Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Santri di Persimpangan Jalan Tradisi dan Modernitas

30 Oktober 2024   14:20 Diperbarui: 30 Oktober 2024   14:34 3
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Budaya santri adalah satu dari sekian kekayaan khas Indonesia yang masih bertahan di tengah perubahan zaman. Dari subuh hingga malam, kehidupan santri dipenuhi oleh jadwal pengajian, hafalan, dan belajar mandiri yang terbingkai dalam nilai-nilai kesederhanaan, ketekunan, dan ketaatan. Kultur santri ini bukan hanya tentang rutinitas, tetapi sebuah filosofi hidup yang mendidik karakter. Namun, di era yang semakin modern dan serba cepat ini, kultur santri menghadapi tantangan besar. Tuntutan adaptasi terhadap perkembangan zaman, pengaruh media sosial, dan derasnya arus globalisasi, membuat kultur ini berada di persimpangan: akankah tetap bertahan dengan tradisi atau berkompromi dengan modernitas?

Tradisi Kesederhanaan di Era Hedonisme

Kesederhanaan adalah nilai yang tertanam dalam kultur santri. Kehidupan yang tidak lepas dari kesederhanaan ini berfungsi sebagai pengingat agar santri selalu ingat pada asal-usul dan jauh dari kesombongan duniawi. Namun, ketika gaya hidup konsumtif dan hedonistik semakin marak, banyak santri yang justru tergoda untuk mengikuti arus tersebut. Media sosial memperparah situasi ini dengan mengedepankan citra hidup "sempurna" yang diukur dari kepemilikan materi dan popularitas.

Dulu, kesederhanaan santri tercermin dari pola hidup mereka yang tidak mementingkan gengsi atau kemewahan. Namun kini, semakin banyak santri yang mulai memamerkan pencapaian atau kegiatan sehari-hari mereka di media sosial, berpotensi mengaburkan nilai kesederhanaan itu sendiri. Santri seharusnya menjadi panutan dalam membumikan hidup yang rendah hati dan sederhana, tetapi kini kultur ini semakin sulit ditemukan di tengah arus gaya hidup yang semakin materialistis.

Modernisasi Kurikulum dan Kehilangan Esensi

Kultur santri bukan sekadar rutinitas belajar kitab dan ibadah, tetapi sebuah pembentukan karakter melalui pendidikan yang disiplin. Banyak pesantren yang kini beradaptasi dengan memasukkan kurikulum modern, mengajarkan bahasa asing, ilmu sains, dan teknologi untuk mempersiapkan santri menghadapi dunia yang berubah. Langkah ini sebenarnya positif, karena membuat para santri tidak hanya memahami ilmu agama, tetapi juga mampu bersaing di dunia luar.

Namun, modernisasi kurikulum ini membawa dilema: bagaimana menjaga agar esensi pendidikan pesantren yang penuh nilai tetap terjaga? Penekanan pada pendidikan moral dan spiritual kadang kalah penting dibandingkan dengan kebutuhan untuk mengikuti tren atau standar pendidikan umum. Pada titik ini, santri berpotensi kehilangan karakter khas mereka sebagai sosok yang sederhana, rendah hati, dan bijaksana. Jika tidak hati-hati, santri masa kini bisa saja menjadi ahli ilmu, tetapi tanpa integritas yang kuat.

Pergeseran Gaya Hidup: Antara Spiritualitas dan Popularitas

Salah satu aspek menonjol dari kultur santri adalah keseharian mereka yang bersifat kolektif. Dari kegiatan belajar bersama, gotong royong, hingga sikap saling mendukung, semua ini merupakan kekayaan kultur santri yang membentuk jiwa sosial yang kuat. Namun, gaya hidup santri mulai mengalami pergeseran dengan munculnya media sosial yang mengubah cara mereka berinteraksi dan bersosialisasi.

Dengan adanya media sosial, santri kini cenderung mencari pengakuan dari orang banyak. Sikap kolektif bergeser menjadi individualisme di mana penghargaan diukur dari jumlah like atau jumlah followers. Fenomena ini membuat kultur santri yang seharusnya penuh dengan keikhlasan dan ketulusan menjadi terkontaminasi oleh pencitraan. Apakah nilai-nilai sosial yang seharusnya dimiliki santri akan tetap bertahan atau justru luntur oleh gaya hidup yang mengejar popularitas?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun