Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Riset Ini "Jelaskan" Gejala "Mabuk Agama" Orang Indonesia, Apa 4 Relevansinya bagi Kita?

5 September 2020   06:16 Diperbarui: 5 September 2020   19:09 2485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terkadang, kita mengenal lebih baik seseorang atau sesuatu saat kita mengambil jarak darinya.

Saat kita ingin mengenal diri kita dan identitas kita, kita rupanya juga perlu mengambil jarak. Orang-orang lain sebagai pengamat juga akan membantu kita untuk mengenali siapa diri kita sebenarnya, yang selama ini kita anggap sudah kenal padahal belum.

Salah satu identitas diri yang penting adalah identitas keagamaan. Nah, bagaimana sebenarnya pemahaman orang Indonesia mengenai agama-agama dan pengaruh agama bagi hidup? Mengapa tak sedikit orang kita dan orang luar negeri menyebut Indonesia sebagai negara yang masyarakatnya "mabuk agama"? 

Sebuah riset ilmiah membantu kita untuk mengambil jarak dari keseharian kita dan melihat ciri khas bangsa kita dalam hal hidup berbangsa dan beragama.

Hasil Riset PEW Research tentang Agama

Pada 2019, PEW Research Center merilis sebuah laporan yang sangat menarik. Penelitian yang dilakukan di 27 negara itu bertujuan mengulik pengaruh agama-agama di negara-negara objek penelitian agar dapat memberi gambaran global mengenai peran agama bagi masyarakat dunia.

Salah satu hasil penelitian adalah bahwa orang dewasa muda menjadi kurang religius dibandingkan generasi yang lebih tua. Di 27 negara yang disurvei, lebih banyak orang berpendapat bahwa agama memainkan peran yang kurang penting daripada peran agama 20 tahun yang lalu. 

Akan tetapi, ada variasi regional yang substansial mengenai hal ini. Sekitar dua dari sepuluh orang mengatakan tidak ada perubahan pengaruh agama pada 20 tahun lalu dan kini.

Tabel berikut dapat kita baca dengan melihat indikator warna.

Warna hijau kusam menandakan persentase orang yang menganggap agama lebih penting perannya kini daripada 20 tahun lalu di negaranya.

Warna abu-abu mewakili persentase responden yang menilai pengaruh agama di negaranya sama saja atau tak berubah pada masa kini dan 20 tahun lalu. 

Warna biru tua menandakan persentase warga yang berpendapat bahwa pengaruh agama di negaranya makin melemah pada masa kini dibanding 20 tahun lalu. 

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2019. Dengan demikian, "20 tahun lalu" adalah 1999. Dalam konteks Indonesia, tahun 1999 adalah tahun awal periode setelah Orde Baru atau mulainya Reformasi. Metodologi survei dapat disimak di sini.

Eropa dan Amerika Utara

Responden Eropa dan Amerika Utara umumnya menilai bahwa peran agama dalam masyarakat mereka semakin menurun. 

Ada 58 persen warga Amerika Serikat yang menilai, peran agama di AS makin menurun. Sebanyak 64 persen warga Kanada mengatakan bahwa agama semakin tak berpengaruh di negeri mereka.

Sebanyak 65 persen orang Spanyol dan 61 persen orang Belanda sepakat bahwa agama makin mandul perannya di negeri masing-masing.

Nilai median Eropa dan Amerika Utara adalah 52 persen responden berpendapat bahwa agama makin lemah pengaruhnya di negara masing-masing.

Rusia, Australia, dan Sejumlah Negara Asia

pewresearch.org
pewresearch.org
Kelompok kedua meliputi Rusia, Australia, dan sejumlah negara Asia. Ada Indonesia, Filipina, India, Korea Selatan, dan Jepang. 

Saya tidak sempat mencari tahu, mengapa Rusia akhirnya disatukan dengan negara-negara Asia dan Australia. Mungkin saja, karena Rusia dianggap -meskipun secara ras mirip bangsa Eropa dan Amerika Utara- bukanlah bagian dari "kultur" Eropa dan Amerika Utara.

Hasil survei pada negara kelompok kedua ini menunjukkan hasil yang sangat menarik. Ada beberapa alasan. 

Pertama, negara-negara pada kelompok kedua ini sangat beragam tanggapannya. Ada Indonesia yang 83 persen warganya menilai agama saat ini memegang peran yang lebih penting daripada 20 tahun lalu. Sementara itu, 63 persen responden Australia menilai bahwa agama makin tidak berpengaruh di benua itu. 

Kedua, adanya 83 persen responden Indonesia yang berpendapat bahwa agama semakin berpengaruh dalam tiap sendi kehidupan menjadi angka tertinggi di antara 27 negara yang disurvei.

Hanya Nigeria (65 persen) dan Kenya (60 persen) yang bisa mengekor Indonesia dalam hal makin besarnya pengaruh agama dalam 20 tahun terakhir.

pewresearch.org
pewresearch.org
NB: sepertinya nilai di atas mengandaikan ada responden yang "tidak tahu atau tidak menjawab". Dalam pembahasan artikel saya ini, demi memudahkan, responden jenis ini kita abaikan. 

Istilah "Mabuk Agama"

Sebelumnya, saya perlu memberi penjelasan mengenai istilah "mabuk agama" ini agar tidak menimbulkan salah tafsir. 

Istilah ini memang bukan istilah ilmiah. Istilah ini muncul, antara lain, untuk menamai gejala makin kuatnya pengaruh agama dalam masyarakat kita, terutama dalam kaitannya dengan kontestasi politik berbasis politik identitas.

Istilah "mabuk agama" bukan berarti bahwa saya menilai bahwa agama itu seperti alkohol yang memabukkan. Agama sangat penting bagi saya. Juga bagi kita semua sebagai warga Indonesia ber-Pancasila. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi juga nafas hidup saya dan Anda, pembaca budiman. 

Istilah "mabuk agama" sejatinya adalah istilah yang mengajak kita untuk berkaca diri: "Seberapa kuat sih agama itu memengaruhi hidupku dan masyarakatku? Bagaimana seharusnya menempatkan agama secara tepat dalam konteks hidupku dan hidup berbangsa dalam masyarakat bineka di Indonesia?"

"Mabuk agama" pada judul artikel ini memang berkonotasi negatif, akan tetapi sebenarnya riset PEW Research tidak sedang membahas soal "mabuk agama". Maafkan saya yang menggunakan istilah "mabuk agama" itu untuk menarik minat Anda membaca ulasan "agak berat" ini. 

Empat Relevansi Riset PEW Research untuk Kita

Hasil riset bahwa 83 persen responden Indonesia menyatakan bahwa agama lebih berperan penting dalam hidup keseharian di Indonesia pada saat ini daripada 20 tahun lalu kiranya perlu dibaca dengan keterbukaan hati sekaligus sikap kritis.

Penting dipahami, sebuah riset ilmiah sekalipun hanyalah gambaran saja dari realitas, bukan realitas itu sendiri. Jika responden diubah, mungkin saja hasilnya juga sedikit berubah. Jika lembaga lain melakukan riset pembanding, bolehlah kita menilai validitas riset lembaga terdahulu.

Akan tetapi, riset di atas pada hemat saya menyajikan gambaran yang kurang-lebih aktual dan faktual mengenai masyarakat kita. Saya membahas hal ini dari sudut pandang personal saya, yang belum tentu Anda sepakati.

1. Agama dinilai makin penting itu baik asal ditempatkan secara bijak

Bahwa agama dinilai makin berperan besar pada masa kini oleh 83 persen orang Indonesia adalah hal yang baik. Tentu saja, asal ditempatkan secara bijaksana.

Aneka agama dan kepercayaan di Indonesia memberikan norma yang membimbing pemeluknya untuk berperilaku baik. Tidak ada satu pun agama dan kepercayaan di negara kita yang mengajarkan anarkisme yang dapat mengacaukan hidup berbangsa.

Menjadi penting bahwa kita menghayati agama secara kontekstual dalam masyarakat Bhinneka Tunggal Ika. Saya pernah mendengar anjuran demikian, "Fanatik boleh tapi internal diri dan agamamu sendiri. Saat bergaul dengan pemeluk agama lain, tampilkan selalu kasih sayang dan kelembutan".

Maksud dari anjuran itu kira-kira adalah bahwa kita sah-sah saja meyakini kebenaran dogmatik agama dan kepercayaan kita. Akan tetapi, jangan lalu menjadi fanatik sempit sampai-sampai merendahkan pemeluk agama dan kepercayaan lain.

Kita yang berbeda agama mustahil menyepakati satu iman yang sama secara dogmatik keagamaan. Akan tetapi, kita sangat mungkin bersatu dalam kasih sayang sebagai sesama warga Indonesia. 

Mari kita ingat pesan kepala negara kita, Presiden Joko Widodo: "Jangan ada yang merasa paling benar sendiri, dan yang lain dipersalahkan. Jangan ada yang merasa paling agamis sendiri. Jangan ada yang merasa paling Pancasilais sendiri."

2. Kita Perlu Waspadai Politisasi Agama

Seorang peneliti Jerman telah memaparkan pengamatan jitu soal kondisi politik tanah air. Pengamat itu adalah Profesor Susanne Schroter, Direktur Pusat Penelitian Islam Global di Frankfurt, FFGI. 

Ia menilai, "Peran agama (dalam politik) di Indonesia sekarang sangat  besar. Agama sekarang jadi instrumen utama berpolitik, dan agama diinstrumentalisasi oleh semua pihak".

Profesor ilmu politik itu, yang juga ketua Yayasan Orientalis Jerman Deutsche Orient Stiftung (DOS), menggambarkan jalannya kampanye di Indonesia sebagai perebutan wacana Islam. Tiap kubu mencoba mencari kelemahan lawan dengan mengangkat isu kadar keislaman.

Menurut Susanne, meningkatnya politisasi agama di Indonesia sebagai kegagalan elit politik. Elit politik kita dinilainya gagal mengisi falsafah Pancasila dan konstitusi yang demokratis dengan langkah-langkah nyata. 

Selengkapnya baca: Kritik Pengamat Jerman 

Mudah sekali kita menemukan contoh politisasi agama di negara kita akhir-akhir ini. Cukup sebut kontestasi Ahok-Anies Baswedan. Jika masih kurang, ingat lagi kontestasi Jokowi-Prabowo dan soal "salat Jumat di mana; leluhur komunis; bisa baca kitab suci tidak; dsb" terkait isu kadar keagamaan capres Pemilu lalu.

Cukup ingat lagi pemuka-pemuka agama dan kelompok-kelompok "berbaju agama" yang sebenarnya "berjiwa partai" atau "berjiwa politik".

Seorang pemilih yang kritis akan bertanya: "Lho kita ini memilih presiden Indonesia (baca: pemimpin politik) atau ahli baca kitab suci, sih? Apakah presiden atau gubernur atau kepala daerah harus seagama dengan warga mayoritas? Apakah seorang yang berpenampilan agamis pasti tidak korup? 

Kenapa isu komunis selalu muncul tiap kali nama-nama tertentu berkontestasi? Mengapa isu perempuan tak pantas jadi pemimpin selalu menghantui kontestasi politik kala ada kandidat perempuan?"

Nah, inilah yang bikin rame jagad perpolitikan Indonesia: politisasi agama! Menjegal saingan dengan isu agama (atau tak beragama atau kurang beragama). Bukan dengan adu program dan adu rekam jejak. 

Partai, politisi, dan buzzer ramai menjual Tuhan dan mengobral ayat suci untuk merebut simpati rakyat. Sebenarnya, yang kalian lakukan itu jahat!

Kita sebagai masyarakat warga harusnya secara kritis menolak politisasi agama ini. Pilih calon yang rekam jejaknya lebih baik, bukan berdasarkan tampilan luar keagamaannya. Dukung calon yang mampu memajukan daerah, bukan semata karena ia seagama dengan Anda.

3. Kita Perlu Waspadai Komersialisasi Agama

Agama dan simbol-simbol agama (termasuk tokoh agama) makin sering dikomersialisasi di Indonesia. Contohnya banyak sekali.

Tentu saja, baik bahwa masyarakat dan produsen di Indonesia semakin peduli soal produk yang sesuai ajaran agama. Akan tetapi, harus jujur kita akui bahwa ada juga "sisi gelap" komersialisasi  simbol-simbol agama.

Tengok saja iklan-iklan yang bertebaran di Indonesia, baik iklan media massa konvensional maupun media sosial. Produk-produk dan jasa dikemas dan diiklankan sebagai produk "bernapas keagamaan" meskipun sebenarnya tidak ada kaitannya dengan urusan keagamaan.

Pemuka-pemuka agama direkrut sebagai bintang iklan atau mengiklankan produk, yang -sayangnya- justru belakangan diketahui sebagai investasi bodong atau penipuan. 

Perlu dicatat, gejala komersialisasi agama ini bukan hanya terjadi pada (pemeluk dan simbol-simbol) agama mayoritas saja. Tengok saja apa yang terjadi saat Natal. Pusat perbelanjaan semarak dengan Sinterklas, yang sejatinya bukan simbol Natal sejati. 

Selengkapnya baca: Jangan Kaget, Sinterklas Bukan Simbol Natal Sejati

Karena itu, kita sebagai masyarakat warga hendaknya waspada. Jangan mudah terpesona oleh produk dan jasa yang dicitrakan sebagai produk keagamaan, padahal jauh dari nilai kebenaran. 

Jangan mudah diperdaya pesona pemuka agama yang merangkap sebagai influencer produk dan jasa (abal-abal).

4. Kita Perlu Waspadai Pengkultusan (Pseudo-) Pemuka Agama

Dalam lingkup tertentu, terus terjadi pengkultusan pemuka agama dan pseudo-pemuka agama dan kepercayaan di Indonesia.  Gejala munculnya "kerajaan-kerajaan halu" sebenarnya terkait juga dengan keinginan pribadi-pribadi tertentu untuk diakui sebagai pemuka agama.

Masyarakat Indonesia memang adalah masyarakat agamis. Nah, sayangnya, karakter luhur ini sering dimanipulasi oleh oknum pemuka agama dan pseudo-pemuka agama. 

Bukan rahasia umum, status sebagai pemuka agama adalah status tinggi dalam masyarakat Indonesia. Sejumlah oknum pemuka agama memanfaatkan statusnya secara keliru, yakni demi mengeruk keuntungan pribadi. 

Bahkan, baru-baru ini marak pastor, suster, dan biarawan palsu. Simak 7 Tips Waspadai Pastor-Suster Palsu ini.

Oknum-oknum ini senang sekali dihormati, dipuja-puji, dianggap "tuhan" oleh pengikutnya. Mereka melanggengkan kuasa dan pengaruh denggan menebarkan fanatisme sempit. Kadang dengan cara-cara antiPancasila, antikeberagaman, dan antilogika.

Dalam situasi ini, kita sebagai warga perlu menyadari bahwa pemuka agama itu bukan Tuhan. Jangan pernah menuhankan manusia, betapapun karismatiknya orang itu ketika berkhotbah dan berceramah.

Wasana Kata

Ulasan ini pun masih jauh dari tuntas. Saya harapkan rekan pembaca dan penulis Kompasiana menanggapi artikel ini dengan artikel balasan dan atau komentar. 

Salam persaudaraan. Sila bagikan artikel ini jika dipandang baik. Akhirulkalam, saya aturkan pesan ini: "Virtus in medio. Keutamaan ada di tengah. Bukan di salah satu ekstrem. Beragama itu baik sekali, tetapi "mabuk agama" itu sangat perlu kita waspadai."

Pojok baca: 1, 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun