Mohon tunggu...
Khoirul Muttaqin
Khoirul Muttaqin Mohon Tunggu... Wiraswasta - IG: @bukutaqin

Halo 🙌 Semoga tulisan-tulisan di sini cukup bagus untuk kamu, yaa 😘🤗

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Shelly

5 November 2021   23:28 Diperbarui: 6 November 2021   02:18 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pixabay.com (Rizwankhewa)

Kenapa Clara tidak datang hari ini? Kemarin ia hanya menemuiku sebentar. Hari ini, hari ketiga setelah perayaan ulang tahunku dan ia tidak menemuiku sama sekali. Padahal aku dan Mama juga datang ke pemakamannya. Apa mungkin ia sudah tidak akan kembali?

Ra ..., kamu di mana, Ra? Tubuhku menggigil kesepian.

Sambil membuang lelah, aku duduk di sofa rumah. Menyelonjorkan kaki, dan membiarkan tubuhku rebah. Menatap plafon penuh bercak dan sarang laba-laba. Menoleh dan memandang sudut tembok. Memejamkan mata. Membukanya lagi. Aku bingung harus melakukan apa.

"Mama minta maaf, baru bisa menemani kamu tiga hari setelah kabar duka. Semoga Clara damai di alam sana," suara mama terdengar.

Mama terlihat merapikan sandal dan membawa sayuran setelahnya. Sambil mengajak bicara. Namun aku terlalu malas menanggapinya.

"Nanti sore Papa akan pulang. Mama pulang duluan karena menghawatirkan kamu," kata Mama, sambil mengelus rambutku. Lalu berjalan pergi entah ke mana.

Di dalam hati, aku masih belum bisa menerima semua ini. Clara yang tiba-tiba meninggalkanku. Neko yang berkhianat hingga tega melakukan hal yang gila. Mereka berdua sahabat dekatku dan lenyap menyayat perasaan tanpa permisi. Aku belum siap.

Apalagi kemarin saat Neko akhirnya benar-benar ditangkap polisi. Neko benar-benar tersangka pembunuhan Clara! 

Seakan ia tak menyesal telah mengghianati sahabatnya sendiri. Aku marah padanya dan tidak akan memaafkan perilakunya. Aku juga tidak akan menganggap dia pernah menjadi sahabatku. Aku hanya akan mencari kesempatan untuk menghajarnya.

Aku sempat menemui di rumahnya, saat berita penangkapannya baru beredar dari status-status whatsapp. Tanpa pikir panjang menyalakan motor, berharap tidak terlambat. Jaraknya tidak terlalu jauh dengan rumahku.

Saat sampai di lokasi, ia terlihat baru saja diborgol seorang polisi. Di dalam rumah. Semua orang menatap dengan tatapan iba. Mungkin hanya aku yang menatap tajam, tidak tega jika Neko tetap terlihat baik-baik saja setelah semua yang dilakukan.

"Kenapa kamu tega melakukan ini?! Ha?!" ucapku lantang setelah dekat dengannya. "Neko sialan! Berkhianat! Pembunuh! Tak bisa dipercaya! Pembohong! Kecewa! Pergi! Sialan! Pengecut! Bajingan! Pembohong! Pendusta! Pembunuh!" Aku memukulinya dengan keras dan sekuat tenaga. Tak peduli dengan orang-orang lain. Hanya ingin agar Neko babak-belur.

Kepalanku menghantam dadanya, tangannya, wajahnya, mulut, pipi. Entah. Aku melayangkan dengan penuh emosi. Semoga pukulanku sempat mengenai matanya hingga buta.

Tak ada orang lain yang marah pada Neko? Ha? Hanya memandang Neko? Dan bahkan mereka menahanku menghajar pembunuh ini? Sial.

Betapa tak adil dunia ini. Orang yang benar-benar membunuh hanya diganjar borgol. Semua diam setelah Neko diborgol?

"Clara itu egois! Kamu harus sadar karena dipermainkannya!" Suara Neko terdengar tajam.

Buru-buru aku menebas perkataannya.

"Kamu yang harusnya lebih dewasa! Kalau merasa disakiti, ngomong! Bukan diam seolah tak ada apa-apa. Tapi setelahnya, kamu membunuh..!!" Sambil berkata-kata, aku melayangkan pukulan bertubi-tubi padanya lagi.

Mata ..., mata ..., mata ..., buta ...! 

Jiwaku hancur. Pedih, dan gelap. Sudah tak punya apa-apa lagi selain kecewa dan rasa marah. Bahkan tak ada lagi bersemangat untuk melanjutkan hidup. 

Semakin lama memukul Neko, tenagaku seolah melemah, lemas. Tubuhku semakin goyah. Pada kenyataannya, rasa kesepian terasa lebih sakit daripada apapun. Menjalar ke seluruh sendi di tubuh dan membuatku lumpuh.

Seandainya kamu masih ada di sini, Ra. Kamu pasti bisa menolongku menyelesaikan masalah ini. Membuatku tersenyum lagi seperti biasanya. Dan kita akan nonton ke bioskop setiap minggu. Seperti rencana kita.

Kamu di mana ..., Ra?

Hanya menangis yang bisa aku lakukan saat ini. Hidupku telah hancur. Semua telah selesai. Aku bukan siapa-siapa lagi dan tak bisa berbuat apa-apa.

Clara pergi. Neko khianat. Dan aku sendiri.

Berakhir. 

Angin berembus semakin dingin. Pertanda malam segera datang. Tak terasa, kulitku sudah kedinginan.

Sudah berapa lama aku melamun? Tertidur? Di sofa? Ah. Siapa peduli.

Demi menepis dingin. Aku mandi agar tubuh segar. Segar dan dingin adalah dua hal berbeda. Aku ingat itu, kata-kata Clara.

Meski, setelah ini aku tak tahu harus berbuat apa lagi.

Jika dipikir-pikir, menjadi anak rumahan dan hanya hidup di kamar adalah pilihan bagus buatku. Nonton, berselancar internet, makan, dan sesekali mengecek pesan whatsapp dari teman-teman.

Aku tak perlu khawatir dikhianati. Tak perlu punya teman. Tak perlu melakukan apapun-

Suara Papa tiba-tiba terdengar. Kelihatannya sudah pulang dari pekerjaannya yang selalu berminggu-minggu itu. Mengganggu. 

Namun suaranya terdengar agak marah. Membuatku penasaran untuk segera mengakhiri sesi mandi sore ini.

"Shelly. Papa turut berduka. Maaf Papa baru pulang," ucapnya setelah melihatku. 

Aku duduk di sebelahnya. Di sebelah Papa dan Mama. Diam dan hanya memperhatikan mereka saling berbicara.

Baru kali ini aku melihat mereka cek-cok dan marah. Kedengarannya, Papa marah dengan rekan kerjanya di kantor.

"Serius Pa? Kenapa Papa diam saja kalau ditipu rekan sendiri? Papa harusnya melawan dong! Proyek itu kan nilainya puluhan juta." ucap Mama dengan wajah memerah.

"Papa juga tidak mau ditipu, Ma. Tapi kenyataannya orang yang dipercaya justru kabur membawa uang proyek," kata Papa. "Sekarang sedang dicari orangnya. Sampai dapat! Agar dia mempertanggungjawabkan kelakuannya," ucapnya lagi menambahkan.

Aku diam mendengarkan. Karena tak paham apa yang mereka bicarakan. Uang, proyek, rekan kerja, perusahaan, apapun itu. Semua bukan hal-hal yang lekat dengan keseharianku. Aku hanya rindu pada Clara.

Namun sedikit demi sedikit aku mulai paham, jika Papa sedang dikhianati temannya sendiri. Orang yang dipercaya selama ini. Persis seperti kejadian yang menimpaku dan Clara.

Dunia memang tidak adil. Orang-orang yang dipercaya selalu berkhianat dan melakukan hal memalukan. 

Membuatku semakin benci dengan siapapun.

"Kamu tidak apa-apa Shelly?" ucap Papa sambil mengelus rambutku. 

Lamunanku buyar karenanya. Mendadak aku gagap diajak Papa bicara. 

"Tidak apa-apa Pa," jawabku spontan.

"Jangan melamun saja. Sini, cerita sama Papa kalau kamu punya masalah."

Aku menatapnya. Lalu memiringkan tubuhku pada Papa. Berharap rasa hangat segera datang. Biasanya pelukan Papa membuatku tenang.

Dan Papa memelukku!

Hangat. Begitu nyaman, dan membuat tenang setelah apa yang menimpaku. Aku sayang dengan Papa!

Sambil menghangatkan diri. Aku berusaha mendengar pembicaraan Papa dan mama. Hanya mendengar tanpa ikut berbicara.

Namun aku heran bagaimana Papa bisa tetap terlihat senang. Senyumnya selalu tampak di sela-sela obrolannya. Selalu bisa gembira di saat Mama memarahinya. Padahal Papa kan baru dikhianati dan rugi puluhan juta?

Tanpa kusadari, sudah sangat lama aku mendengar perbincangan mereka. Sejak tadi, aku hanyut mendengar obrolan Papa dan Mama.

Hingga pada akhirnya rasa penasaranku menguat. Aku bertanya kenapa Papa tidak sedih.

"Bukankah Papa dikhianati?"

"Hmm ..., ya. Oleh teman sendiri. Tapi seperti inilah kehidupan. Kadang berjalan tidak seperti harapan. Namun daripada Papa sedih. Papa dan Mama mencari solusi lain agar kita tetap bisa makan," kata Papa. Sambil menunjukkan senyumnya.

Entah mengapa, perasaanku terasa hangat mendengar kata-kata Papa. Aku tidak paham apa maksudnya. Tapi yang jelas, Papa pasti melakukan hal yang benar. Aku memeluknya semakin erat. 

"Kamu kenapa? Shelly?" Suara Papa terdengar, setelah aku melingkarkan tangan ke tubuhnya.

"Shelly sedang sedih. Temannya baru meninggal, Pa. Clara, yang biasa main ke rumah kita. Masak Papa lupa," kata Mama.

Aku tetap diam dan hanya memeluk Papa. Membiarkan tubuhku hangat oleh semangat yang dimiliki Papa menjalani hidup.

Permukaan tangannya mengelus-elus rambutku. Sambil sikunya berusaha memeluk punggungku.

"Ya ..., Papa tahu. Semoga Clara tenang di alam sana. Dan dia pasti berharap Shelly kuat menjalani cobaan ini," ucapan Papa terdengar menenangkan. "Kamu pasti kuat, Shelly sayang," tambahnya.

Dan Mama ikut memelukku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun