Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis

Historia Magistra Vitae (Sejarah adalah guru bagi kehidupan)

Selanjutnya

Tutup

Humor Artikel Utama

Berkembangnya Komedi Kritik dan Tersumbatnya Saluran Aspirasi

5 September 2025   20:50 Diperbarui: 6 September 2025   14:08 942
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Personil Warkop DKI, Indro (kiri), Dono (kedua kiri), dan Kasino. (Sumber foto: Kompas/Rudy Badil)

Komedian sama politisi kan sama ya? Sama-sama ada lucunya.

Bedanya kalau komedian lucunya di kehidupan, politisi lucunya di kebijakan....

Itulah sebait punchline monolog komedi yang dibawakan oleh komedian tunggal Fatih Andika, atau yang lebih dikenal dengan mononim Ate, dalam sebuah pentas yang saya hadiri beberapa waktu lalu.

Ate membawakan monolog itu di hadapan dua menteri anggota Kabinet Merah Putih, yakni Menko Bidang PMK Pratikno dan Mendagri Tito Karnavian yang juga hadir. Tawa kedua pembantu tugas Presiden Prabowo Subianto itu pun lepas menyaksikan penampilan sang komedian di atas pentas.

Aman ya, Pak, aman...? Lanjut ya, Pak....

Beberapa kali Ate bertanya seusai menyampaikan beberapa bit dalam monolog komedi itu. Matanya memandang ke arah Pratikno dan Tito. Ia pun melanjutkan monolognya soal 'aman'.

Kalau pejabat yang baik diamanin sama ajudan, yang nggak baik diamanin KPK....

Berbicara soal komedi yang mengangkat kritik sosial dalam penyajiannya, memang bukan hal yang baru. Kritik berbalut komedi bahkan telah dibawakan sejak sebelum republik ini berdiri.

Seperti kesenian ludruk di Jawa Timur, yang memadukan penyajian humor dengan sindiran kehidupan rakyat kecil.

Sunaryo dkk. (1997) dalam jurnal Perkembangan Ludruk di Jawa Timur, menyebut pada masa pemerintahan Hindia Belanda, fungsi ludruk dibagi menjadi dua, yakni sekunder dan primer.

Fungsi primer kesenian ludruk adalah digunakan dalam upacara adat dan ritual tertentu, estetis, dan sarana hiburan rakyat. Saat masa-masa perjuangan melawan penjajah, ludruk juga berfungsi sebagai alat perjuangan meraih kemerdekaan, sekaligus sebagai media kritik sosial kepada pemerintah Hindia Belanda saat itu. Sementara fungsi sekunder ludruk antara lain sebagai sarana pendidikan, penguat solidaritas, mengajarkan kebijaksanaan, dan lain-lain.

Adapun kritik sosial pada gelaran ludruk disampaikan melalui parikan atau pantun, yang dikemas secara halus.

Berlanjut pada masa penjajahan Jepang, salah satu parikan yang terkenal menjadi simbol perjuangan adalah:

Bekupon omahe doro, melok Nippon tambah soro

(Pagupon rumah burung dara, ikut Jepang tambah sengsara)

Parikan itu justru menjadi bumerang bagi sang seniman, Cak Durasim. Ia ditangkap oleh serdadu Jepang atas laporan mata-mata pribumi yang mengikuti kiprah keseniannya.

Cak Durasim pun dijebloskan ke Penjara Genteng Kali, Surabaya, hingga mengembuskan napas terakhir di tempat itu. Namanya kini diabadikan sebagai pusat kesenian di Taman Budaya Jawa Timur.

Di era panggung komedi modern pasca-kemerdekaan, Grup lawak Srimulat menjadi salah satu kelompok lawak yang kerap menyajikan kritik sosial dalam banyak pertunjukannya. Kritik sosial ini dahulu juga menjadi bagian dari Dagelan Mataram, yang menjadi inspirasi pertunjukan humor yang disajikan oleh kelompok yang didirikan oleh pasangan suami istri Teguh Slamet Rahardjo dan Raden Ayu Sri Mulat ini.

Selain kritik sosial, Dagelan Mataram kerap mengisahkan penderitaan rakyat, kemiskinan, penipuan, penindasan, tindakan yang menyimpang dari norma-norma masyarakat, percintaan, sesuatu yang irasional, folklor, dan mistisisme.

Pada medio dekade 70-an, pemerintahan Orde Baru yang kian mencapai kejayaannya justru kembali menggugah kesadaran kalangan mahasiswa untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap mulai 'melenceng'.

Pada era ini, salah seorang mahasiswa Universitas Indonesia, Temmy Lesanpura yang juga Kepala Program di Radio Prambors, menawari tiga orang rekannya untuk mengisi program di radio yang namanya diambil dari akronim Prambanan, Mendut, Borobudur, dan sekitarnya itu.

Ketiga mahasiswa itu yakni Rudy David Badil, Kasino Hadiwibowo, dan Nanu Muljono. Nama program Radio Prambors itu yakni Obrolan Santai di Warung Kopi atau juga kerap disebut Warkop untuk mempermudah penyebutan. Mereka bertiga memulai bersiaran pada 23 September 1973 dan mengudara setiap Kamis malam.

Usai Peristiwa Malari, program Warkop tetap berjalan dengan menghadirkan tambahan pengisi acara, Wahjoe Sardono alias Dono. Dua tahun berselang, bergabunglah Indrodjojo Kusumonegoro.

Dalam siarannya, Warkop menghadirkan dialog-dialog yang membahas hal-hal yang dekat dengan kehidupan masyarakat, hingga sindiran halus terhadap jalannya pemerintahan.

Sukses di program radio, para pengisi acara Warkop kemudian merambah panggung pertunjukan. Di sinilah mereka mulai merintis kejayaan, dengan tetap menyajikan kritik sosial yang berbalut humor.

Salah satunya, ketika kuartet Dono-Kasino-Indro-Nanu — minus Rudy Badil yang memilih melanjutkan karier jurnalistiknya — menyajikan lelucon tentang ketakutan terhadap militer. Mereka berkisah ada seonggok mumi yang ditemukan di suatu negara, namun tak satu pun ahli dari seluruh dunia bisa mengungkap asal usul dan usia mumi tersebut.

Namun ketika dibawa ke Indonesia, para ahli bisa langsung mengungkap misteri yang belum terpecahkan itu. Dunia pun heboh bagaimana bisa asal-usul dan usia mumi langsung bisa terungkap di Indonesia?

Ternyata, mumi itu dibawa Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) bentukan rezim Orde Baru. "Jadi baru nyampe gerbang saja, itu mumi udah ngaku duluan karena ketakutan," Indro menyebutkan punchline humor itu.

Namun Indro menyebut, meski kental akan kritik, humor-humor satire Warkop DKI bukan sekadar sentilan tanpa dasar. Ada riset yang dilakukan untuk melahirkan sentilan-sentilan tersebut. Bahkan, Warkop didukung oleh banyak "kontributor ide", utamanya berasal dari mahasiswa dan para aktivis yang dekat dengan mereka.

Termasuk juga dari para 'junior' mereka, seperti Tubagus Deddy Gumelar — yang kemudian dikenal sebagai Miing Bagito — yang mengawali kariernya di jagad komedi nasional dengan menjadi penulis naskah materi lawakan untuk Warkop DKI.

Miing juga sempat muncul beberapa kali sebagai figuran dalam film Warkop DKI, salah satunya dalam film Sama Juga Bohong (1986). Di sini, ia berperan sebagai pedagang pasar yang merasa tersaingi oleh hadirnya trio Warkop DKI yang berjualan dengan menggunakan robot.

Dalam film ini pula, robot disimbolkan sebagai sosok yang hanya bisa menerima keputusan tanpa mampu memprotes.

Wah! Lama-lama robot ini bisa lebih pintar dari kita, Don.

Iya, bener! Lama-lama die jadi kite, kite jadi die. Cuman die ada kurangnya satu, gak bisa protes.

Siapa bilang? Bisa kalau boleh.

Eh, sama juga bohong.

Dalam artikel Humor Berkelas adalah Mengkritik terbit di Kompas, 22 Maret 1996, Dono melihat sejak tahun 1980-an hingga 1990-an, masyarakat berkembang semakin kritis. Tuntutan masyarakat terhadap pelawak menjadi tinggi. "Istilahnya sekarang ini, ikut berperan mendidik bangsa," tulis Dono.

Ini membuat beban pelawak kian berat. Mereka tak hanya harus lucu, melainkan juga mesti cerdas dan kritis terhadap keadaan sosial dan politik di sekitarnya. "Maka berbanggalah wahai pelawak, Anda telah menggantikan peran kaum intelektual," kelakar pria yang juga dikenal sebagai pengajar di almamaternya ini.

Memasuki dekade kedua era milenium, pamor lawak berkelompok kian pudar dan makin tergantikan oleh komedian tunggal. Di masa ini, para pelakonnya pun kerap membawakan tema-tema kritik sosial, termasuk soal kegelisahan terhadap perilaku petinggi negeri.

Termasuk juga yang dibawakan oleh komedian Ate, yang saya tuliskan di awal tulisan ini.

Anggota DPR Bonnie Triyana, seperti dikutip Tempo, menyambut positif kritik pedas yang disampaikan dengan berbalut humor oleh para komika. Menurut anggota Fraksi PDI Perjuangan ini, apa yang disampaikan oleh para komika tak ubahnya gaya humor Warkop DKI di masa lalu, melalui penampilan di atas pentas atau di dalam film.

"Sepanjang nggak melempar granat, menembak dengan pistol, atau menusuk orang, nggak ada masalah. Silakan kritik DPR dengan keras lewat lelucon," ujarnya.

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Asep Suryana, seperti dikutip Tempo, menilai pejabat publik cenderung menyukai kritik yang dilontarkan oleh komedian ketimbang demonstran. Sebab kritik dari komedian cenderung tak memberi 'ancaman' langsung bagi institusi ataupun jabatan seseorang. Tentunya karena kritik oleh komedian atau komika lebih kental unsur hiburan ketimbang tekanan.

Namun Dono berpendapat, jangan-jangan dengan adanya tuntutan agar para komedian menyajikan materi lawakan bernada kritis, boleh jadi itu menandakan semakin tertutupnya lembaga-lembaga atau saluran untuk menyampaikan kontrol dan aspirasi resmi kepada pemegang kekuasaan mengenai masalah politik.

Nyatanya, 24 tahun setelah wafatnya Dono, pendapat itu masih relevan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun