“Katakanlah Tri!” Dian mendesaknya ingin tahu.
“Siapa tahu aku bisa bantu kamu, katakanlah..! Dian memohon Rastri agar bicara terus terang.
Rastri mendongakkan kepalanya. Sekarang matanya yang indah menatap Dian. Sorot matanya berkata: ”Hal ini cuma kuceritakan kepadamu saja, karena kamu teman terbaikku.”.
Rastri mulai bercerita. Dian khusyu’ mendengarkan teman terbaiknya itu.
“Sejak aku libur Bapakku tidak bekerja lagi. Pabrik plastik tempat Bapakku kerja itu tutup.” Kata Rastri dengan suara perlahan tidak bersemangat.
“Lalu …,” Dian ingin tahu selanjutnya.
“Tadi pagi waktu aku mau pergi ke sekolah, sepatuku ternyata sudah ‘jebol’ padahal tiga hari yang lalu sudah kuberitahu pada Bapakku,” agak gemetar suara Rastri bercerita.
Dian segera menarik tangan Rastri. Meski Rastri terheran-heran melihat sikap Dian, tapi ia nurut saja.
“Ayo… ikut ke rumahku,” kata Dian sambil tergopoh-gopoh keluar dari rumah Rastri.
Rastri masih enggan keluar dari rumahnya. Tapi Dian tanpa ragu menarik lengan Rastri. Seperti adik menarik lengan kakaknya. Sambil berjalan agak malas, Rastri tetap heran melihat tingkah Dian. Rastri masih tidak tahu apa yang akan dilakukan Dian. Dian tak melepaskan tangan Rastri dari genggamannya. Terhuyung-huyung ia menarik Rastri, sebab Rastri jauh lebih besar dari badannya.
“Tri, kamu duduk dulu ya…!” kata dian terengah-engah begitu sampai di ruang tamu rumahnya yang sangat sderhana.