Mohon tunggu...
Candrika Adhiyasa
Candrika Adhiyasa Mohon Tunggu... Guru - Orang biasa

pelamun, perokok, kurus, agak kepala batu, penikmat sastra terjemahan dan filsafat. Instagram dan Twitter @candrimen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jazz yang Melamun

12 Agustus 2021   04:04 Diperbarui: 12 Agustus 2021   04:10 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            Langkah kakinya masih tanpa suara. Ia berjalan dengan pelan, tanpa alasan. Ia sendiri tidak tahu sejak kapan ia berubah menjadi seperti ini. Kenapa aku bergerak seperti ini? tanyanya dalam hati. Tentu saja tidak ada yang menjawabnya, bahkan dirinya sendiri. Maka, ia menuangkan Martell ke dalam seloki. Menyimpan botolnya di meja, dan kembali duduk. Kilatan tipis bergerak di seloki itu, ia memandanginya dengan tatapan dingin, kemudian meneguknya. Ada sensasi panas dan dingin bersamaan di tenggorokannya. Matanya terpejam.

            Fascinating Rhythm mengalun ...

            Lelaki itu berpikir. Bagaimana suatu musik, suatu susunan bunyi, dapat membawa seseorang ke suatu tempat yang jauh? Seperti halnya saat ini, ia merasa dibawa ke suatu kota yang diselubungi suara manusia yang teredam. Di suatu kota yang tak ia kenali namanya, tak ia kenali lanskapnya, tak ia kenali nama-nama di dalamnya. Meski begitu, ia merasa sudah berada di kota itu selama puluhan tahun dan kemudian baru berkesempatan mengunjunginya kembali setelah sekian lama. Suatu keadaan nostaljik. Bagaimana mungkin suatu musik, suatu susunan bunyi, dapat membawa seseorang ke suatu tempat yang jauh?

            Ia ingin sekali merokok, tetapi lidahnya terasa pahit. Kemudian memutuskan untuk minum lagi. Susunan tulang punggungnya serasa tidak tepat, ia merasa linu dan berat. Andai tubuh manusia itu seperti mesin, ia sangat ingin mengganti seluruh onderdil tubuhnya, dan kemudian---barangkali saja---memulai kehidupan baru. Hidup yang sehat dan penuh gairah. Namun tentu saja itu tidak mungkin, setidaknya untuk saat ini. Kemudian tiba-tiba ia membayangkan film lama yang pernah ditontonnya, Terminator.

            Apakah di kemudian hari akan ada entitas "kehidupan" lain semacam itu? Sesuatu yang kita kenal hari ini dengan nama robot. Misalnya, kemudian hari, struktur tubuh besi itu akan dapat ditransformasikan ke dalam daging buatan, dan kemudian diberikan suatu kecerdasan buatan, artificial intellegent. Suatu kecerdasan utuh yang mendekati---atau bahkan sama---dengan manusia. Suatu sistem kesadaran yang dapat belajar, berkembang, berkepribadian.

            Suatu hari nanti---yang entah kapan---itu akan menjadi mungkin.

            Pada saat masa itu terjadi, barangkali saja, sejarah tidak akan terpaku lagi dengan kenangan, nostalgia, ingatan ... melainkan sekadar terpaku pada dokumentasi data memori dengan kapasitas tertentu. Peristiwa terbungkus sebagai file dan data digital di dalam memori kecerdasan buatan itu. Lalu, apakah peran perasaan, emosi, dan sentimentalitas juga akan tersingkirkan? Lelaki itu ragu apabila suatu kecerdasan buatan itu, meskipun memang akhirnya bisa tercipta, akan mampu menyamai sistem perasaan manusia yang begitu rumit dan sulit diprediksi.

            It Ain't Necessarily So menyala ...

Lelaki itu membayangkan dunia yang tumbuh tanpa perasaan, dan kemudian merasa rawan. Meski tidak mengerti perasaan macam apa yang timbul di benaknya saat ini, ia merasa takut. Diam-diam ia berharap peradaban robotik macam itu tidak datang terlalu cepat.

            Dalam ketakutan itu, ia tersenyum tipis. Merasa bahwa akalnya bekerja dengan tidak beres. Ia tidak merasa harus memikirkan hal tersebut, tetapi seringkali ia tidak bisa membendung arah pikirannya sendiri. Sistem pikiran manusia memang bekerja secara misterius, meski sudah berusaha dipetakan sedemikian rupa oleh berbagai disiplin keilmuan.

Pencarian akan kebenaran paling abadi sepanjang peradaban umat manusia adalah mengenai kebenaran tentang alam semesta, dan kebenaran tentang manusia itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun