SEHARI semalam di desa Martajasah tidak hanya mengistirahatkan badan usai perjalanan jauh, tetapi juga berkesempatan merasakan kemegahan Masjid Syaikhona Kholil Bangkalan, bangunan ibadah yang banyak dikunjungi peziarah berbagai daerah
Selain merasakan suasana spiritual di sekitarnya, saya dan keluarga --seperti biasa---mencari hidangan khas.
Pagi usai melaksanakan salat Subuh, saat berjalan menuju parkiran kendaraan dan bus pengunjung, saya dihadang oleh suara ibu-ibu pembawa keranjang di teras masjid. Mereka menawarkan nasi bungkus dan sate. Sejenak saya tergoda. Namun, keinginan mencari camilan dan kopi tak tergoyahkan.
Tiba di parkiran, ada banyak penjual sate di hampir semua sudut. Bukan sate Madura. Tidak. Tidak tertulis "Sate Madura" pada kaca gerobak. Sate Madura hanya ada di luar Pulau Madura.
Sedangkan Pulau Garam, setidaknya di Kabupaten Bangkalan, memiliki beragam olahan sate:
- Sate sapi lapa (bumbu) merah pada pagi hari;
- Sate manis (mirip sate maranggi) di sore hari;
- Sate bumbu kacang yang dijual pada malam hari.
Daging yang ditusuk adalah daging sapi lokal Madura dan kambing. Dulu. Sekarang ditambah sate daging ayam negeri, menyesuaikan dengan selera orang selain warga Madura.
Bisa jadi, selama mengunjungi Masjid Syaikhona Kholil, peziarah mencari santapan khas. Maka, hidangan sate kambing dan ayam tersedia di hampir setiap sudut lapangan untuk kendaraan pengunjung.Â
Namun, saya tidak hendak menyantap sate pada saat itu. Terlalu biasa. Takada yang aneh dengan sate dijual.
Mata berkeliling, tak terlihat penjual camilan atau gorengan. Saya memesan kopi di sebuah warung, yang diseduh dari bubuk kopi asli dan sedikit gula. Nikmat betul, jauh lebih enak dari seduhan kopi saset manapun.
Sebagai pengganjal, mau tidak mau sepuluh tusuk sate kambing tanpa lontong mengisi perut. Setelahnya, baru menyeruput kopi hangat sambil memandang Masjid Syaikhona Kholil di Seberang jalan.