Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Kenapa Uang setelah Pecah Cenderung Cepat Cair?

13 Juni 2022   05:59 Diperbarui: 14 Juni 2022   01:10 11787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lembaran uang seratus ribu rupiah (dokumen pribadi)

Dalam selipan paling rahasia di tas pinggang terdapat beberapa lembar uang berwarna merah. Sementara pada bagian yang gampang diraih terdapat uang pecahan, paling besar bernilai Rp 50 ribu.

Lembaran-lembaran dengan nominal lebih kecil itulah yang kerap dipakai untuk bayar ongkos angkot, ojek, dan untuk keperluan lain. Namun ketika bermunculan godaan jajanan, maka uang tersebut cepat melayang.

Itu kalau dalam keadaan normal, dalam arti tidak ada pembayaran tunai dalam jumlah melebihi seratus ribu rupiah. Maka uang receh digunakan untuk jaga-jaga, bila ada keperluan remeh.

Sebetulnya belakangan ini saya nyaris tidak menggunakan uang tunai. Ongkos ojek online, pembayaran tagihan bulanan (pemakaian listrik dan semacamnya), serta belanja di toko ritel umumnya memakai uang dari dompet digital.

Sarapan, makan siang, sampai dinner, eh, makan malam sudah terpenuhi di rumah. Tidak ada alasan cukup untuk mengeluarkan uang tunai.

Persoalannya adalah godaan mencicipi aneka jajanan, yang tersedia di gerobak pinggir jalan hingga rumah makan. Gado-gado, gorengan (sekarang dikurangi), mi gleser, bakso, ketoprak, doclang, sampai soto.

Pendek kata, para jajanan tersebut senantiasa melambaikan tangan agar dihampiri. Lantas dibeli.

Itulah yang membuat persediaan uang receh di dalam tas pinggang lekas surut. Kalau sudah habis, maka –mau tidak mau—memecah uang berwarna merah, apakah dengan cara menukar atau membelanjakannya.

Lucunya, begitu dipecah, uang seratus ribu tersebut menyusut dengan cepat. Tinggal dua puluh ribu, ditemani oleh pecahan logam. Berbeda cerita ketika ia masih berbentuk lembaran seratus ribu. Relatif lebih bertahan lama dengan segala cara.

Satu misal, selain dieman-eman dalam penggunaannya, saya khawatir tidak ada uang kembali ketika membeli sesuatu di Mamang Penjual Doclang pikulan.

Menggunakan uang pas atau bernilai kecil demikian enteng keluar dari tas pinggang, ketika membeli dua buah gorengan. Juga menukar sepiring gado-gado di warung Umi.

Pedagang kecil pun lebih suka mengantongi pembayaran dengan uang pas atau menerima uang yang dapat dikembalikannya. Bisa jadi jumlah uang di laci gerobak, sebagai representasi dari hasil penjualan, tidak cukup menutup kembalian.

Alasan-alasan di atas dan berbagai dalih yang mendasari, membuat saya merasa eman (menganggap sayang), bila uang seratus ribu pecah menjadi beberapa lembar uang bernilai lebih kecil.

Dalam situasi itulah saya “insaf” dalam menimbang, apakah barang itu diperlukan atau tidak. Lain keadaan ketika jajanan tersebut merupakan substitusi dari salah satu jadwal makan, kendati saya jarang mengalaminya.

Manakala uang seratus ribu sudah dipecah, tiba-tiba bermunculan keinginan untuk membeli siomay, bakso, mi ayam, dan kawan-kawan. Nafsu jajan akhirnya menjadi kendali dalam mengeluarkan uang.

Jadi uang nominal besar yang dikonversi menjadi lembaran bernilai lebih kecil akan mudah cair, bukan karena terbang sendiri menuju awang-awang. Bukan.

Namun karena adanya keinginan tidak terkendali dalam membelanjakan uang, dengan angka yang lebih diterima oleh umumnya pedagang. 

Jangan membuat keputusan finansial hanya berdasarkan desakan sesaat semata. Bukankah kita mempunyai rencana keuangan, betapa pun sederhananya?

Bayangkan, andai saja nafsu tersebut berkuasa saat kita memegang tidak hanya selembar seratus ribu rupiah, tetapi berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus helai. Bakal royal dah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun