Wah! Lama-lama robot ini bisa lebih pintar dari kita, Don.
Iya, bener! Lama-lama die jadi kite, kite jadi die. Cuman die ada kurangnya satu, gak bisa protes.
Siapa bilang? Bisa kalau boleh.
Eh, sama juga bohong.
Dalam artikel Humor Berkelas adalah Mengkritik terbit di Kompas, 22 Maret 1996, Dono melihat sejak tahun 1980-an hingga 1990-an, masyarakat berkembang semakin kritis. Tuntutan masyarakat terhadap pelawak menjadi tinggi. "Istilahnya sekarang ini, ikut berperan mendidik bangsa," tulis Dono.
Ini membuat beban pelawak kian berat. Mereka tak hanya harus lucu, melainkan juga mesti cerdas dan kritis terhadap keadaan sosial dan politik di sekitarnya. "Maka berbanggalah wahai pelawak, Anda telah menggantikan peran kaum intelektual," kelakar pria yang juga dikenal sebagai pengajar di almamaternya ini.
Memasuki dekade kedua era milenium, pamor lawak berkelompok kian pudar dan makin tergantikan oleh komedian tunggal. Di masa ini, para pelakonnya pun kerap membawakan tema-tema kritik sosial, termasuk soal kegelisahan terhadap perilaku petinggi negeri.
Termasuk juga yang dibawakan oleh komedian Ate, yang saya tuliskan di awal tulisan ini.
Anggota DPR Bonnie Triyana, seperti dikutip Tempo, menyambut positif kritik pedas yang disampaikan dengan berbalut humor oleh para komika. Menurut anggota Fraksi PDI Perjuangan ini, apa yang disampaikan oleh para komika tak ubahnya gaya humor Warkop DKI di masa lalu, melalui penampilan di atas pentas atau di dalam film.
"Sepanjang nggak melempar granat, menembak dengan pistol, atau menusuk orang, nggak ada masalah. Silakan kritik DPR dengan keras lewat lelucon," ujarnya.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Asep Suryana, seperti dikutip Tempo, menilai pejabat publik cenderung menyukai kritik yang dilontarkan oleh komedian ketimbang demonstran. Sebab kritik dari komedian cenderung tak memberi 'ancaman' langsung bagi institusi ataupun jabatan seseorang. Tentunya karena kritik oleh komedian atau komika lebih kental unsur hiburan ketimbang tekanan.