Mohon tunggu...
Rofatul Atfah
Rofatul Atfah Mohon Tunggu... Guru - Guru Tidak Tetap

Seorang guru biasa dan Ibu dari anak-anaknya yang istimewa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiga Pertanyaan Terlalu Banyak

16 Mei 2016   22:34 Diperbarui: 16 Mei 2016   23:02 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sabtu, 14 Mei 2016, aku berkesempatan menikmati gemulainya kabut Kawah Putih, Ciwidey, Bandung Selatan. Udara dingin disertai hembusan angin menggelitik tulang membawaku kepada hening. Sejenak aku terfekur, menundukkan hati, meski bau belerang merasa ke hidung, aku tak perduli. Bagiku, bau belerang tak lebih buruk daripada asap knalpot, apalagi polusi udara pabrik ataupun bakaran sampah.

Aku pun enggan mengancingkan jaket wool tebalku. Aku terlanjur nyaman berkemul dengan oksigen segar yang menyeruak isi kepalaku. Hingga aku bisa kembali berfikir jernih, tidak pikun seperti biasanya. Aku sebenarnya ingin berlama-lama berdiri mematung memandang kabut yang perlahan datang dan pergi mengikuti terpaan angin. Aku tidak lagi lelah, meski sebuah perjalanan panjang kehidupan menjadikanku sebagai pemain akrobat dari satu jurang ke jurang yang lain.

Dan sebagaimana aku berdiam diri, relung fikiranku menerawang dalam batin. Menyibak labirin demi tiga pertanyaan. Untuk sementara cukuplah hanya tiga. Tiga saja dulu. Itu sudah melebihi separuh perjalanan kehidupanku sebagai manusia. Itupun sudah menjangkau duapertiga zaman dan tigaperempat beban jutaan anak manusia. Aku tidak mau lebih dari itu, karena sisa usiaku lagi belum tentu bisa menemukan jawaban dari sisa pertanyaan.

Pertanyaan pertama, ketika aku menemukan terlalu banyak kata dari aneka wajah manusia. Tidak, bukan tentang cantik, ganteng, atau jeleknya. Aku hanya jengah dengan kata-kata yang terukir dengan indah, penuh makna, dan tidak ada cela. Aku memang tidak pandai berkata. Aku apa adanya. Aku pun tidak bisa membuat orang senang dan terbuai dengan kata-kataku. Aku mungkin lugu, juga bodoh. Seharusnya aku bisa bermanis kata, berhiaskan bunga-bunga cerita. Namun bagiku itu tidak mungkin. Sebab aku akan menjadi terlalu aneh. Ya, aku memang kadang merasa aneh dengan diriku sendiri jika aku sudah berlebihan. Bukan karena aku sok suci, aku hanya merasa biasa saja.

Sampai aku menemukan pertanyaan pertama, "apakah benar yang mereka kata ?" Itu membuatku terdiam. Sungguh aku terdiam, karena memang aku tidak bisa menjawab dengan pasti. Aku takut salah menjawab. Jika pun bisa, bakal bisa ada perdebatan tak guna. Ataupun sakit hati tak terkira. Aku akan tidak nyaman bila sudah menjadi pusat tatapan mata, dari orang-orang yang menjadi gundah dengan pertanyaanku. Apalagi aku bertanya hanya untuk mempertanyakan, apakah selayaknya mereka bicara yang pertanyaannya sendiripun lebih pantas tertuju kepada dirinya.

Sudahlah. Aku tidak mau memperpanjang goresan hati. Cukup memandang telaga berhias kabut berselimut dingin dibatas langit. Dan tak dinyana, sebuah jawab datang. Terlalu lembut untuk didengar dengan telinga. Lebih baik dengan nurani. Kala banyak manusia beriang ria mematut diri aneka gaya, aku malah tersaput sebuah cerita.

"Bahwa pada akhirnya, ketika nyawa sudah dibawa kembali menghadap sang Pencipta, mulut tak lagi bisa bicara. Hanya amal yang tertera. Terkata hanya pada sepasang mata, sepasang telinga, sepasang tangan, sepasang kaki, kata hati, isi perut, dan kemaluan."

Aku tidak mau lagi melanjutkan. Terlalu menakutkan bagiku. Terjawab sudah pertanyaanku. Biarlah dimanapun banyak kata, bahkan siapapun layak berkata, tidak bisa menutup telinga dan mata untuk tidak mendengar dan melihat. Kini, semuanya serba mudah. Serba ada. Serba terbuka. Aku menarik nafas, jangan sampai aku berkata yang sia-sia, meski itu sebuah tulisan didalam WA. 

Pertanyaan kedua, ketika aku mencari kebenaran, diantara banyak kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Aku sepatutnya ingin meniru Al Ghazali yang membawa lentera kesana kemari disiang hari hanya untuk mencari dimana kebenaran. Tidak, itu zaman dahulu. Bukan karena aku tidak mau, tetapi aku tidak banyak waktu berdebat dengan banyak wajah terheran-heran dan pasti kemudian mendakwaku sebagai edan. Tidak, aku masih waras ditengah banyak kebingungan. Salah menjadi benar, benar menjadi salah, baik menjadi buruk, buruk menjadi baik, adil menjadi zalim, zalim menjadi adil, dan pintar menjadi bodoh, bodoh menjadi pintar, serta cerdas menjadi licik, licik menjadi cerdas. Akhirnya pelanduk pun mati ditengah-tengah.

Barangkali benar, perlahan tapi pasti, pelanduk-pelanduk polos sahaja akan mati ditengah-tengah, tidak karena diseruduk ataupun disepak para gajah. Melainkan karena tidak bisa berbuat banyak lagi dengan keadaan limbung yang harus dialami. Duhai, adakah ini pertanda akhir dunia sudah mendekat, seperti jarak jari telunjuk dan jari tengah ? Aku harap tidak demikian. Setidaknya dari peradaban lama yang kemudian ditemukan, perlu waktu berpuluh-puluh tahun, mungkin pula satu dua abad, luluh lantak tak berdaya.

Ya, aku kembali bertanya, "mengapa terlalu banyak orang mudah mengaku benar, baik, dan adil ?" Disaat masih banyak orang terpuruk, tetap saja ada yang merasa benar, baik, dan adil. Disaat masih banyak orang menangis, tetap saja ada yang tertawa karena merasa sudah benar, baik, dan adil. Disaat masih banyak orang dibunuh, diperkosa, diperbodoh, tetap saja ada yang bahagia karena merasa sudah benar, baik, dan adil.

"Para Nabi diutus kepada masing-masing umatnya tidak untuk masa sesaat. Namun bertahun-tahun, berpuluh tahun, dan ada yang 2 sampai 3 abad. Itupun tidak banyak orang yang percaya dan mau beriman, bahkan para Nabi pun ada yang sampai terusir dari kampung halamannya sendiri. Pun saat azab sudah sampai kepada kaumnya, masih lebih banyak orang yang ingkar, daripada tersadar."

Aku pun jatuh berlutut takzim. Lagi-lagi udara dingin Kawah Putih menenangkanku. Ya, apalah arti diriku. Sebuah kalimatpun tidak akan membuat orang menoleh. Aku menggoreskan kata di tanah endapan lahar purba pun tidak akan menjadi prasasti. Aku hanya orang biasa, bukan Nabi. Aku tidak akan bisa membuat orang menyadari hakikatnya karena memang aku tidak bermakna. Aku perlahan memejamkan mata. Serasa tidak ingin melihat dunia, tetapi mata tetap harus terbuka, karena aku masih hidup di dunia, bersama dengan mereka.

Pertanyaan ketiga, saat aku bertanya-tanya tentang diriku. Seberapa sengsarakah aku ? Oh, itu bukan pertanyaan. Melainkan sebuah gugatan. Aku tidak akan bertanya seperti itu. Aku hanya ingin bertanya mewakili sekian jumlah manusia. Namun, kembali ada yang mengusik diri. Aku perlu tahu, seberapa lama rizki bisa menghampiriku. Aku manusia biasa. Aku butuh jawaban pasti tentang perhitungan rizki manusia. Aku tidak mau berlama dalam pengharapan. Karena aku tidak mau terlalu parah terjerembab dalam berbagai jebakan.

Ya, aku harus bertanya. Sekarang kini pertanyaanku, "mengapa aku belum diberi rizki yang seperti air hujan di musim penghujan, rizki yang datang tiba-tiba datang berlimpah, rizki yang berpuluh kali lipat sebagaimana yang dijanjikan ?" Aku tersenyum getir. Membatin dalam lukisan semrawut di tanggal tua. Apalagi bulan Januari, Februari, dan Maret. Bulan paceklik anggaran pemerintah yang seret dan sarat politik. Itu sebenarnya lucu, menggelikan, sekaligus mengharukan. Karena hanya disebabkan alur prosedur panjang dan berliku, keringat seseorang telah kering sebelum upahnya diterima.

"Makasih, atas jasa dan pengorbanannya selama ini untuk diri saya," sebuah kalimat terbaca di sebuah akun IG menghentak ulu hati. Ternyata rizki tidak selalu harus berupa harga. Ternyata benar, rizki datang tidak disangka-sangka, dan tidak salah orang. Meski aku merasa ada yang tidak layak, namun Tuhan Maha Berkehendak. Manusia tidak boleh mengatur Tuhan tentang rizki pemberian-Nya walaupun disodori dengan sedekah. Manusia juga tidak bisa melarang satu sama lain menerima rizki dari Tuhan hanya karena ada berburuk sangka. Sungguh Tuhan lebih Maha Pandai dari semua mahluk-Nya. Lalu terbayang kembali tentang pertanyaan pertama.

Aku mengatupkan bibir. Mengakhiri tiga pertanyaan. Barangkali memang masih sulit dimengerti. Tapi, untunglah angin dingin Kawah Putih telah menyegarkan seluruh relung tubuhku. Masih ada banyak tanya dan gugatan, mungkin juga gugatan. Sebenarnya. Namun untuk kali ini, cukup sudah. Tiga pertanyaan terlalu banyak, aku tidak mau seperti kaum Bani Israil yang terlalu banyak bertanya hingga menyulitkan dirinya sendiri. Meski aku juga tidak mau begitu saja taqlid mengekangku seperti orang diberi kacamata kuda. Itu kata temanku dalam sebuah WA kepadaku.  Aku pun menutup perjalanan batinku meninggalkan Kawah Putih di belakangku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun