Media memiliki peran besar dalam membentuk persepsi publik tentang kekerasan politik dan terorisme. Namun, tidak semua aksi kekerasan politik diberi label "terorisme" dalam pemberitaan. Ada faktor-faktor tertentu yang memengaruhi bagaimana suatu insiden diberitakan, termasuk siapa pelaku, di mana lokasi kejadian, dan bagaimana kepentingan politik berperan dalam narasi yang dibangun. Â
Penelitian yang dilakukan oleh Valerie Hase mengungkap adanya kecenderungan media menggunakan istilah "terorisme" lebih sering ketika insiden terjadi di negara Barat dan dilakukan oleh ekstremis Islam. Analisis terhadap lebih dari 86.668 insiden kekerasan dan 5.411 berita di Jerman antara 2012 hingga 2018 menunjukkan bahwa bias dalam pemberitaan bukan sekadar kebetulan, melainkan pola yang berulang. Bias ini juga diperkuat oleh studi Dixon & Williams (2015) serta Von Sikorski et al. (2021), yang menemukan bahwa media lebih sering mengaitkan Islam dengan terorisme, sementara kelompok ekstremis sayap kanan atau kiri lebih sering diberitakan dengan istilah yang lebih netral. Misalnya, serangan yang dilakukan oleh individu berkulit putih kerap disebut sebagai "lone wolf attack" atau serangan individu, bukan terorisme, meskipun modus operandinya sama dengan serangan yang dilakukan oleh kelompok ekstremis lainnya. Â
Dalam konteks politik, Fisher (2017) menjelaskan bahwa istilah "terorisme" sering digunakan secara selektif untuk membentuk opini publik dan mendukung kebijakan tertentu. Media dan pemerintah sering bekerja sama secara tidak langsung dalam menciptakan narasi yang menguntungkan kebijakan keamanan yang lebih ketat. Ketika suatu serangan dapat digunakan sebagai alasan untuk memperketat pengawasan atau memperluas wewenang aparat keamanan, media cenderung lebih cepat menyebutnya sebagai aksi terorisme. Sebaliknya, ketika pelaku berasal dari kelompok yang tidak sesuai dengan narasi umum tentang terorisme, pemberitaan cenderung lebih lunak. Â
Schmid (2011) menambahkan bahwa terorisme bukan hanya istilah objektif, tetapi juga alat politik yang digunakan untuk melegitimasi tindakan represif terhadap kelompok tertentu. Pasca-serangan 9/11, misalnya, kebijakan keamanan di banyak negara Barat diperketat dengan alasan perang melawan terorisme, tetapi dampaknya paling dirasakan oleh komunitas Muslim. Hal ini menunjukkan bagaimana label terorisme bisa digunakan untuk memperkuat kontrol sosial terhadap kelompok tertentu, sementara ancaman dari kelompok lain sering kali diabaikan. Â
Pemberitaan yang tidak seimbang mengenai terorisme dapat memperkuat stereotip negatif terhadap kelompok tertentu dan menciptakan ketakutan yang tidak proporsional di masyarakat. Selain itu, pendekatan media yang selektif dalam melaporkan insiden kekerasan politik dapat mengabaikan ancaman dari kelompok lain yang sebenarnya memiliki potensi bahaya yang sama besar. Misalnya, serangan terorisme domestik di Amerika Serikat yang dilakukan oleh kelompok supremasi kulit putih sering kali tidak mendapatkan perhatian media yang sama seperti serangan yang dilakukan oleh kelompok ekstremis Islam. Padahal, laporan dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan bahwa serangan teroris oleh kelompok sayap kanan di AS meningkat dalam beberapa tahun terakhir, tetapi sering kali hanya disebut sebagai "kejahatan kebencian" atau "radikalisasi individu," bukan terorisme. Â
Labelisasi terorisme dalam media tidak hanya berdasarkan fakta objektif, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor politik, sosial, dan budaya. Media memiliki tanggung jawab besar untuk memberitakan insiden kekerasan politik secara adil dan tidak memperkuat bias yang dapat memperburuk diskriminasi serta ketidakadilan. Agar pemberitaan lebih objektif, media perlu lebih kritis dalam menggunakan istilah "terorisme" dan memastikan bahwa semua bentuk kekerasan politik diberitakan secara seimbang, tanpa memandang latar belakang pelaku atau kepentingan politik tertentu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI