Sifat itu terlihat, ketika Umi melebihkan makanan  yang dibeli--nasi uduk atau gorengan-- kepada mereka yang Ia ketahui tidak mampu. Saya menyaksikan, Umi menambahkan makanan yang dibeli para pekerja proyek lingkungan di sekitar. Bahkan terakhir, rombongan pekerja yang diketahui sedang kelaparan karena terlambat diupah oleh pemborongnya, diberi makan gratis oleh Umi.
Lalu Saya menghitung cepat: dengan asumsi harga jual ditawar pembeli. Hasilnya? Kembali modal saja masih untung!
Tetapi ketika mengetahui, bahwa Umi kerap menggratiskan makanan, maka dapat dipastikan warung nasi uduk itu tidak untung alias buntung.
Saya tidak mengerti cara berhitung Umi. Kalkulasi laba-rugi di kepala Saya ambyar. Laptop pun menyerah!
Akhirnya Umi menjelaskan, "berbuat baik kepada orang lain, tidak usah itungan". Ia berjualan makanan, harga yang ditawar dan makanan gratis menjadi perbuatan baiknya.
Itulah ajaran almarhum suaminya.
Saya hanya bisa berkesimpulan, Umi yang demikian kesusahan mengatur arus kas warung nasi uduknya, telah berbuat baik kepada mereka yang lebih kesusahan. Makanan tidak habis hari itu, digratiskan kepada orang tidak mampu.
Umi meyakini, rejeki untuk memutar usahanya akan selalu ada. Entah dari mana? Dan sampai kapan? Mengingat harga-harga bahan masakan mulai merambat naik.
Barangkali ada yang bisa menjawabnya.
Selamat Ulang Tahun, Widz Stoops