Dan aku mulai menyadari: asah otak bukan soal cepat atau lambat, benar atau salah. Bukan soal mengisi kotak hitam putih. Tapi soal membaca diam, menafsir tawa, memahami jeda, dan melihat apa yang orang lain pikir sepele. Layer demi layer.
Kadang aku gagal. Kadang aku terlalu jauh menafsir. Tapi permainan ini membuat otakku hidup, membuatku waspada, membuatku tersenyum dalam keheningan. Karena setiap kode, setiap simbol, setiap jeda adalah latihan. Latihan untuk tetap peka, tetap mengerti, tetap terbuka meski sudah dewasa.
Dan di situlah letak lucunya. Aku tidak pernah bosan. Malah aku bersyukur. Karena ternyata, ada asah otak yang lebih tajam daripada sudoku atau rubik: kode-kode halus yang berbeda makna, tergantung waktu, tergantung konteks, tergantung siapa yang membaca---dan aku, tanpa sadar, selalu mau menjadi pembaca yang setia.
Aku menutup laptop, menyeruput kopi yang sudah dingin. Dan entah kenapa, aku tersenyum sendiri: otakku capek, tapi hatiku ringan. Karena di dunia kode ini, aku tidak hanya belajar menafsir, tapi belajar sabar, belajar menunggu, dan belajar bahwa makna---besar atau kecil---selalu lahir dari perhatian yang tulus.
Dan mungkin, itulah asah otak yang paling berharga: bukan sekadar tetap tajam, tapi tetap mampu merasakan, tetap mampu peka, tetap mampu membaca yang tak tertulis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI