Mohon tunggu...
Muhammad Ghonim
Muhammad Ghonim Mohon Tunggu... Mahasiswa

Aktif terlibat dalam gerakan kemanusiaan, sosial dan ekologi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menuju Nol Persen Kemiskinan: Unsur Keadilan Sosial atau Anasir Politik Presiden

20 Agustus 2025   07:45 Diperbarui: 10 Oktober 2025   11:52 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh Muhammad Ghonim

Tahun pertama, semester awal setelah terpilihnya Prabowo Subianto sebagai presiden, perhatian masyarakat seakan tak pernah surut. Agenda politik padat, dinamika sosial meluas, hingga warisan pemerintahan sebelumnya yang tak sepenuhnya bersih---semua itu menjadi riuh dalam ruang transisi. Slogan "keberlanjutan" yang terus diulang-ulang seolah memberi kesan jalan lurus tanpa belokan, padahal kita tahu, di balik kata itu sering tersembunyi warisan buruk yang baru sekarang mulai diungkap.

Indonesia memang tidak pernah kehabisan mimpi. Dari swasembada beras, swasembada gula, sampai swasembada utang yang entah sejak kapan kita rayakan sebagai "prestasi". Saya ingin berhenti pada satu momen yang membuat saya mengernyit sekaligus tersenyum miris: pidato Presiden Prabowo di Sidang MPR, 15 Agustus 2025, ketika ia dengan lantang menyatakan kehendak untuk membawa Indonesia menuju "0% kemiskinan".
Kalimat itu mengundang decak kagum sekaligus tanya yang getir. Benarkah mungkin sebuah bangsa dengan sejarah panjang ketimpangan, korupsi, dan birokrasi berlapis bisa mencapai titik nol dari kemiskinan? Atau jangan-jangan "0%" hanyalah angka retoris, semacam utopia politik yang dipakai untuk mengangkat moral bangsa, padahal fondasinya rapuh?

Di sinilah saya merasa penting untuk meragu: apa sebenarnya yang dimaksud dengan kemiskinan? Kenapa ada miskin dan kaya? Kenapa kemiskinan justru sering tampak seolah harus dipelihara, sementara kekayaan dijadikan tolok ukur kemajuan?
Kemiskinan, bagi sebagian elit, hanyalah statistik. Angka yang bisa dinaik-turunkan sesuai kepentingan. BPS bisa mengubah garis kemiskinan hanya dengan menyesuaikan harga beras dan kebutuhan kalori. Tapi bagi mereka yang hidup dengan upah tak layak, yang harus memilih antara beli obat atau bayar listrik, kemiskinan bukan sekadar angka---kemiskinan adalah napas harian yang mencekik.

Maka ketika seorang presiden berbicara tentang "0% kemiskinan", saya jadi tergoda untuk membongkar struktur berpikir yang lebih dalam:
Apakah kemiskinan bisa benar-benar dihapus dalam sistem ekonomi global yang memang lahir dari logika eksploitasi?
Apakah mungkin hilang di negeri yang kebijakan publiknya kerap mandeg karena birokrasi yang gemuk dan lebih loyal pada rente ketimbang rakyat?
Apakah nol persen itu cita-cita, atau sekadar ilusi untuk meninabobokan rakyat agar lupa bahwa distribusi kekayaan masih begitu timpang?

Mari kita jujur. Kekayaan bangsa ini luar biasa, tapi siapa yang menikmatinya? Dari tanah yang disulap jadi komoditas tambang, dari hutan yang dirampas demi perkebunan sawit, dari nelayan yang terjepit kapal besar asing---siapa yang paling untung? Jawabannya berulang kali sama: segelintir orang, kelompok, atau perusahaan.

Sementara itu, kemiskinan di akar rumput dipelihara dalam bentuk bantuan sosial yang terus digelontorkan. Bantuan yang sering lebih menyerupai candu ketergantungan ketimbang strategi pemberdayaan. Miskin akhirnya bukan keadaan yang dihapus, melainkan keadaan yang dikelola. Miskin dipelihara agar tetap ada, sebab keberadaannya justru menghidupi mesin politik.
Maka 0% kemiskinan menjadi wacana yang absurd jika akar masalahnya tidak dibongkar. Karena pada dasarnya, kemiskinan bukan hanya soal "tidak punya uang", melainkan soal ketidakadilan struktural. Ia terkait erat dengan distribusi, akses, dan kuasa.

Saya tidak menolak harapan. Saya paham bahwa sebuah bangsa butuh visi, bahkan yang terdengar mustahil sekalipun. Tapi jangan lupa, utopia bisa berbahaya ketika ia hanya jadi mantera untuk melupakan kenyataan. Jika kemiskinan memang ingin dihapus, maka langkah pertama bukan dengan pidato bombastis, melainkan dengan keberanian menantang struktur: oligarki yang mencengkeram, birokrasi yang lamban, dan politik yang lebih mengutamakan konsesi elit daripada hak rakyat.

Apakah presiden berani sejauh itu? Apakah kita, rakyat, siap menagihnya tanpa henti?
Dan bila hari ini kata-kata itu lahir dari mulut seorang kepala negara, maka kita berhak menjawabnya dengan sikap: jangan sekadar angka, Jangan sekadar janji. Karena kemiskinan bukan takdir, kemiskinan adalah produk dari sistem---dan setiap sistem bisa digulingkan, bisa ditata ulang, bila rakyat menolak tunduk.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun