Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik

Obor Demokrasi Dinyalakan

27 Februari 2021   16:08 Diperbarui: 28 Februari 2021   08:06 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: taqywijaya on Shopee.co.id

DEMOKRASI kita memerlukan cahaya. Untuk diterangi. Keluar dari gelap dan remang-remang. Dimana kini nyala demokrasi kita di Indonesia kian redup. Beruntun musibah datang. Dalam helatan Pilkada Serentak 2020, fenomena gelap terurai. 

Kejanggalan dan problematika juga mencuat. Menghiasi demokrasi kita. Saling gugat, menuding ada kecurangan. Musim pandemi yang mengharuskan rakyat menjauhi kerumunan. Nyatanya rakyat diminta memilih 'berkerumun'.

Terjadi anomali. Sebelumnya, Pilkada 2015 situasi jauh sebelum badai Covid-19. Di Pilkada 2020 malah partisipasi politik masyarakat untuk memilih naik 7 persen. Dimana tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2015 sebesar 69,06 persen dan meningkat menjadi 76,09 persen di Pilkada 2020 (baca, Kompas.com, Minggu (3/1/2021).

Saya membayangkan seperti ada tangan ajaib. Yang mengendalikan pemilih untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Pilkada dalam kondisi abnormal, namun partisipasi pemilih meningkat. Sebuah anomali terjadi. Jangan-jangan penyelenggara Pilkada kita tidak beres. Partisipasi lebih melampaui kenormalan. Jauh dari sebelumnya.

Dari aspek sengketa Pilkada yang masuk ditanganiMahkamah Konstitusi(MK) kurang lebih 131 kasus(menelisik data Kompas.com, 23 Desember 2020). Berarti menyajikan isyarat bahwa Pilkada 2020 tidak mulus berjalannya. Dari 270 berarti disekitaran 40 persen daerah yang digelarnya Pilkada melahirkan dugaan kecurangan. Tidak pada soal banyak sedikitnya jumlah pelanggaran, melainkan pada esensi kecurangan.

Demokrasi kita penting memperhatikan substansi. Bahwa yang namanya kecurangan jangan ditorerir. MK memang berpedoman pada batas selisih suara maksimal 2 persen. Kemudian mengabaikan, mengaburkan adanya kecurangan. Posisi MK seperti ikut bermain 'melegalkan' kecurangan secara tersistematis. 

Sekecil-kecilnya kecurangan, tetaplah perbuatan melawan hukum. Idealnya, MK merespon serius hal itu. Walau tak capai di atas 2 persen selisih suara. Laporan tersebut perlu ditindaklanjuti, jangan langsung ditolak.

Pasal yang membatasi gugatan sengketa Pemilu atau Pilkada, sebaiknya dihapus. Jika Indonesia memang benar-benar menerapkan demokrasi. Pemohon di MK terhalang dengan adanya Pasal 158 UU Pilkada. 

Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 6 tahun 2020 yang tetap mematuhi Pasal 158 sedikit 'dibungkus' kata MK menggali dulu informasi, mencari bukti-bukti. Memperoleh keterangan apakah angka yang ditentukan KPU berdasarkan Pasal 158 telah berjalan sesuai ketentuan yang berlaku ataukah tidak.

PMK terbaru itu sekedar merubah citranya agar terlihat demokratis. Sayangnya, substansi dan praktek yang dilakukan masih dengan pendetakan lama. Yakni menjadikan selisih maksimum 2 persen sebagai standar. Fakta ditolaknya sejumlah permohonan di MK karena alasan tersebut. Posisi remang-remang demokrasi kita menuju pada kegelapan. Ini tidak main-main. Jangan didiamkan, karena perjalanan demokrasi telah di take over kaum oligarki.

Sedih rasanya kewibawaan rakyat dan keadulatan itu tergeser. Kekuatan yang menggesernya adalah uang dan kekuasaan. Hak demokrasi atau hak pilih rakyat begitu mudahnya ditukarkan dengan uang dan paket sembako. Hasil yang diperoleh dari mesin demokrasi kita yakni para pemimpin berduit. Kaya raya, cukong atau budak pemilik modal. Bayangkan saja kalau pemimpin yang kita pilih itu ternyata budak pemilik modal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun