Ah, keakraban di antara pedagang menu sarapan, penjual umbi-umbian, dan pengunjung membentuk hubungan pertemanan yang tulus. Bukan sekadar hitung-hitungan, semisal harga kiloan ubi atau seberapa banyak minyak goreng dipakai untuk menggorengnya.
Tangan segera meraih sepotong ubi goreng. Enak, manis, dan garing kendati tidak ditambahkan bumbu bahkan garam. Potongan ubi jalar digoreng begitu saja dalam minyak panas.
Satu potong masuk perut, tangan mengambil lagi ubi hangat. Lagi dan lagi sampai saya lupa, sudah habis berapa?
Satu jam sebelum azan Zuhur berkumandang, saya mengangsurkan selembar dua puluh ribu kepada Aip, "Berapa secangkir kopi, dua tempe, dan lima atau enam potong ubi goreng."
"Kopi empat ribu. Tempe, dua setengah. Semua enam setengah. Ubi gratis."
" ...???"
"O ya, tunggu bentar. Ini bawa pulang ya!" Aip meletakkan ubi dan singkong goreng di dalam kotak kertas.
Hari itu saya membayar Rp6.500 untuk secangkir kopi seduh dan dua potong tempe. Pulangnya, penjual memberi sekotak isi ubi dan singkong goreng  secara cuma-cuma, entah berapa jumlahnya.
Di situ saya merasakan kebaikan hati orang kebanyakan. Para pedagang mikro yang tidak hitung-hitungan, tanpa pamrih, demi hubungan baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI