Pernyataan yang bisa diucapkan dengan senyum santai, tapi menusuk hati rakyat yang bahkan tak punya cukup alasan untuk tersenyum.
Tentu saja, kita tak bisa melarang siapa pun bersenang-senang, bahkan pejabat sekalipun. Namun yang dipersoalkan publik adalah waktu dan tempat.
Ketika rakyat sedang dihimpit krisis, ketika berita tentang harga beras, gas, dan listrik naik menjadi santapan harian, apakah pantas para pejabat menunjukkan euforia tanpa empati? Tidakkah ada batas tipis antara hiburan dan penghinaan?
Sebelumnya, sejumlah pejabat juga terekam berjoget dalam acara resmi, dari istana hingga gedung parlemen. Alasan yang dipakai selalu sama, untuk menghibur rakyat. Tapi lucunya, rakyat justru tidak merasa terhibur, malah merasa diejek secara kolektif.
Di sinilah satire Orwell menemukan panggungnya yang paling nyata. Ketika ia menulis Animal Farm, ia hendak menunjukkan bagaimana kekuasaan bisa menjadi teater kebohongan, di mana para penguasa tampil seolah bekerja demi semua, padahal hanya demi diri mereka sendiri.
Kini, puluhan tahun setelah novel itu diterbitkan, dunia nyata menyajikan pementasan yang bahkan lebih memalukan.
Barangkali ada yang berkata, "Bukankah kita terlalu serius menanggapi joget?"
Tidak, karena masalahnya bukan pada gerakan pinggul atau dentuman musik. Masalahnya adalah pada simbol.
Joget itu menjadi simbol jarak antara pemerintah dan rakyat, simbol bagaimana pejabat lebih cepat menanggapi undangan panggung daripada undangan musyawarah tentang masalah pangan. Simbol bahwa pesta lebih mendesak daripada penuntasan janji-janji kampanye.
Yang lebih ironis, fenomena ini cenderung diulang. Seolah viralitas lebih berharga daripada integritas. Hari ini bupati berjoget, besok mungkin menteri, lusa siapa tahu presiden ikut melirik beat sound horeg.
Kita tentu berharap tidak, tapi sejarah belakangan ini mengajarkan bahwa apa yang awalnya terasa tidak mungkin, lama-lama terasa biasa saja.