Usaha kuliner merupakan salah upaya untuk mendapatkan penghasilan. Dipercaya, keuntungannya bisa 50 %, yang mendorong orang berlomba membangun bisnis tersebut.
Artikel ini bukan tentang bisnis. Tapi mengenai karakter seorang Ibu penjual nasi uduk, kendati anak-anaknya --mungkin-- bisa membiayainya agar beliau bisa menikmati masa tua.
Ibu Mulyati, berusia 72, Saya biasa menyebutnya Umi. Tiga tahun lalu suaminya meninggalkannya, terserang stroke. Tak lama setelah itu, Umi berjualan nasi uduk, telor balado, ikan tongkol balado, gorengan, dan kue ketan bertabur parutan kelapa.
Umumnya, orang membelinya dengan dibungkus. Sedikit orang makan di tempat, meskipun tidak ada meja makan layaknya warung. Misalnya, tukang sayur, supir angkot, dan kadang-kadang Saya. Hehehe.
Setelah itu, warungnya ditutup jam 9 pagi. Laris? Ada saat-saat penjualan kurang bagus, bahkan suatu ketika menjelang tutup, makanan masih menumpuk. Lantas bagaimana perlakuan makanan itu? Apakah warung nasi uduk Umi meperoleh untung, balik modal, atau buntung?
Sebungkus nasi uduk ditaburi: irisan telur, tempe orek, bawang goreng, dan krupuk, ditawarkan seharga 5.000 Rupiah. Lauk telur balado dihargai 3.000 dan tongkol 2.500 rupiah per-buah. Sedangkan harga gorengan 1.000 perak per-buah.
Belanja bahan baku sekitar 200.000 rupiah, tidak menghitung BBM, tenaga dan lainnya. Semua kegiatan dilakukannya sendiri: Â memasak, menempatkan masakan di display sampai dengan penjualan.
Itu bisa menjelaskan, kenapa warung tutup cepat. Ya, Umi kelelahan, dari pukul 2 dini hari Ia menyiapkan dagangan.
Berdasar obrolan singkat dengan nenek bercucu empat itu, diperoleh figur keuangan, sebagai berikut:

Persoalannya, harga-harga jual di atas tidaklah baku. Sebagian pembeli membayar di bawah harga . Seporsi nasi uduk dibayar 3.000 rupiah bahkan 2.000 rupiah. Telor dibayar 2.500 rupiah saja, padahal harga "resminya" sudah termurah di wilayah itu, mungkin di seantero Bogor.