Ini belum ditambah fakta bahwa benua Asia didominasi tak kurang dari 10 negara kuat. Mulai dari kuartet langganan Piala Dunia seperti Jepang, Korea Selatan, Iran, dan Arab Saudi. Hingga China dan jawara-jawara tiap kawasan semisal Uzbekistan, Irak, Oman, Yordania, India, bahkan musuh abadi kita di AFF: Thailand.
Di sinilah dasar argumentasi pindah konfederasi tadi diletakkan. Jangan kata di level Asia, Indonesia itu bersaing di AFF saja sudah keteteran. Semakin ke sini semakin kedodoran menghadapi tetangga satu kawasan.
Dulu lawan kuat Indonesia boleh dibilang hanya Thailand. Namun kini sudah bertambah pula dengan Vietnam yang begitu sulit dikalahkan. Belum lagi Malaysia dan Singapura yang mempunyai kekuatan beda-beda tipis dengan Tim Garuda.
Di OFC, persentase peluang lolos ke Piala Dunia memang hanya 4,5% (hasil perhitungan 0,5 dibagi 11). Namun, sekali lagi, saingan terkuat Indonesia agaknya cuma Selandia Baru. Rasa-rasanya timnas kita tak akan menemui kesulitan berarti andai bertemu Tahiti, Fiji, Samoa Amerika, Tonga, Vanuatu, Kaledonia Baru, atau Papua Nugini.
Andai kemudian melaju ke pertandingan play-off antarkonfederasi, lawan yang akan dihadapi juga bukanlah kekuatan terbaik di konfederasi masing-masing. Lagi-lagi, peluang Indonesia terbuka lebar di sini.
Masih Relevankah?
Seiring berjalannya waktu, ternyata FIFA menambah jumlah kontestan putaran final Piala Dunia. Sudah menjadi kesepakatan Komite Eksekutif FIFA pada 10 Januari 2017, mulai gelaran Piala Dunia 2026 peserta akan bertambah menjadi 48 negara.
Bertambahnya jumlah kontestan putaran final Piala Dunia tentu berimbas pada bertambahnya jatah untuk masing-masing konfederasi. Per 2026, AFC mendapat kuota 8,33. Sepertiganya lagi didapat dari play-off melawan perwakilan CAF, Conmebol, Concacaf, dan OFC.
Perubahan ini membuat usulan pindah konfederasi jadi tidak relevan lagi, setidaknya bagi saya. Pasalnya, tambahan kuota berarti peluang negara-negara kelas menengah seperti Indonesia jadi bertambah besar pula.
Kalau kurang jelas biar saya ulangi, tebalkan dan garis bawahi. Kuota AFC untuk Piala Dunia bertambah menjadi dua kali lipat. Masakan Indonesia tidak juga bisa mendapatkan salah satunya?
Kalau mau jujur, penyebab utama prestasi Indonesia begini-begini saja selama puluhan tahun sebetulnya terletak di internal kita sendiri. Coach Timo yang pernah menjabat sebagai Direktur Pembinaan Usia Muda PSSI tentu tahu betul permasalahan ini.
Persoalan sepak bola Indonesia adalah tidak adanya rumusan serta langkah kongkrit dalam hal pembinaan. PSSI lebih sering dijadikan tunggangan kepentingan lain di luar sepak bola, sehingga target-target yang disasar selalu bersifat jangka pendek.