Mohon tunggu...
Bono B Priambodo
Bono B Priambodo Mohon Tunggu... Dosen - Kandidat Doktor di Amsterdam Institute for Social Science Research

Bercita-cita jadi buaya keroncong atau merbot mesjid, sekarang malah mengajar hukum adat, koperasi, administrasi negara, lingkungan dan SdA di FHUI.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kemerdekaan Itu Komunal, Bukan Personal

3 November 2014   04:12 Diperbarui: 12 Agustus 2015   04:04 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hogere Optrekking

"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Demikianlah alinea pertama dari naskah resmi pernyataan kemerdekaan Indonesia pada 1945, yang sekarang lebih dikenal sebagai Pembukaan UUD 1945.

Bandingkan dengan "Kami berkeyakinan kebenaran ini terbukti dengan sendirinya, bahwa semua laki-laki diciptakan setara, bahwa mereka dianugrahi Penciptanya beberapa Hak yang tak dapat dicabut darinya, di antaranya Hak untuk Hidup, Hak atas Kebebasan dan Hak untuk mengejar Kebahagiaan." Kalimat ini pun merupakan pembuka dari pernyataan kemerdekaan Amerika Serikat pada 1776.

Mengenai kemerdekaan, Indonesia menisbatkannya pada BANGSA, sedangkan Amerika menisbatkan kebebasan pada orang perorangan. Apa ini semata karena Indonesia pada saat itu baru merdeka dari penjajahan? Ataukah karena sebelum itu "bangsa Indonesia" belum ada maka perlu diumumkan? Jelas tidak. Bangsa Amerika pun sebelum 1776 tidak ada, dan mereka juga baru saja merdeka dari Inggris.

Bung Karno pernah mengatakan bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan hogere optrekking (peningkatan ke taraf yang lebih tinggi) terhadap Pernyataan Kemerdekaan Amerika Serikat dan Manifesto Komunis sekaligus. Keduanya memang kutub-kutub ekstrim paham perseorangan (individualisme) yang kebablasan di satu pihak dan paham kebersamaan (komunalisme) yang dipaksakan di lain pihak.

Anugrah Kebebasan

Lalu bagaimana gagasan Indonesia yang katanya hogere optrekking itu? Bagi Indonesia, hak orang-seorang tidak perlu ditonjol-tonjolkan terhadap kewajibannya pada orang banyak. Demikian pula, kewajiban seseorang terhadap orang banyak pun jangan sampai menindas kepentingan pribadinya. Pada kenyataannya, keduanya berjalan beriringan. Keduanya kita temui dalam hidup sehari-hari, setiap harinya.

Mengapa demikian? Karena hak individual itu pada hakikatnya adalah hasil rekaan budaya, yang timbul dari hidup bermasyarakat. Hak individual diberikan oleh masyarakat pada orang-perorang yang menjadi anggotanya, sesuai dengan kebutuhannya. Jadi tidak benar jika dikatakan hak yang bersifat individu itu sudah lekat pada manusia sejak lahir.

Kenyataannya, yang lekat dengan manusia sejak lahir justru adalah kecenderungannya untuk membutuhkan orang lain, sekurangnya ibunya. Fakta biologis mengenai volume otak manusia yang sangat besar jika dibandingkan dengan syaraf tulang belakangnya menyiratkan kebutuhan bayi manusia yang besar akan pengasuhan. Bayi manusia, tidak seperti kambing, tidak bisa segera berlari setelah lahir.

Privasi atau kebebasan individual biasanya diberikan oleh masyarakat ketika seseorang membutuhkannya. Hubungan suami-istri, misalnya, diberikan privasi yang sangat besar untuk memungkinkan keduanya membentuk ikatan tidak saja batin tetapi juga lahir yang alangkah rapatnya-maka disebut "bersetubuh," agar perkawinan mereka langgeng dan bahagia.

Kembali ke Fitrah

Privasi-sebagaimana segala macam hak perorangan termasuk hal milik-tidak sekadar BERFUNGSI sosial, tetapi ADALAH fungsi sosial itu sendiri. Artinya, ia baru berguna/berfungsi dalam konteks sosial. Apa gunanya privasi jika seseorang hidup seorang diri di sebuah pulau terpencil di tengah lautan? Dengan begitu, sudah barang tentu, segala macam hak individu pun adalah ciptaan manusia dalam bermasyarakat; bukan ciptaan Tuhan!

Oleh sebab itu, hogere optrekking oleh Proklamasi 17 Agustus 1945 sesungguhnya mengembalikan manusia pada fitrahnya. Sudah menjadi fitrah manusia untuk selalu membutuhkan manusia lain dalam hidupnya, meski ada waktu-waktu di mana ia pun butuh sendirian. Hidup bersama yang menindas kepribadian adalah tidak alami, begitu pula kepentingan pribadi yang mengatasi kepentingan bersama.

Itu pula sebabnya, kemerdekaan adalah hak bangsa atau komunalitas apapun. Kemerdekaan adalah "hak" masyarakat. Terserah pada masyarakat untuk memberikannya pada pribadi-pribadi yang membutuhkannya. Demikianlah yang dikehendaki oleh "perikemanusiaan" atau hakikat kemanusiaan, yaitu, sejatinya keberadaan manusia hidup di muka bumi.

Dengan demikian pula, tidak boleh ada kelompok manusia yang merasa lebih tinggi derajat dan martabatnya dari kelompok-kelompok manusia lainnya, karena merasa lebih tinggi mutu budaya atau peradabannya. Tuhan Maha Adil menyebar manusia secara merata ke seluruh permukaan bumi. Berbeda tempat hidup, berbeda pula budayanya. Perbedaan budaya ini tidak berarti yang satu lebih tinggi dari lainnya.

Inilah memang pangkal penjajahan, merasa lebih tinggi dari lainnya, lalu tamak ingin semuanya; Atau sebaliknya, berangkat dari ketamakan, merenggut orang lain dari martabatnya, merasa menjadi pemenang, merasa lebih tinggi. Ini bertentangan dengan "perikeadilan," yakni, hakikat keadilan di mana kelompok-kelompok manusia ditakdirkan berbeda-beda, namun setara pada hakikatnya di mata Tuhan Yang Maha Esa.

Wallahu'alam bishawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun