Mohon tunggu...
ruslan effendi
ruslan effendi Mohon Tunggu... Pengamat APBN dan Korporasi.

Lulusan S3 Akuntansi. Penulis pada International Journal of Public Administration, Frontiers in Built Environment, IntechOpen, Cogent Social Sciences, dan Penulis Buku Pandangan Seorang Akuntan: Penganganggaran Pendidikan Publik Untuk Kualitas Dan Keadilan (Pengantar Prof. Indra Bastian, MBA., Ph.D.)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa AS dan Tiongkok Tak Saling Tutup Pintu Sekalian Saja?

14 April 2025   05:26 Diperbarui: 14 April 2025   05:26 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam suasana penuh ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok, banyak yang bertanya-tanya: jika kedua negara saling tuding, saling menaikkan tarif, dan saling menghambat akses pasar satu sama lain, mengapa tidak sekalian saja memutus hubungan dagang total? Mengapa tidak saling melarang ekspor-impor secara menyeluruh? Jawabannya tidak sesederhana kalkulasi untung-rugi jangka pendek. Sebaliknya, ia justru terletak dalam logika strategis yang lebih dalam, yaitu Prisoner's Dilemma dalam teori permainan.

Prisoner's Dilemma adalah metafora klasik yang menggambarkan situasi dua aktor yang rasional namun saling mencurigai, sehingga akhirnya memilih tindakan yang justru merugikan keduanya. Dalam konteks ini, Amerika Serikat dan Tiongkok dapat dianggap sebagai dua tahanan yang ditangkap bersamaan dan diinterogasi secara terpisah. Mereka memiliki dua pilihan: bekerja sama (cooperate)---yakni mempertahankan perdagangan bebas secara relatif terbuka---atau saling menghukum (defect) dengan menaikkan tarif, memberlakukan pembatasan ekspor, atau menyabotase akses teknologi. Jika keduanya memilih bekerja sama, mereka akan sama-sama menikmati keuntungan moderat dari sistem perdagangan terbuka. Jika satu pihak memilih berkhianat sementara pihak lain tetap kooperatif, maka si pengkhianat akan menikmati keuntungan jangka pendek yang lebih besar, sementara yang lain mengalami kerugian. Namun jika keduanya berkhianat, keduanya akan menanggung kerugian akibat perang dagang yang berkepanjangan.

Larangan ekspor-impor total, yang dalam analogi ini adalah bentuk "pengkhianatan absolut", justru mendekati titik kehancuran bersama atau mutually assured destruction. Amerika Serikat akan kehilangan akses pada barang manufaktur murah, komponen strategis, dan bahan baku penting dari Tiongkok. Di sisi lain, Tiongkok akan kehilangan pasar ekspor yang menjadi penyumbang utama surplus neraca perdagangannya dan motor pertumbuhan industrinya. Kedua pihak akan menghadapi disrupsi ekonomi besar, termasuk inflasi, kehilangan pekerjaan, dan instabilitas sosial. Karena itu, baik AS maupun Tiongkok justru memilih strategi pertengahan: saling menaikkan tarif, membatasi ekspor teknologi, hingga memberlakukan hambatan non-tarif---namun tetap menjaga jalur perdagangan tetap terbuka dalam batas minimum.

Namun, perbedaan mendasar antara Prisoner's Dilemma klasik dan kasus perdagangan AS--Tiongkok terletak pada konteks globalisasi. Dalam ekonomi dunia saat ini, permainan tidak hanya melibatkan dua pemain, melainkan ratusan negara yang saling terhubung dalam multi-player iterated game. Baik AS maupun Tiongkok memang memiliki opsi untuk mencari mitra dagang baru---seperti Vietnam, India, Meksiko, atau Uni Eropa. Tetapi substitusi ini bukan tanpa friksi. Kompleksitas rantai pasok global yang telah terbangun selama dua dekade membuat transisi ke mitra baru sangat mahal dan memakan waktu. Banyak perusahaan Amerika mengandalkan pemasok di Tiongkok untuk barang setengah jadi atau komponen teknologi tinggi dalam sistem produksi just-in-time. Demikian pula, perusahaan-perusahaan Tiongkok menggantungkan ekspor mereka pada pasar konsumen besar seperti Amerika. Interkoneksi ini menciptakan bentuk ketergantungan yang tidak mudah digantikan, bahkan oleh relokasi strategis sekalipun.

Rantai pasok global tidak hanya kompleks dalam struktur logistiknya, tetapi juga dalam aspek institusional, regulasi, dan kepercayaan bisnis. Substitusi pemasok atau pasar bukan hanya soal biaya, tetapi juga soal standarisasi mutu, kepastian pasokan, perlindungan hak kekayaan intelektual, hingga kerangka legal dan diplomatik. Itulah sebabnya, opsi untuk "beralih ke negara lain" bersifat potensial, tetapi tidak serta-merta dapat menggantikan nilai strategis dari mempertahankan relasi dagang utama---betapapun rapuh dan penuh tensi politiknya.

Tarif dalam konteks ini berfungsi sebagai sinyal strategis: digunakan untuk menunjukkan ketidaksenangan, untuk menekan lawan, atau untuk merespons tekanan politik domestik. Namun pada saat yang sama, ia tetap menyisakan ruang kompromi. Penelitian seperti yang dilakukan oleh Grossman dan Helpman (1995) dalam Journal of Political Economy menunjukkan bahwa perang dagang sering kali didorong oleh tekanan kelompok kepentingan dalam negeri, bukan oleh niatan murni untuk menghentikan hubungan dagang. Bahkan tarif sekalipun sering dimanfaatkan sebagai alat diplomasi yang dirancang untuk merundingkan ulang kesepakatan, bukan untuk sepenuhnya menghentikan kerja sama.

Pada akhirnya, baik Amerika maupun Tiongkok menyadari bahwa mereka terikat dalam permainan jangka panjang, di mana kesabaran strategis lebih menguntungkan dibandingkan langkah-langkah destruktif yang emosional. Mereka saling mencurigai, saling mengancam, dan saling menekan---tetapi juga saling tahu bahwa saling menghancurkan bukanlah pilihan rasional. Seperti dua tahanan dalam dilema klasik, AS dan Tiongkok terjebak dalam hubungan yang ambigu: musuh dalam retorika, mitra dalam realitas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun