Perusahaan startup di Indonesia meningkat drastis selama 10 tahun terakhir. Ada beberapa startup yang menikmati sukses selama beberapa tahun ini, seperti GoTo (Gojek-Tokopedia) dan Ruangguru. GoTo sendiri menjadi pusat terbesar untuk rideshare, e-commerce, dan pemesanan barang dan makanan online. Perusahaan startup seperti ini sudah mencapai nilai unicorn (USD 1 miliar) dan decacorn (USD 10 miliar). Mereka mengaplikasikan burn-rate strategy, yakni kalkulasi penggunaan kapital dan pemasukan supaya tetap untung.Â
Namun, dibalik sukses beberapa perusahaan startup ini, terdapat ribuan startup teknologi yang gagal bertahan. Beberapa nama besar seperti JD.ID yang berfokus dalam e-commerce, PegiPegi, dan masih banyak lagi. Tingginya tingkat kegagalan ini menjadi perhatian yang cukup serius. Data menunjukkan bahwa sekitar 90% startup teknologi di Indonesia gagal dalam tiga tahun pertama operasionalnya. Bahkan startup yang telah memperoleh pendanaan awal pun masih menghadapi risiko kegagalan yang tinggi. Banyak startup yang tidak berhasil melewati fase "valley of death" - periode kritis ketika pendanaan awal mulai habis namun pendapatan belum stabil. Selain itu, kesulitan dalam mencapai profitabilitas, regulasi pemerintah yang rumit, dan persaingan dengan kompetitor lokal maupun global menjadi tantangan bagi startup Indonesia. Maka dari itu, artikel ini ingin mengetahui penyebab masalah kesulitan bertahan yang dihadapi startup teknologi di Indonesia, dampaknya, dan solusi yang bisa dilakukan.Â
Kesulitan bertahan startup teknologi di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, permasalahan pendanaan menjadi hambatan serius. Meskipun nilai investasi venture capital di Indonesia meningkat dalam beberapa tahun terakhir, distribusinya tidak merata. Sebagian besar dana terpusat pada startup yang sudah bertumbuh signifikan atau berada dalam fase pendanaan lanjutan. Startup pada tahap awal sering mengalami kesulitan mendapatkan akses ke modal yang cukup untuk mengembangkan produk dan menjangkau pasar.Â
Lalu, keterbatasan talenta juga menjadi tantangan. Indonesia masih menghadapi kesenjangan antara kebutuhan industri teknologi dengan ketersediaan tenaga kerja berkualitas. Bidang-bidang meliputi data science, ataupun digital marketing. Â Keterbatasan talenta ini memaksa startup untuk membayar gaji yang tinggi atau melakukan outsourcing. Ini keduanya membebani keuangan perusahaan.
Kemudian, hambatan regulasi yang kompleks menambah beban operasional. Proses perizinan yang panjang dan ketidakpastian kebijakan menciptakan lingkungan yang sulit bagi startup untuk beroperasi secara efisien. Contohnya, beberapa kebijakan belakangan ini mewajibkan produk-produk teknologi seperti smartphone harus mengandung 40% bahan lokal. Karena itu, perusahaan teknologi besar seperti Apple dan Google yang tidak menjalankan regulasi ini membawa pelarangan terhadap produk-produk sejenis.Â
Masalah product-market fit juga menjadi kesulitan. Banyak startup Indonesia hanya meniru model bisnis yang sukses di negara lain tanpa melakukan adaptasi yang tepat terhadap kebutuhan dan karakteristik pasar lokal. Akibatnya, produk atau layanan yang dikembangkan sering tidak mendapat respons positif dari target pasar.
Terakhir, kompetisi yang ketat baik dari pemain lokal maupun global menambah tekanan pada startup Indonesia. Perusahaan teknologi global dengan sumber daya berlimpah dapat dengan mudah memasuki pasar Indonesia dan mengambil pasar yang signifikan sehingga membuat startup lokal kesulitan bersaing.
Tingginya tingkat kegagalan startup teknologi di Indonesia menimbulkan beberapa dampak. Pertama, terjadinya pemborosan sumber daya ekonomi. Kegagalan startup berarti hilangnya modal yang telah diinvestasikan, baik oleh investor maupun pendiri. Selain itu, potensi penciptaan lapangan kerja juga tidak bisa diwujudkan. Kegagalan ini juga membawa menurunnya minat investasi. Tingginya risiko kegagalan membuat investor menjadi kurang berminat dan cenderung menghindari investasi di startup Indonesia, terutama pada tahap awal. Hal ini menciptakan lingkaran tensi di mana startup semakin sulit mendapatkan pendanaan, yang pada gilirannya meningkatkan risiko kegagalan.
Lalu, kegagalan startup berarti hilangnya potensi solusi inovatif untuk berbagai masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia. Ketika startup gagal, ide-ide kreatif dan teknologi yang dikembangkan sering kali hilang dan tidak pernah mencapai masyarakat luas. Kemudian, kegagalan ini juga menyebabkan berkurangnya daya tarik kewirausahaan teknologi. Kegagalan yang sering terdengar dapat mengecilkan minat generasi muda untuk terjun ke dunia startup. Ini mengancam keberlangsungan ekosistem startup di Indonesia dalam jangka panjang.
Terakhir,kegagalan ini membawa ketergantungan pada solusi teknologi dari luar negeri. Dengan terbatasnya jumlah startup lokal yang bertahan dan berkembang, Indonesia akan semakin bergantung pada produk dan layanan teknologi dari perusahaan asing, yang mungkin tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan lokal. Ini juga mengurangi pasar untuk produk teknologi lokal, karena pasar di dominasi oleh teknologi dan tenaga kerja dari luar negeri.Â
Untuk mengatasi kesulitan bertahan startup teknologi di Indonesia, diperlukan beberapa kebijakan preventif. Pertama, pemerintah dapat menguatkan ekosistem pendanaan. Pemerintah dapat mengembangkan skema insentif pajak bagi investor yang mendanai startup tahap awal, serta membentuk program pendanaan jembatan (bridge funding) untuk membantu startup melewati "valley of death". Pengembangan alternatif pendanaan seperti peer-to-peer lending juga dapat memperluas akses modal bagi startup.Â