KEBENARAN akan tetap ada. Dibungkam bahkan makin tumbuh, bangkit dan melawan. Makin berlipat ganda jika suara kritik dibabat. Mirislah jika kelak pemimpin di Indonesia menempatkan entitas rakyat, seperti aktivis mahasiswa, aktivis pro demokrasi, dan mereka yang gemar mengkritik sebagai penjegal pembangunan. Atau dituding barisan sakit hati.
Dari Sabang sampai Merauke, rakyat Indonesia menghendaki negara ini maju pesat. Rakyatnya makin bersatu. Pemimpinnya memberi teladan. Semua proses keteraturan sosial, penerapan hukum tidak tebang pilih. Keadilan tidak dirajam, digunting, dan dimutilasi pemerintah rakus serta kroni-kroninya.
Kebebasan rakyat menyampaikan pendapat diapresiasi. Tudingan yang bernuansa memecah-belah rakyat tidak dipelihara. Narasi yang memantik konsolidasi rakyat dibangun. Pemimpin dan gerbong besar elit penguasa tampil sejuk, menjadi inspirasi, magnet, pelopor perubahan sekaligus arif bijaksana.
Sosok pemimpin yang dapat mengonsolidasi harapan rakyat. Lalu, diwujudkan dalam program. Tentu hal semacam itu yang dinantikan rakyat.
Rakyat akan menagih janji, mengingatkan, bahkan kadang juga menunjukkan resistensinya, jika pemerintah dinilai gagal menjawab keluhan rakyat. Tak ada rakyat yang mau haknya untuk mendapatkan pelayanan prima diberangus.
Pemimpin dari pusat sampai ke daerah, memberi problem solving. Bukan menambahkan masalah. Ada pembelajaran berbasis masalah 'problem based learning'. Dalam situasi yang serba 'kurang maksima', kelompok muda, agen perubahan seharusnya mengambil bagian. Hadir untuk menjadi mimpi buruk bagi pemerintah yang pongah.
Bisa jadi, sekarang belum terlihat nampak pemimpin pongah itu. Pemimpin yang memandang kritik sebagai bentuk antipati. Kita doakan, juga berperan menghidupkan mesin edukasi politik agar para pemimpin congkak, alergi dengan kritik tidak memimpin Indonesia. Indonesia butuh kekuatan semacam 'pemecah ombak'.
Hadir sebagai kekuatan penyeimbang, dan pemberi stimulasi. Agar pemerintah terus konsisten berada dalam jalur pembangunan. Tidak berdiam diri, tidak merasa puas dengan prestasi yang dihasilkan. Kekuatan kelompok yang hari ini belum nampak. Haruslah ada pihak yang atas kehadirannya menjadi mimpi buruk bagi penguasa.
Ini penting. Dengan begitu, pemimpin tidak terlena. Mereka yang bisa juga konsen pada kasus, advokasi, dan pembelajaran berbasis masalah. Sehingga terlahir kekuatan pembanding, cermin, alat motivasi bekerja yang efektif. Dimana-mana, penyakit kita di Indonesia ialah kebanyakan maunya berada di zona aman. Merasa sudah berprestasi, mereka akhirnya berkutat disitu-situ saja.
Takut keluar, takut meninggalkan 'comfort zona'. Keadaan seprti itu berpotensi melanda, menjangkiti lingkar, rahim kekuasaan. Yang menyebabkan penguasa tidak mau lagi berusaha keras untuk mensejahterakan rakyatnya. Memproduksi karya, kemudian mengkapitalisasi karya kerja tersebut secara politik.
Begitu rendahnya. Sirkelnya berputar seperti itu. Seiring jalannya perubahan kepemimpinan siklus mewariskan tradisi yang tidak produktif, tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keterbukaan, kemajuan pemerintahan digunakan. Harusnya tradisi buruk itu dipangkas. Diamputasi, diberantas.