dilanggar. Sistem sanksi yang tegas akan memberikan dorongan untuk menjaga integritas dan independensi BUMN dalam pengambilan keputusan mereka. Lipsky (1980) berpendapat bahwa keberhasilan kebijakan sangat bergantung pada keberhasilan dalam menetapkan dan menegakkan aturan serta sanksi yang jelas bagi pelaksana kebijakan.
Daftar Pustaka
Grindle, M. S. (1980). Politics and Policy Implementation in the Third World. Princeton University Press.