Mohon tunggu...
Boy Nugroho
Boy Nugroho Mohon Tunggu... A story teller

All this talk about equality. The only thing people really have in common is that they are all going to die.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pejabat Kita Memang Bisa Joget, Bahkan ketika Rakyat Meratap

22 Agustus 2025   23:46 Diperbarui: 22 Agustus 2025   23:46 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi joget pejabat (AI Generated)

"All animals are equal but some are more equal than others." (Animal Farm/George Orwell)

"Semua hewan itu setara, tetapi beberapa hewan ternyata lebih setara daripada yang lain." Kalimat pamungkas dari George Orwell dalam Animal Farm tak pernah kehilangan relevansinya.

Bukan hanya sindiran klasik tentang korupsi kekuasaan, melainkan gema ironis yang terdengar di ruang-ruang pesta pejabat negeri ini, di mana gerakan pinggul lebih fasih dilakukan daripada menyusun kebijakan yang berpihak pada rakyat.

Kini, pejabat kita benar-benar menjadikan panggung pemerintahan sebagai lantai dansa publik, dan rakyat dipaksa menjadi penonton setia, meski perut mereka keroncongan.

Baru-baru ini, jagat maya kembali dibuat tergelincir antara tawa getir dan amarah ketika sebuah video memperlihatkan Bupati Bangka Selatan berjoget mengikuti irama sound horeg di acara peringatan 17 Agustus.

Gerakan energik itu tidak hanya membuat panggung bergetar, tetapi juga menyeret para anggota Paskibraka, seolah dunia pemerintahan hanyalah pesta panjang yang tak mengenal jeda.

Di tengah harga bahan pokok yang kian melambung dan wacana tunjangan fantastis bagi para anggota DPR, pemandangan ini terasa seperti lelucon yang terlalu mahal.

Fenomena sound horeg sendiri sudah lama menuai kontroversi. Bukan semata karena dentuman musiknya yang memekakkan telinga, tetapi juga karena asosiasinya dengan perilaku ugal-ugalan di ruang publik.

Pesantren Besuk, Pasuruan, bahkan sampai mengeluarkan fatwa haram terhadap fenomena ini. Fatwa tersebut tidak hanya menyoroti aspek kebisingan, tetapi juga mempertanyakan nilai moral yang dikandungnya, menyebutnya sebagai "syiar orang fasik" yang tak patut dipelihara.

Ironisnya, di saat sebagian ulama mengharamkan, Kementerian Hukum dan HAM Jawa Timur justru memberikan pengakuan Hak Kekayaan Intelektual untuk sound horeg. Sebuah kebijakan yang seolah ingin mengatakan bahwa selera bising pun layak diberi penghargaan formal.

Pakar sosiologi dari Universitas Brawijaya, Didid Haryadi, turut mengomentari fenomena ini. Ia menilai bahwa sound horeg sama sekali bukan bagian dari budaya luhur, melainkan muncul dari minimnya ruang publik yang ramah bagi warga.

Dalam pandangannya, sound horeg hanyalah luapan dari keterbatasan ruang rekreasi, taman kota, dan arena hiburan rakyat yang selama ini diabaikan negara. Tapi sayangnya, pejabat kita justru memilih meniru budaya yang dipandang bermasalah itu, dan menampilkannya di panggung resmi seolah sebuah perayaan kemajuan.

Di sisi lain, di gedung parlemen yang megah, para wakil rakyat tengah membahas sesuatu yang tak kalah menggelitik, usulan kenaikan tunjangan yang bisa membuat dompet mereka seolah tak mengenal krisis.

Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, menyebut tunjangan beras senilai Rp12 juta per bulan, tunjangan bensin Rp7 juta, dan tambahan uang rumah sebesar Rp50 juta karena rumah dinas dicabut. Totalnya? Bisa menyentuh Rp100 juta per bulan.

Angka yang sulit dicerna akal sehat, apalagi bagi masyarakat yang bergelut dengan gaji UMR yang tak sampai seperseratusnya.

Kini bayangkan kontrasnya, rakyat susah membeli beras, pejabat menari dengan semangat, dan tunjangan mengalir deras tanpa malu-malu.

Rasanya seperti menonton sandiwara absurd yang ditulis oleh pengarang paling sinis di dunia. Bahkan Orwell mungkin akan tertawa getir menyaksikan bahwa sindirannya pada 1945 masih terasa seperti berita hari ini.

Kehadiran sound horeg di tengah panggung pejabat seakan mewakili narasi baru, bahwa kerja bisa ditunda, selama joget bisa dilakukan.

Bahwa substansi bisa dikesampingkan, asal penampilan meriah dan viral. Padahal, yang dibutuhkan rakyat bukanlah dentuman bass, melainkan kepastian bahwa harga bahan pokok bisa dijangkau, pendidikan membaik, lapangan kerja dibuka, dan keadilan ditegakkan.

Dalih para pejabat justru terdengar bagai humor yang menyedihkan. Ketua MPR misalnya, mengatakan bahwa tubuh akan bergerak sendiri ketika musik enak terdengar.

Sebuah logika yang manis, tapi getir, karena seolah ingin mengatakan: "Meski kalian lapar, kami tetap bisa berjoget."

Pernyataan yang bisa diucapkan dengan senyum santai, tapi menusuk hati rakyat yang bahkan tak punya cukup alasan untuk tersenyum.

Tentu saja, kita tak bisa melarang siapa pun bersenang-senang, bahkan pejabat sekalipun. Namun yang dipersoalkan publik adalah waktu dan tempat.

Ketika rakyat sedang dihimpit krisis, ketika berita tentang harga beras, gas, dan listrik naik menjadi santapan harian, apakah pantas para pejabat menunjukkan euforia tanpa empati? Tidakkah ada batas tipis antara hiburan dan penghinaan?

Sebelumnya, sejumlah pejabat juga terekam berjoget dalam acara resmi, dari istana hingga gedung parlemen. Alasan yang dipakai selalu sama, untuk menghibur rakyat. Tapi lucunya, rakyat justru tidak merasa terhibur, malah merasa diejek secara kolektif.

Di sinilah satire Orwell menemukan panggungnya yang paling nyata. Ketika ia menulis Animal Farm, ia hendak menunjukkan bagaimana kekuasaan bisa menjadi teater kebohongan, di mana para penguasa tampil seolah bekerja demi semua, padahal hanya demi diri mereka sendiri.

Kini, puluhan tahun setelah novel itu diterbitkan, dunia nyata menyajikan pementasan yang bahkan lebih memalukan.

Barangkali ada yang berkata, "Bukankah kita terlalu serius menanggapi joget?"

Tidak, karena masalahnya bukan pada gerakan pinggul atau dentuman musik. Masalahnya adalah pada simbol.

Joget itu menjadi simbol jarak antara pemerintah dan rakyat, simbol bagaimana pejabat lebih cepat menanggapi undangan panggung daripada undangan musyawarah tentang masalah pangan. Simbol bahwa pesta lebih mendesak daripada penuntasan janji-janji kampanye.

Yang lebih ironis, fenomena ini cenderung diulang. Seolah viralitas lebih berharga daripada integritas. Hari ini bupati berjoget, besok mungkin menteri, lusa siapa tahu presiden ikut melirik beat sound horeg.

Kita tentu berharap tidak, tapi sejarah belakangan ini mengajarkan bahwa apa yang awalnya terasa tidak mungkin, lama-lama terasa biasa saja.

Dan di sinilah letak keresahan kita sebagai warga negara. Kita mendambakan pejabat yang merakyat, bukan yang berjoget ria di panggung seolah negeri ini taman hiburan.

Kita membutuhkan empati yang hadir dalam bentuk kebijakan, bukan tarian yang dibungkus alasan "hiburan".

Kita ingin melihat rencana kerja, bukan koreografi. Kita mendambakan musik yang menenangkan hati berupa penurunan harga sembako, bukan dentuman yang menambah sakit kepala.

Pada akhirnya, sindiran Orwell kembali menjadi relevan. Di negeri ini, semua orang memang setara. Namun sebagian orang, terutama mereka yang memiliki jabatan, sepertinya lebih setara dalam menikmati kemewahan, bahkan dalam hal menari di atas penderitaan rakyat.

Maka, jika pejabat kita begitu lihai berjoget, mungkin sudah saatnya rakyat menghentikan tepuk tangan palsu dan mulai meminta pertunjukan yang sesungguhnya, kerja nyata.

Karena pada titik tertentu, pesta harus usai, musik harus dihentikan, dan panggung harus kembali digunakan untuk sesuatu yang lebih bermakna.

Sampai saat itu tiba, kita hanya bisa menatap dengan getir dan bertanya dalam hati, apakah ini pemerintah atau sekadar rombongan penari keliling yang tak pernah lelah mencari sorotan kamera?

Di negeri ini, pejabat boleh saja menari, tapi jangan lupa, rakyat tidak bisa hidup dari tepukan tangan.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun