Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Literasi Sampai Mati

Pegiat Literasi dan penikmat buku politik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KPU dan Bawaslu Jangan Jadi Alas Kaki Politisi

7 Februari 2023   11:51 Diperbarui: 8 Februari 2023   07:22 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deskripsi penyelenggara Pemilu (Dokpri)


KERAP
terjadi kesenjangan dan benturan dalam kerja-kerja lembaga pemerintahan. Hal itu bisa kita lacak di lapangan. Satu institusi dan yang lainnya tak saling bersinergi. Bahkan ada ego sektoral. Sebut saja, seperti Penyelenggara Pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang tugasnya melahirkan Pemilu berkualitas, tapi kerjanya saling melahirkan friksi.

Antara kerja menyelenggarakan Pemilu, dan yang mengawasi rupanya saling menciptakan tembok. Ada sekat, pada orientasinya untuk kebaikan demokrasi. Menghasilkan proses berdemokrasi yang bermutu demi kemajuan rakyat. Bukan ribun pada urusan teknis, rebutan kepentingan domestik.

Sebut saja instrumen yang digunakan seperti Sistem Informasi Pencalonan (Silon) dan Sistem Data Pemilih (Sidalih). KPU yang mengendalikan, menajdi user ''pengguna'' dari Silon dan Sidalih, harusnya adil. Menjunjung tinggi transparansi, menempatkan posisinya secara imparsial dengan Bawaslu.

Ada kesenjangan dalam penerapan. Kesemrautan manajemen, benturan di lapangan terpotret dalam penyampaian Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja. Bahwa password atau alat akses terhadap Aplikasi Silon maupun Sidalih masih terbatas dimiliki jajaran Bawaslu. KPU dan jajarannya memberi batasan mengakses. Ada apa?.

Tugas Komisioner itu bekerja menjalankan amanah konstitusi, bukan bertengkar dan saling menghambat kerja. Seharusnya dimengerti, ketika pengawasan ketat dan selektif dari Bawaslu dilakukan, maka keberhasilan, kualitas demokrasi terwujud. Pemilu dapat diselamatkan dari kecurangan.

Kalau KPU niatnya menerapkan prinsip Jurdil dan Luber, tidak perlu menunjukkan ekspresi kepanikan. Merasa ''tidak nyaman'' jika memberikan akses seluas-luasnya kepada Bawaslu untuk mengawasi sistem, kerja yang dilakukan KPU. Toh semua itu demi kebaikan bersama ''bonum commune''.

Seluruh penyelenggara Pemilu mestinya sudah tuntas mindsetnya terkait kerja kolaborasi. Menghindarkan prasangka, saling curiga. Jangan seolah-olah menunjukkan ada agenda terselubung, agenda tersembunyi yang diemban Komisioner KPU. Begitu pula Bawaslu, bekerjalah secara benar.

Tak boleh ikut lenggang agresi politik dari para politisi. Melalui kerja terbuka, kerja bareng, demokrasi akan tumbuh subur dan berjalan pada rute yang benar. Tidak menyesatkan. Sejauh ini, dalam rangka menuju Pemilu 2024, banyak polemik mulai menyasar KPU. Ini tanda yang mengkhawatirkan.

KPU segeralah berbenah. Jangan seperti orang yang sedang traumatik dan fobia. Bangunlah cara berfikir yang inklusif. Kedepankan kerja gotong royong. Kerja kolaborasi akan membuat demokrasi kita berkualitas tinggi. Tentu bekerja untuk mengadaptasikan atau mengamalkan regulasi Pemilu.

Belum lagi prombel penyelenggara Pemilu lainnya yang tak bisa kita abaikan ialah ragam isu menyeret Ketua KPU Republik Indonesia (RI), Hasyim Asy'ari. Baik soal dugaan gratifikasi sex, sistem proporsional tertutup yang masih dalam bentuk wacana ''prematur'' telah dilempar Ketua KPU RI ke publik.

Belum lagi vermin dan verfak partai politik (Parpol) yang menuai banyak protes dan laporan ke Bawaslu, DKPP, hingga demonstrasi berjilid dari partai rakyat adil makmur atau PRIMA. Realitas tersebut menandakan KPU di era ini banyak memproduksi masalah.  

Proses artikulasi politik dan agregasi kepentingan yang umumnya diperankan parpol tidak boleh dicegah KPU, tanpa adanya dasar keterbukaan. Buahnya, sejumlah parpol yang tidak lolos verifikasi untuk menjadi peserta Pemilu 2024 mengajukan protes. Terakhir Partai Ummat juga nyaris tak lolos Pemilu.

Beruntung protes dilayangkan. Ancaman politik dilakukan, alhasil partai Ummat menjadi diurutan terakhir (Nomor Urut 24) untuk menggenapi total parpol yang lolos Pemilu secara nasional. Ditambah dengan 6 partai lokal Aceh, maka jumlah partai yang ikut Pemilu adalah 24 parpol.

Politik yang harusnya menjadi instalasi dan jalan kebenaran, malah dibelokkan penyelenggara Pemilu. KPU maupun Bawaslu tak boleh memiliki motivasi sekedar mencari cuan ''kakayaan'' saat menjadi Komisioner. Walaupun hal ini mulai marak kita lihat. Cara yang demikian membuat integritas ternodai.

BUKAN MESIN ELEKTORAL

Penyelenggara Pemilu bukanlah mesin elektoral. Paradigma ini harus dipelihara, ditanamkan dalam benak. Agar Komisioner KPU dan Bawaslu tidak bermain politik praktis. Tak menjadi partisan. Kemudian bisa bebas dari kepungan kepenting politik tertentu. Karena bagaimanapun politisi sedang mengincar penyelenggara.

Targetnya ialah penyelenggara Pemilu digoda untuk berkompromi. Politisi yang biasa menyuap, memberi sogok untuk mendapatkan jabatan politik umumnya mendekati, merayu penyelenggara Pemilu untuk mengikuti apa mau mereka. Memuaskan kebutuhan buasnya dalam meraih kekuasaan.

Dari keberadaan tersebut, maka penyelenggara Pemilu akan kuat, tidak rapuh. Tidak mudah digoyah atas bujuk rayu politisi busuk. Atas konsistensi sikap itu pula, maka integritas yang dibangga-banggakan Komisioner tidak tercemar kotoran politik pragtis yang memposisikan elektoral sebagai bahan belanja.

Komisioner penyelenggara Pemilu tidak perlu berburu insentif elektoral, karena bermaksud dikemudian hari terjun menjadi politisi. Jangan dulu terjebak dalam perangkap pemikiran yang demikian. Karena membuat, menghantarkan Komisioner penyelenggara Pemilu pada rusaknya independensi.

Keadaban bersama demokrasi yang berdaulat haruslah diperhatikan. Sangat membahayakan jika penyelenggara Pemilu memposisikan diri menjadi alas kaki para politisi. Mudah dimobilisasi, diangkut untuk kepentingan-kepentingan politisi. Sebuah citra buruk yang melekat lama dalam persepsi rakyat.

Melintas melalui roda jaman yang sebenar-benarnya wahai para penyelenggara Pemilu. Jangan mau menggadaikan harga diri, idealisme demi uang dan kekuasaan. Sesungguhnya, hal itu hanya menyeret kalian penyelenggara Pemilu pada jurang kehancuran. Janganlah penyelenggara Pemilu merongrong demokrasi dari dalam.

KPU & BAWASLU BUKAN BUDAK POLITISI

Bukan berarti kita semua, terlebih penyelenggara Pemilu merubah posisi menjadi penyembah demokrasi. Membabi-buta memuja-muji demokrasi tanpa membuka ruang untuk menerima paham atau ideologi humanis lainnya. Demokrasi sebetulnya menjadi sistem nilai dalam menata pemerintahan.

Menyeleksi calon pemimpin bangsa. Sekaligus mengatur, menjadi lalu lintas dalam kehidupan bernegara. Agar kehidupan berbangsa dan bernegara berjalan tertib. Tidak ada praktek disorder. Kita meyakini bahwa demokrasi telah menciptakan dan menjadikan Indonesia maju berdaulat.

Merugilah, dan itu amat merusak bilamana KPU maupun Bawaslu merendahkan diri menjadi budak politisi. Semestinya penyelenggara Pemilu hanya takut pada rakyat. Budaknya rakyat, bukan budak politisi atau partai politik. Kekhawatiran ini mulai memberi bukti. Insya Allah Pemilu 2024 KPU dan Bawaslu benar-benar bebas, mandiri dari tekanan.

Selanjutnya, demokrasi menjadi peta jalan untuk majukan rakyat. Sebagai penunjuk arah bernegara. Mepamahaman semacam ini yang harus ditumbuh-suburkan, sehingga masing-masing pihak mengerti peran serta posisinya. Semua bisa mengambil bagian berkontribusi memajukan negara Indonesia.

Demokrasi kita yakini bukan barang antik. Bukan tempat ''penampung'' barang-barang rongsokan. Tapi alat untuk mengarahkan, menempatkan, mengatur, dan memberi jaminan atas terwujudnya kesejahteraan atau kemaslahatan bagi anak-anak kandung pemilik Indonesia tercinta.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap solid dan terjaga. Demokrasi dipakai untuk menjaga keutuhan bangsa. Babak demi babak sejarah di republik ini harus memberi pelajaran bagi seluruh generasi di Indonesia untuk lebih berkembang maju. Tidak mempersoalkan perbedaan.

Tapi, menjadikan keberagaman itu sebagi kekuatan. Bagaimana menyatukan perbedaan-perbedaan itu sebagai kepingan kekuatan meraih kejayaan. Penyelenggara Pemilu jangan membiarkan kesesatan demokrasi terjadi. Apalagi, mengambil peran untuk menyesatkan demokrasi. Jangan melegalkan rekayasa.

KPU dan Bawaslu jika gagal menempatkan posisinya, niscaya akan membuat demokrasi rusak. Bukan sekedar menafsir etika penyelenggara atau kode etik penyelenggara Pemilu secara kaku semata, di depan publik berpura-pura menegakkan integritas. Namun, di balik itu malah merendahkan diri menjadi budak politisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun