Tak jarang target-target itu bahkan terkesan ingin hasil instan. Menyasar prestasi besar dalam tempo satu periode jabatan ketua umum. Masuk akal? Jelas tidak.
Ambil contoh kebijakan naturalisasi pemain di era Nurdin Halid dulu. Entah tergiur keberhasilan Singapura atau bagaimana. Nyatanya, sejak menaturalisasi Cristian Gonzales pada 2010, prestasi Indonesia tetap saja mentok di final Piala AFF. Di SEA Games pun setali tiga uang. Belum pernah juara sekali pun sampai sekarang!
Pemilihan sosok pelatih timnas juga menunjukkan keinginan mendapat hasil instan tersebut. Dulu PSSI sempat mengontrak Wim Risjbergen, pelatih yang sukses membawa Trinidad-Tobago ke Piala Dunia 2006. Lalu ada pula Luis Milla, mantan gelandang Barcelona dan Real Madrid.
Saya ingat betul, sempat ada wacana PSSI hendak mengontrak Bora Milutinovic. Pemicunya adalah kesuksesan pelatih bernama asli Velibor Milutinovic itu meloloskan 5 negara berbeda ke putaran final Piala Dunia.
Kini, PSSI menunjuk Shin Tae-yong. Mungkin bukan nama besar di level dunia, tetapi Coach Shin tetap layak diperhitungkan. Prestasinya yang terus kita ceritakan dengan bangga adalah kemenangan Korea Selatan atas Jerman di Piala Dunia 2018.
Masalahnya, pelatih sehebat Luis Felipe Scolari atau Marcello Lippi sekali pun bisa kebingungan jika diminta menangani timnas Indonesia. Scolari dan Lippi mungkin malah bakal garuk-garuk kepala sendiri. Bagaimana bisa pemain timnas masih harus diajari cara passing dan positioning?
Malu-malu geli rasanya sewaktu melihat video yang sempat viral, di mana Shin Tae-yong mengajari para pemain timnas melakukan passing dengan benar. Saya setuju dengan pendapat Coach Shin, ini berarti ada yang salah di level klub.
Kalau klub tidak mau disudutkan--indikasinya begitu, kita sebut saja ada yang salah dengan liga domestik kita. Liga Indonesia memang selalu bergulir, tetapi ya sekadar buat rame-rame saja. Banyak sponsor, disiarkan di televisi setiap hari, tetapi esensi pembinaan dari sebuah liga ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Jadi, sebelum memikirkan pindah konfederasi, entah keluar dari AFF apalagi sampai keluar dari AFC, sebaiknya kita benahi saja dulu pembinaan. Buah dari sebuah pembinaan memang akan lama dipetik dan dinikmati, tetapi itu bersifat jangka panjang dan berkelanjutan.
Belajar dari Vietnam
Jangan malu-malu belajar dari Vietnam. Dulu Indonesia bisa mengalahkan Vietnam 3-0 di Hanoi (fase grup Piala AFF 2004), sekarang? Semua pasti sepakat jika kemampuan negara sosialis satu ini sudah jauh melampaui Indonesia.
Perlahan tapi pasti, Vietnam bahkan mulai menggeser dominasi Thailand di Asia Tenggara. Terbaru, mereka jadi satu-satunya wakil AFF di putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2022 Zona Asia. Malah sempat mengalahkan China dan menahan imbang Jepang.