Mohon tunggu...
Rofatul Atfah
Rofatul Atfah Mohon Tunggu... Guru - Guru Tidak Tetap

Seorang guru biasa dan Ibu dari anak-anaknya yang istimewa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

CSR (Bukan) untuk Membangun Sekolah

6 Desember 2013   01:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:16 1821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Umumnya Corporate Social Responsibility (CSR) diwujudkan dalam bentuk benda. Entah itu berupa bantuan uang atau pendanaan, konstruksi bangunan, ataupun pembangunan infrastruktur. Jika pun ada program CSR untuk pendidikan, paling tidak hanya berupa pembangunan gedung sekolah, sumbangan fasilitas belajar-mengajar di sekolah, dan program-program pendidikan karitatif semacam pemberian beasiswa dan sebagainya.

Permasalahannya, dalam setiap pembangunan tentu ada yang tertinggal. Khususnya masyarakat dari kalangan ekonomi bawah, berpendidikan rendah, dan konservatif. Konflik yang terjadi di tengah masyarakat sebenarnya berhulu pada keterpinggiran mayoritas masyarakat asli daripada masyarakat pendatang. Apalagi bila konflik tersebut berkaitan dengan aktivitas keberadaan perusahaan pertambangan.

Konflik akan semakin meluas dan mendalam bila aktivitas pertambangan ternyata berbenturan dengan kepentingan pelestarian lingkungan maupun geologi. Misalnya penolakan masyarakat terhadap rencana penambangan pasir besi di Kebumen dan Garut ataupun pembangunan pabrik semen di kawasan pegunungan Kendeng Utara.

Di luar masalah itu masih ada lagi sengketa kepemilikan lahan. Lalu biasanya pula emosi yang menjadi kendali utama. Kekerasan dan pertumpahan darah pun akhirnya terjadi secara terbuka dan membuat bara dendam hingga waktu yang lama. Kepentingan kehormatan harga diri masyarakat seringkali menjadi alasan utama untuk meluapkan amarah. Bila kemudian terjadi perdamaian maka dipastikan harus ada imbal beli dalam bentuk uang. Meski itu dibungkus sebagai sumbangan, dana kerahiman, dana bantuan operasional, dan lain-lain.

Maka akhirnya, permasalahan seperti menggurita, pasca perdamaian masih tetap menghasilkan wajah sosial yang sama. Yaitu kesenjangan sosial ditengah masyarakat. Dan lagi-lagi setiap hasil pertumbuhan ekonomi tetap memperlihatkan dua sisi mata uang wajah masyarakat. Ada yang makmur namun belum tentu menjadi "tuan" di tanahnya sendiri. Sebaliknya, ada yang tertinggal, dan mudah tersulut untuk melakukan tindakan anarki. Demi sesuatu yang dulu dimiliki, kedamaian dan memiliki asal usul namun kini hilang justru di tanah kelahirannya sendiri.

Corporate Social Responsibility yang diidentikkan dengan limpahan uang yang sangat besar, contoh Rp 1.3 trilyun dari freeport untuk Papua, tetap tidak menjamin peningkatan taraf kehidupan yang manusiawi bagi rakyat Papua. Bahkan sampai kini dana tersebut menjadi rebutan berbagai kepentingan. Sementara rakyat Papua tetap dalam ketidak tahuannya, khususnya di bidang pendidikan.

Oleh karena itu, ada baiknya dana CSR digunakan untuk kebutuhan yang sangat mendasar, yaitu pendidikan. Namun bukan untuk membangun gedung sekolah. Ataupun sumbangan peralatan belajar mengajar. Tidak, justru hal tersebut yang membuat masyarakat seakan dinina bobokan dengan keberadaan sekolah yang seolah-olah menjadi "jembatan ajaib" menghantarkan dari bodoh menjadi pintar. Bukan gedung sekolah yang membuat masyarakat menjadi makmur dan tidak pergi meninggalkan tanah kelahirannya.

Jika saja dana CSR yang besar itu digunakan untuk menyusun suatu perencanaan pertumbuhan masyarakat dengan segala aspeknya, maka tempatnya adalah dengan membuat suatu "generasi sekolah" yang berkesinambungan dari satu generasi ke generasi lainnya. Hingga pada akhirnya generasi yang pertama dapat melanjutkan mengembangkan potensi sumber daya yang ada untuk kesejahteraan bersama.

Hanya saja, bentuk CSR di atas memerlukan waktu yang lama dan dana yang cukup besar. Mengingat rentang kegiatan mulai dari analisis kebutuhan (Need Assessment), pengerahan tenaga ahli sampai tenaga kerja kasar, pembangunan fisik (dalam bentuk sederhana), dan masih banyak lagi. Namun, meski begitu dampak positifnya adalah lebih terjaminnya kesejahteraan dan keadilan bersama. Serta lebih penting lagi keberadaan sebuah perusahaan tambang relatif aman dan bisa berumur panjang. Masyarakat telah merasa ikut memiliki perusahaan dan tentunya tidak ingin akhir dari kegiatan tambang merugikan dan merusak lingkungan.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, PT NEWMONT Nusa Tenggara dengan lokasi tambang Batu Hijaunya di Sumbawa Barat, kiranya dapat mengambil pelajaran berharga. Kabupaten Sumbawa Barat yang merupakan bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Barat dikaruniai sumber daya alam Batu Hijau.  Kegiatan tambang yang dimulai tahun 1999 tentunya bisa diperbandingkan dengan data statistik penduduk kabupaten Sumbawa Barat.

Dari data statistik kabupaten Sumbawa Barat 2005 - 2010, diketahui bahwa Angka Partisipasi Sekolah untuk usia 7 - 15 tahun hampir mencapai 100 %. Artinya kebutuhan akan pendidikan dasar telah terpenuhi. Sedangkan untuk usia 16 - 18 tahun yaitu usia tingkat pendidikan sekolah menengah, mengalami penurunan yaitu berkisar 50 - 76 %. Parahnya lagi di usia 19 - 24 tahun, di bawah 20 %. Artinya generasi yang mampu menyelesaikan sekolah hingga pendidikan tinggi hanya sekitar 2.300 orang (dari jumlah penduduk Sumbawa Barat sebesar 114.951 orang) dari tahun ke tahun selama PT. NEWMONT beroperasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun