Mohon tunggu...
Cahya Dewi Mariana
Cahya Dewi Mariana Mohon Tunggu... -

belajar menuangkan ide dalam bentuk tulisan, untuk dibaca, dinikmati, dan diambil hikmah positif nya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | "Grandpa"

14 Mei 2018   14:26 Diperbarui: 14 Mei 2018   14:46 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(sticker bunga)

Kamu bersikap manis sekali, tiap pagi menyapaku seperti mesin ceklok dikantor. Kamu mengirimiku video murotal surah Toha yang menurutmu itu bacaan tajwid terbaik, agar bisa kudengar sambil bekerja. Kamu membuatku seperti butiran salju yang turun ditengah kerontangnya gurun pasir. Meleleh. Ya Tuhan, aku tertikam dengan perasaan ini, menghujam semakin dalam.

Kata orang cinta itu seperti musik, ia akan membuat siapapun yang mendengarnya selalu bersenandung, meskipun musiknya telah lama berhenti. Ya benar, aku masih hanyut dalam ilusi tentangmu, meski kamu sudah menghentikan percakapan ini sejak beberapa jam yang lalu. Hatiku seperti menari, terus saja menari meski telingaku tak lagi mendengar seperti apa alunannya. Di benakku kamu masih disini, didekatku. Oh! Andai saja aku bisa menerjemahkan perasaan semacam apa ini.

****

Seperti halnya Sang Waktu, adakalanya melewati pagi, siang lalu malam. Seperti halnya perputaran musim di negaramu, adakalanya harus melewati musim dingin, musim semi, musim panas lalu musim gugur. Semua berjalan sesuai masanya. Begitupun dengan kamu dan aku, dengan kita, untuk dua hari yang lalu, kemarin dan hari ini.

Untuk pertama kalinya kita tidak bercakap dalam waktu selama ini. Ponselku bisu. Ke mana kamu? Ini sudah pukul sebelas siang waktu sana, tidak mungkin kamu belum bangun apalagi melewatkan sholat shubuh sesiang ini. Apa kamu sedang sibuk dengan kegemaran barumu unggah video tentang tempat dan kuliner kekinian di negaramu? Entahlah, perasaanku mulai bercampur aduk. Aku gelisah.

Sebenarnya seberapa kenal aku denganmu? Mengapa aku meracau begini? Belakangan pertanyaan ini sering datang mengusikku. Baru dua bulan aku mengenalmu. Iya, benar! Dua bulan. Itupun dari situs perjodohan online. Entah sejak kapan aku mulai berburu jodoh dari situs itu. Sial! Sepertinya aku sudah putus asa menemukan pria lajang disekitarku. Aku tak mengerti, tetiba para lelaki dengan cepat ditakdirkan menikah dan beranak. 

Kemudian menghilang dan enggan dihubungi meski hanya dengan sekedar sapaan apa kabar. Dan aku terpaku disini mulai menyadari pentingnya mempunyai pasangan. Terlambat?? Mungkin sebagian orang akan beranggapan begitu, karena terlalu sibuk berkutat dengan urusan karir, sih! Sindir mereka mencibir. Tapi bagiku, hanya soal waktu.

Tuhan mempunyai waktu yang sempurna agar masing-masing ciptaan-Nya berpasangan. Waktu itu tidak bisa dipaksa agar cepat datang, pun tidak akan pernah terlambat. Pas! Kita hanya diminta untuk sedikit bersabar dan yakin, tapi yang pasti, saat itu pantas untuk ditunggu.

Bermula dari sapaan hangatmu di kotak pesanku. Lalu percakapan pindah ke messenger, lebih nyaman disini bisa video call suatu saat, katamu. Aku mengintip beberapa foto mempesonamu. Ada foto berlatar belakang savana dan perbukitan pinus di sebuah daerah di kawasan Siberia. Di foto itu tubuhmu yang jangkung berbalut jaket biru tua dengan bawahan celana kargo tiga perempat. Lengkap dengan sneaker warna senada.

Ada foto dengan siluet wajah yang menonjolkan hidung mancungmu, ala patung Romawi yang terpampang ditengah perkotaan Mediterania, hasil karya Sang Maestro. Kamu itu berdarah German - Arab. Alismu seperti barisan semut hitam. Bola matamu abu-abu dengan sorot tajam seperti burung hantu ditengah malam. Guratan wajahmu kian sempurna dengan kumis dan rambut - rambut tipis yang meliuk indah mulai dari bawah telinga hingga dagu. Ckckck....Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan, decakku setiap melihat sosokmu, difoto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun