Dalam pandangannya, sound horeg hanyalah luapan dari keterbatasan ruang rekreasi, taman kota, dan arena hiburan rakyat yang selama ini diabaikan negara. Tapi sayangnya, pejabat kita justru memilih meniru budaya yang dipandang bermasalah itu, dan menampilkannya di panggung resmi seolah sebuah perayaan kemajuan.
Di sisi lain, di gedung parlemen yang megah, para wakil rakyat tengah membahas sesuatu yang tak kalah menggelitik, usulan kenaikan tunjangan yang bisa membuat dompet mereka seolah tak mengenal krisis.
Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, menyebut tunjangan beras senilai Rp12 juta per bulan, tunjangan bensin Rp7 juta, dan tambahan uang rumah sebesar Rp50 juta karena rumah dinas dicabut. Totalnya? Bisa menyentuh Rp100 juta per bulan.
Angka yang sulit dicerna akal sehat, apalagi bagi masyarakat yang bergelut dengan gaji UMR yang tak sampai seperseratusnya.
Kini bayangkan kontrasnya, rakyat susah membeli beras, pejabat menari dengan semangat, dan tunjangan mengalir deras tanpa malu-malu.
Rasanya seperti menonton sandiwara absurd yang ditulis oleh pengarang paling sinis di dunia. Bahkan Orwell mungkin akan tertawa getir menyaksikan bahwa sindirannya pada 1945 masih terasa seperti berita hari ini.
Kehadiran sound horeg di tengah panggung pejabat seakan mewakili narasi baru, bahwa kerja bisa ditunda, selama joget bisa dilakukan.
Bahwa substansi bisa dikesampingkan, asal penampilan meriah dan viral. Padahal, yang dibutuhkan rakyat bukanlah dentuman bass, melainkan kepastian bahwa harga bahan pokok bisa dijangkau, pendidikan membaik, lapangan kerja dibuka, dan keadilan ditegakkan.
Dalih para pejabat justru terdengar bagai humor yang menyedihkan. Ketua MPR misalnya, mengatakan bahwa tubuh akan bergerak sendiri ketika musik enak terdengar.
Sebuah logika yang manis, tapi getir, karena seolah ingin mengatakan: "Meski kalian lapar, kami tetap bisa berjoget."