Mohon tunggu...
Sudut Kritis Budi
Sudut Kritis Budi Mohon Tunggu... Entrepreneur dan Penulis

Penulis opini hukum dan isu-isu publik. Menyuarakan kritik konstruktif berbasis hukum dan nilai keadilan. Karena negara hukum bukan sekadar jargon.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Jepang Memilih Jujur, Indonesia Memilih Diam: Pelajaran dari Kasus Ijazah Maki Takubo

17 Juli 2025   10:48 Diperbarui: 23 Juli 2025   18:15 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Generated by AI / DALL-E OpenAI (2025)

Di Jepang, seorang Wali Kota bernama Maki Takubo mengundurkan diri hanya karena terbukti berbohong soal gelar sarjana.Sementara di Indonesia, Presiden Joko Widodo bertahun - tahun dikepung isu kejanggalan ijazah, namun semua lembaga memilih diam atau malah balik menyerang pihak yang bertanya. Apa yang membedakan dua negara ini? Jawabannya: budaya malu, supremasi hukum, dan integritas kelembagaan.

🌏 *Jepang: Ketika Etika Berbicara Lebih Kuat dari Kekuasaan*
Maki Takubo, Wali Kota Ito di Jepang, mengaku tidak pernah menyelesaikan studinya di Universitas Toyo. Ia mundur tanpa paksaan, bahkan sebelum proses hukum bergulir jauh. Universitas tempat ia mengaku lulus membuka informasi secara transparan, dan Dewan Kota segera membentuk komite investigasi berdasarkan hukum.

Di sinilah Jepang menunjukkan keunggulannya sebagai negara yang menghargai etika publik. Takubo memahami bahwa kepercayaan rakyat lebih berharga daripada jabatan. Maka ketika kebohongan terbukti, dia memilih mundur, menyerahkan bukti ke kejaksaan, dan menyerahkan nasibnya ke pemilih. Inilah potret pemimpin yang tidak menjadikan kekuasaan sebagai perisai dari rasa malu.

🇮🇩 *Indonesia: Ketika Kuasa Lebih Utama dari Kebenaran*
Berbanding terbalik, di Indonesia, isu kejanggalan ijazah Joko Widodo telah mencuat sejak 2019. Mulai dari ketidakjelasan keberadaan skripsi, tanggal digitalisasi yang berubah-ubah, hingga tidak adanya akses publik terhadap dokumen asli. Pihak Universitas Gadjah Mada (UGM) tidak menunjukkan bukti akademik secara terbuka, hanya mengeluarkan pernyataan normatif.

Saat publik mengajukan gugatan, pengadilan menolak dengan alasan "tidak berwenang." Saat aktivis menyuarakan keraguan, mereka dipidana dengan pasal karet, bukan dilayani lewat proses klarifikasi yang sehat.

Puncaknya, penyelidikan yang sempat dilakukan Bareskrim malah dihentikan lewat siaran pers, karena dari hasil gelar perkara tidak ditemukan unsur pidana dalam laporan tersebut. Padahal dalam KUHAP tidak dikenal istilah penghentian penyelidikan informal tanpa SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Ini jelas bentuk pengaburan prosedur hukum.

⚖️ *Analisis Hukum: Kekosongan Norma atau Kekosongan Nyali?*

Secara hukum, Pasal 1365 KUHPerdata memberikan hak kepada siapa pun untuk menggugat perbuatan melawan hukum, termasuk kebohongan publik soal dokumen. Dalam kasus ijazah Jokowi, gugatan seharusnya diuji secara substansi apakah benar terjadi kebohongan atau tidak  bukan langsung dimentahkan di tingkat formalitas.

Di sisi pidana, jika ada dugaan penggunaan dokumen palsu, semestinya aparat menerapkan Pasal 263 KUHP, bukan melindungi dengan gelar perkara internal tanpa transparansi. Penghentian semacam itu tanpa SP3 menyalahi prinsip due process of law, melumpuhkan kepercayaan terhadap institusi penegak hukum.

📉 *Kegagalan Moral Institusi: Universitas, Kepolisian, dan Peradilan*
Tiga institusi utama:  universitas, polisi, dan pengadilan justru kehilangan daya koreksinya dalam kasus ini:
1. UGM kehilangan marwahnya sebagai penjaga integritas akademik. Ia tak lagi bertindak sebagai ivory tower independen, tetapi seperti alat legitimasi politik.
2. Polisi bersikap represif kepada pelapor, tapi protektif kepada pihak yang dilaporkan.
3. Pengadilan bersembunyi di balik alasan administratif, alih-alih memberi ruang pengujian materi.

Ketiganya telah ikut membungkam demokrasi, bukan memperkuatnya.

🔚 *Penutup: Apa yang Kita Wariskan?*

Maki Takubo bukan pejabat besar. Ia hanya wali kota kecil. Tapi dengan satu tindakan pengunduran diri, ia mengirim pesan besar: integritas pejabat publik bukan ditentukan oleh kekuasaan, tapi oleh tanggung jawab moral.

Sebaliknya, ketika seorang kepala negara Indonesia dikelilingi dugaan kejanggalan ijazah, dan semua lembaga membentengi alih-alih menyelidiki, maka kita sedang mewariskan pesan buruk di negeri ini, kebohongan bisa dilindungi asal punya kekuasaan.

Jika kita membiarkan ini, maka kita bukan hanya gagal mendidik generasi berikutnya tentang arti kejujuran, tapi juga membunuh harapan akan negara hukum yang sehat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun