Mohon tunggu...
bowo arifin ryan fanuchi
bowo arifin ryan fanuchi Mohon Tunggu... Founder Kanal Progresif

Terlalu banya energi untuk dian. sedang ikthiar di Kanalprogresif.web.id

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Badan Penerimaan Negara (BPN): Solusi Pajak atau Resiko Baru

19 September 2025   05:20 Diperbarui: 19 September 2025   05:19 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pernahkah kamu bertanya-tanya mengapa rasio pajak kita seolah jalan di tempat, padahal kebutuhan belanja negara terus membengkak? Salah satu biang kerok yang jarang dibicarakan adalah sistem penerimaan kita yang terpisah. Di satu sisi ada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang mengurus pajak penghasilan dan PPN kita. Di sisi lain, ada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang menjaga lalu lintas barang di perbatasan.

Mereka seperti dua raksasa yang bekerja di bawah atap yang sama, Kementerian Keuangan, tapi jarang saling sapa. Akibatnya? Banyak celah. Data importir di Bea Cukai seringkali tidak sinkron dengan laporan pajaknya di DJP. Ini seperti membuka karpet merah bagi para pemain culas untuk mengakali pajak, mulai dari memanipulasi nilai barang impor hingga menggelapkan PPN. Negara pun kehilangan potensi triliunan rupiah.

Di tengah masalah klasik ini, muncullah kembali sebuah gagasan lama yang ambisius: membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN).

Satu Atap, Satu Data, Satu Komando

Konsep BPN sebenarnya sederhana: lebur DJP dan DJBC menjadi satu lembaga super yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Mirip seperti IRS di Amerika. Tujuannya jelas, menutup semua celah yang ada.

Bayangkan, ketika data impor, ekspor, dan pajak berada dalam satu sistem, tidak ada lagi ruang untuk berbohong. Pengawasan menjadi jauh lebih mudah, dari hulu hingga hilir. Lembaga baru ini juga akan punya "taring" yang lebih tajam karena posisinya yang langsung di bawah Presiden, memudahkannya untuk menindak para pengemplang pajak tanpa terhalang birokrasi yang rumit.

Tapi, Semudah Itukah?

Tentu saja tidak. Rintangan terbesarnya bukan soal teknis, melainkan soal manusia dan politik. Menggabungkan dua institusi raksasa dengan puluhan ribu pegawai dan budaya kerja yang sudah mendarah daging adalah pekerjaan mahasulit. Akan ada resistensi dari mereka yang "zona nyamannya" terganggu.

Wacana ini memang kompleks, penuh dengan janji manis sekaligus risiko besar. Untuk analisis lebih dalam soal tarik-menarik kepentingan politik di balik pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) dan dampaknya bagi sistem fiskal Indonesia, kamu bisa baca ulasan lengkapnya di Kanal Progresif.

BPN: Solusi atau Ancaman Baru?

Pada akhirnya, nasib BPN akan ditentukan oleh sejauh mana komitmen politik dijalankan. Apakah lembaga ini akan jadi mesin super fiskal atau sekadar monster birokrasi baru? Diskusi ini penting, karena menyangkut masa depan keuangan negara kita.

Menurut kamu, apakah BPN benar-benar solusi, atau justru lebih banyak risikonya? Tulis pendapatmu di kolom komentar!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun