Mohon tunggu...
Rofatul Atfah
Rofatul Atfah Mohon Tunggu... Guru - Guru Tidak Tetap

Seorang guru biasa dan Ibu dari anak-anaknya yang istimewa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiga Pertanyaan Terlalu Banyak

16 Mei 2016   22:34 Diperbarui: 16 Mei 2016   23:02 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Para Nabi diutus kepada masing-masing umatnya tidak untuk masa sesaat. Namun bertahun-tahun, berpuluh tahun, dan ada yang 2 sampai 3 abad. Itupun tidak banyak orang yang percaya dan mau beriman, bahkan para Nabi pun ada yang sampai terusir dari kampung halamannya sendiri. Pun saat azab sudah sampai kepada kaumnya, masih lebih banyak orang yang ingkar, daripada tersadar."

Aku pun jatuh berlutut takzim. Lagi-lagi udara dingin Kawah Putih menenangkanku. Ya, apalah arti diriku. Sebuah kalimatpun tidak akan membuat orang menoleh. Aku menggoreskan kata di tanah endapan lahar purba pun tidak akan menjadi prasasti. Aku hanya orang biasa, bukan Nabi. Aku tidak akan bisa membuat orang menyadari hakikatnya karena memang aku tidak bermakna. Aku perlahan memejamkan mata. Serasa tidak ingin melihat dunia, tetapi mata tetap harus terbuka, karena aku masih hidup di dunia, bersama dengan mereka.

Pertanyaan ketiga, saat aku bertanya-tanya tentang diriku. Seberapa sengsarakah aku ? Oh, itu bukan pertanyaan. Melainkan sebuah gugatan. Aku tidak akan bertanya seperti itu. Aku hanya ingin bertanya mewakili sekian jumlah manusia. Namun, kembali ada yang mengusik diri. Aku perlu tahu, seberapa lama rizki bisa menghampiriku. Aku manusia biasa. Aku butuh jawaban pasti tentang perhitungan rizki manusia. Aku tidak mau berlama dalam pengharapan. Karena aku tidak mau terlalu parah terjerembab dalam berbagai jebakan.

Ya, aku harus bertanya. Sekarang kini pertanyaanku, "mengapa aku belum diberi rizki yang seperti air hujan di musim penghujan, rizki yang datang tiba-tiba datang berlimpah, rizki yang berpuluh kali lipat sebagaimana yang dijanjikan ?" Aku tersenyum getir. Membatin dalam lukisan semrawut di tanggal tua. Apalagi bulan Januari, Februari, dan Maret. Bulan paceklik anggaran pemerintah yang seret dan sarat politik. Itu sebenarnya lucu, menggelikan, sekaligus mengharukan. Karena hanya disebabkan alur prosedur panjang dan berliku, keringat seseorang telah kering sebelum upahnya diterima.

"Makasih, atas jasa dan pengorbanannya selama ini untuk diri saya," sebuah kalimat terbaca di sebuah akun IG menghentak ulu hati. Ternyata rizki tidak selalu harus berupa harga. Ternyata benar, rizki datang tidak disangka-sangka, dan tidak salah orang. Meski aku merasa ada yang tidak layak, namun Tuhan Maha Berkehendak. Manusia tidak boleh mengatur Tuhan tentang rizki pemberian-Nya walaupun disodori dengan sedekah. Manusia juga tidak bisa melarang satu sama lain menerima rizki dari Tuhan hanya karena ada berburuk sangka. Sungguh Tuhan lebih Maha Pandai dari semua mahluk-Nya. Lalu terbayang kembali tentang pertanyaan pertama.

Aku mengatupkan bibir. Mengakhiri tiga pertanyaan. Barangkali memang masih sulit dimengerti. Tapi, untunglah angin dingin Kawah Putih telah menyegarkan seluruh relung tubuhku. Masih ada banyak tanya dan gugatan, mungkin juga gugatan. Sebenarnya. Namun untuk kali ini, cukup sudah. Tiga pertanyaan terlalu banyak, aku tidak mau seperti kaum Bani Israil yang terlalu banyak bertanya hingga menyulitkan dirinya sendiri. Meski aku juga tidak mau begitu saja taqlid mengekangku seperti orang diberi kacamata kuda. Itu kata temanku dalam sebuah WA kepadaku.  Aku pun menutup perjalanan batinku meninggalkan Kawah Putih di belakangku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun