Mohon tunggu...
Budi Harsoni
Budi Harsoni Mohon Tunggu... Guru - Guru Biasa

Pengiat literasi desa di Kabupaten Lebak

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Diplomasi Gula: Penyambung Lidah Desa-Kota

25 Januari 2022   22:48 Diperbarui: 25 Januari 2022   22:59 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

"Kaditu ka kawung anu ngaruyuk, ka jambe anu ngajajar, tah si jelma hideung".

Konon, dalam tradisi lisan yang masih hidup hingga sekarang di wilayah adat Kasepuhan Banten Kidul, daerah yang banyak ditumbuhi pohon aren adalah salah satu tempat ideal yang dituju sebagai wilayah permukiman. 

Dahulu kala, komunitas adat ini dikenal sebagai masyarakat yang berpindah-pindah sebelum benar-benar menemukan lokasi yang tepat, sebagai tempat permukiman mereka untuk menetap secara turun temurun. 

Jika diartikan dengan bebas kalimat di atas, maka berbunyi: "pergilah ke tempat dimana pohon-pohon aren tumbuh membelukar, ke tempat pohon-pohon pinang berjajar, itulah tempatnya orang-orang yang pandai hidup di alam".

Masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul menjalani hidupnya berdasarkan tatali paranti karuhun, atau aturan adat yang telah ditetapkan sejak nenek moyang mereka, dan dilaksanakan dengan patuh dan taat sebagai tradisi yang tetap dijaga. Salah satu aturannya adalah pantangan, sesuatu yang tidak boleh dilaksanakan atau dikerjakan oleh incu-putu atau anak-cucu. 

Secara geografis, sebagian besar masyarakat adat Kesepuhan Banten Kidul menempati sekitar wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Menjalani hidupnya dengan bertani di ladang atau huma. Padi yang dihasilkannya pun tidak boleh dijual, karena kepercayaan demi memuliakan Dewi Sri (Dewi Padi) atau Nyi Pohaci. Menjualnya, berarti tidak memuliakan apa yang mereka percayai.

Masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul memang tidak boleh (pantangan) menjual hasil padi, baik padi sawah maupun padi huma (ladang). Jika pun akan dijual, ada ritual khusus yang harus dilaksanakan. 

Namun demikian, hasil alam dan pertanian yang lainnya dapat dijual dan dijadikan pendapatan, termasuk hasil peternakan. Jika hasil tanaman rempah-rempah dan buah-buahan harus menunggu panen yang memakan waktu berbulan-bulan, maka penjualan gula aren dapat menjadi penghasilan harian. 

Selain itu, membuat gula aren seakan menjadi rutinitas, bagian dari aktivitas berladang. Para petani pergi ke ladang membawa bumbung bambu (tempat air terbuat dari bambu) untuk mengambil air nira dari pohon aren. Sebelum mengerjakan ladang, bumbung bambu diletakkan di atas pohon aren di bawah langari atau dahan aren tempat tumbuh buah kolang-kaling. Sampai penuh dan ketika sore harinya, pulang membawa air nira yang kemudian diolah menjadi gula aren di malam hari dan siap dijual pada pagi hari.

Pohon aren adalah sejenis tanaman termasuk jenis keluarga (arecaceae) palmae. Tanaman aren memiliki nama Latin Arenga Pinnata Merr. Sejarah aren berasal dari dataran Asia yang beriklim tropis (Sumber: Wikipedia). Fungsi dan kegunaan tanaman ini untuk dijadikan tanaman komersial karena setiap bagiannya dapat dimanfaatkan. 

Sebagai contoh, air nira dapat dijadikan gula merah atau gula aren, buahnya (caruluk) dijadikan kolang-kaling, daunnya untuk atap rumah, serabut berwarna hitam dapat dijadikan ijuk, tali pengikat, sapu dan lain-lain. Selain itu, pohon aren dapat dijadikan tanaman herbal yang mempunyai banyak manfaat kesehatan bagi tubuh, yaitu sebagai obat batu ginjal, sariawan, radang paru-paru, deman, sakit perut, sulit buang air besar, ruam kulit dan lain-lain. Semua itu tentunya apabila dapat diolah dengan benar menurut ahlinya. 

Baris Kolot (sesepuh adat) Kaolotan Cibadak, Desa Warungbanten, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten mengumpamakan pohon aren pada sosok manusia ideal dengan istilah "Masagi Kawung", yakni orang yang berkecukupan dan banyak memberikan manfaat bagi orang lain.

Apa yang bisa menjadi penghasilan tambahan sehari-hari buat petani? Sebuah pertanyaan di sela-sela obrolan bersama Ruhandi (Kepala Desa Warungbanten 2015-2021) pada suatu malam, ketika saya berkunjung, bersilaturahmi sekitar tiga tahun yang lalu. Dan kami pun sepakat dengan semangat membantu penjualan gula aren hasil petani desa yang sebelumnya dimonopoli tengkulak dengan harga yang tidak memadai. 

Gula petani yang diambil setiap pagi, dibayar mingguan, itupun dengan harga yang tidak tetap bahkan kadang ada alasan bahwa gulanya tidak laku dijual di pasar. Hal tersebut menimbulkan sebuah ungkapan, "Tengkulaknya sudah ganti kendaraan, tapi petaninya masih begitu-begitu saja." Tekad Ruhandi selain membantu penjualan gula, ia juga ingin desanya menyapa banyak orang di luar sana dengan gula aren hasil petani. Maka, timbullah ungkapan yang kami sepakati, "Diplomasi Gula: Penyambung Lidah Desa-Kota."

Antara tempat tinggal saya di Rangkasbitung dan Ruhandi di Warungbanten berjarak 152 kilometer. Kamipun berbagi tugas, Ruhandi mengkoordinir petani gula di desa. 

Rencananya, dengan memanfaatkan Kartu Tani program dari Kementerian Pertanian yang bekerjasama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) berbentuk ATM untuk tujuan subsidi pupuk, Kartu Tani tersebut dimanfaatkan untuk program Tabungan Gula. Kebetulan sebagian besar petani gula yang ikut bergabung telah memiliki Kartu Tani.

Begini kira-kira alur proses Tabungan Gula petani Desa Warungbanten. Setiap hari, sejak pagi, sambil mengolah lahan pertanian, petani menyadap air nira. Sore hari, ketika selesai berladang/bertani, pulang membawa air nira untuk diolah menjadi gula aren pada malam harinya. 

Esok pagi sebelum pergi berladang petani menyerahkan gula aren yang diolah semalam untuk dikumpulkan di rumah adat Kaolotan Cibadak digabungkan dengan gula hasil petani lainnya, sebagai Tabungan Gula. 

Hasil penjualan dimasukkan ke rekening tabungan Kartu Tani. Setiap bulan Bumdes Dewara (Bumdes Warungbanten) melayani transaksi dan menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari yang dibayar dari hasil gula. Karena kesederhaan hidup di desa yang jauh dari konsumeristik, saldo tabungan selalu bertambah. 

Gula aren yang bahan bakunya disediakan oleh alam di desa menjadi berkah tersendiri bagi warganya. Bahkan, beberapa waktu kemudian petani gula aren dari luar Desa Warungbanten ikut bergabung.

Sekilas, inilah proses pengolahan air nira sampai menjadi gula aren melalui beberapa tahapan termasuk istilah yang biasa disebut para petani desa. Tahap pertama setelah air nira mendidih dalam wajan berubah warna menjadi coklat kehitaman, biasanya disebut Wedang. Rasa Wedang seperti bandrek tanpa campuran jahe, murni air gula. Wedang ini juga biasa dihidangkan untuk menemani obrolan santai warga desa di malam hari.

Tahap kedua setelah air nira mulai mengental dan mulai menjadi gula muda (karamel) atau biasa disebut cacaahan. Ketika mengaduk-aduk adonan gula aren yang mulai mengental, bara api harus dikecilkan. Adonan gula yang mulai mengental ini dicolek dengan ujung alat pengaduk lalu dijilat. 

Di Kampung Cibadak, kegiatan ini biasa disebut Coletan; menikmati gula aren muda yang masih kental dengan dicolek lalu ditempelkan ke lidah. Tahap ketiga adalah Mepes, istilah yang biasa disebut di Kampung Cibadak, yaitu memberikan campuran agar gula aren hasilnya bagus. 

Campuran yang diberikan yaitu berupa tumbukan muncang atau kemiri. Sampai disini api harus lebih dikecilkan lagi untuk menghindari adonan gula tidak gosong. Sebab jika gosong berarti gagal menjadi gula aren karena bau hangus.

Setelah adonan gula aren dirasa cukup matang, gula aren siap dicetak. Wajan diangkat dari perapian dan disisir pinggirannya, diaduk lalu dituangkan dengan alat semacam arit yang dibengkokkan ke dalam cetakan. 

Cetakan terbuat dari kayu yang berlubang seukuran gula aren hampir menyerupai permainan congklak anak-anak, setiap batang cetakan memiliki lima sampai enam lubang. Setelah keras dan mengering, gula-gula itu dibungkus dengan daun aren. Biasanya dalam semalam seorang bisa menghasilkan 20 buah (batok) gula aren.

Sementara saya bertugas memasarkan gula aren melalui jaringan pertemanan. Kendala, sudah pasti ada. Pengalaman menarik pun turut menghiasi perjalanan mengantar gula ke teman-teman yang memesan. Dengan kendaraan motor untuk sekitar Serang-Cilegon, atau melalui KRL untuk pengiriman ke wilayah Tangerang. 

Pesanan gula kojoran yang sudah dikemas dengan rapih dalam plastik berisi satu atau dua toros (satu toros berisi lima kojor, satu kojor berisi lima tangkup gula, satu tangkup berisi gula dua batok). Bahkan pesanan kadang lebih. Namun ketika sampai di tempat tujuan, kadang ada beberapa gula yang sudah tak utuh lagi bentuknya. Meleleh atau penyok disana sini. Hal itu tidak jarang membuat teman yang memesan menjadi kecewa.

Menyikapi hal ini, kamipun kemudian merencanakan mengolah gula aren semut (bubuk). Pesanan gula aren berbentuk batok tidak lagi kami layani, dan fokus pada usaha gula aren semut. Kepada para petani, kamipun berembuk untuk mengirim gula dalam bentuk tidak dicetak, dibiarkan berbentuk butiran-butiran sebesar kelereng. Gerandul, untuk istilah di Warungbanten. Dan itu ternyata memudahkan petani dalam proses pembuatannya.

Namun ada kendala dalam proses penumbukan dan pengeringan. Pada mulanya kami menumbuk dan menghaluskan secara manual dan mengandalkan pengeringan dengan sinar matahari. Namun kadang terkendala ketika sedang musim hujan. 

Sementara pesanan lambat laun mulai meningkat. Syukur alhamdulillah, dari keterbatasan yang kami miliki ternyata ada seorang yang memberikan perhatian pada usaha yang kami geluti. Seseorang itu memberikan bantuan berupa mesin oven dan alat penumbuk.

Usaha kami mulai berjalan lancar. Pesanan tidak hanya datang dari sekitar Banten, namun Jakarta, Bandung, Jawa Tengah, Jawa Timur. Bahkan dari Sumatera hingga Nusa Tenggara Barat. 

Teman kami Desi Isnaeni seorang dosen di sebuah perguruan tinggi yang di Selebar, Kota Bengkulu memesan 20 Kg untuk dijual di kantin kampus yang kami kirimkan melalui JNE dengan nomor resi 172010019564920. Juga Yuyun Yunita pengusaha butik yang merambah ke bisnis kuliner di Selaparang, Mataram NTB yang memesan 20 Kg yang juga kami kirim melalui JNE dengan nomor resi 172010009143020. 

Dengan paket JTR, JNE memberikan keringanan biaya pengiriman dihitung persepuluh kilogram. Ada rasa bangga ketika gula semut Desa Warungbanten berhasil menyapa pembelinya jauh di luar sana. Bangga bahwa produksi petani desa dapat dinikmati orang kota. Anak-anak muda di kedai kopi di Jakarta bergaya art deco bernuansa retro menikmati hasil alam yang diolah petani.

Saat ini, usaha gula semut kami telah memiliki merek dagang IKM Gula Aren Langari. Dengan nomor SP-IRT 2093602010169-23 dan terdaftar di MUI 17230056641020. Saat ini tengah mengembangkan usaha bekerjasama dengan Janari Fondation di Jakarta untuk pemasaran dan pengemasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun