Namun, ternyata isi masing-masing tempat sampah tampak sama saja: botol, kertas dan daun pembungkus, sisa makanan, residu bercampur jadi satu.
Sepertinya, para pengunjung tidak terinformasi tentang fungsi tempat sampah berdasarkan warna. Setidaknya, meluangkan waktu sejenak untuk membaca keterangan pada tempat sampah. Atau, tidak peduli dengan pemilahan sampah?
Penyakit ini tidak hanya meliputi sebagian masyarakat, tetapi menimpa beberapa petugas Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bogor.
Tempat sampah di satu wilayah telah dibuat berbeda berdasarkan warna. Tujuannya jelas, yaitu warga setempat agar memilah sampah dari rumah, lalu meletakkannya sesuai penggolongan. Bagus dong.
Ketika truk warna kuning datang, para petugas DLH gesit berlompatan. Mengangkat tempat-tempat sampat dan menghamburkan isinya di dalam bak truk. Sampah apa pun jenisnya berbaur jadi satu.
Lah, untuk apa buangan rumah tangga dipilah jika akhirnya jadi satu di bak truk?
Perkara ketidakpedulian terhadap pemilahan sampah kemudian dibincangkan dengan seorang sahabat baik. Dulu, kawan ini enak diajak berdiskusi.
Saya tahu, ia punya kedekatan dengan Dedie A. Rachim. Bisa saja, diskusi ini sampai ke telinga Walikota Bogor itu.
Obrolan pemilahan sampah berkembang menjadi pengomposan. Perkiraan saya, ikhtiar ini mengurangi beban Pemkot Bogor dalam pengelolaan sampah. Harapan saya, sang kawan dan koleganya membunyikan gagasan dalam bentuk usulan kegiatan konstruktif.
Tidak seperti biasanya, reaksi kawan saya datar saja. Ia menanyakan contoh satu wilayah di Kota Bogor, yang telah menjalankan pemilahan sampah dan pengomposan. Sampel konkret itu kelak dibawa ke Walikota untuk ditinjau, dipublikasi, dan diatur kegiatan seremonialnya.