Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Tips Menulis Puisi Tanpa Senja, Hujan, dan Kopi

27 Februari 2020   12:47 Diperbarui: 27 Februari 2020   17:48 1240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: coffee-writer.com

Umumnya kita merasa nyaman dengan diksi yang mudah kita dan pembaca pahami. Akan tetapi, diksi yang tak banal akan memperkaya wawasan kita dan pembaca. 

Saya pernah dibuat terkesima oleh sebuah puisi yang menggunakan kata purwapurna. Segera setelah saya menemukan kata itu, saya membuka kamus KBBI daring. Ternyata purwapurna tidak ada dalam kamus. Akan tetapi, kata purwa yang berarti "mula-mula" tercatat dalam kamus. Lantas, kata purna sebagai bentuk terikat yang berarti "selesai" juga tersua dalam kamus. 

Kata purwapurna kemungkinan besar adalah kreasi penulis dalam menggabungkan dua kata yang berarti "mula-mula" dan "selesai". Bisa jadi kata itu sebuah kata indah dari bahasa daerah atau asing yang belum masuk KBBI. Menarik, bukan?

Kekayaan bahasa daerah juga bisa kita manfaatkan dalam penulisan karya, termasuk puisi. Mengapa tidak menganggit puisi dengan memasukkan perbendaharaan kata bahasa daerah, tentu dengan memberikan catatan kaki agar pembaca mengerti?

Jangan takut menggunakan kata-kata yang belum banyak dikenal. Justru karya kita akan lebih menarik perhatian jika ada kata-kata unik di dalamnya. 

Sebuah cerpen saya yang dimuat sebuah majalah berjudul "Kuyan!". Apa itu kuyan? Kuyan adalah monyet dalam bahasa Dayak di Kalimantan Utara:)

Keempat, berani mengetengahkan tema unik.

Apa hubungannya antara diksi dan tema? Jelas ada hubungannya! Jika pilihan kata kita berkutat pada senja, kopi, dan hujan melulu, besar kemungkinan kita terpenjara pada tema yang amat terbatas.

Tema yang mungkin sering kita angkat adalah nostalgia, percintaan, dan ungkapan hati yang mengharu-biru. Tidak salah mengetengahkan tema-tema itu. Hanya saja, bukankah ada ratusan tema lain yang bisa kita gali?

Mengapa tidak mengetengahkan tema unik dalam karya kita? Tema persahabatan antaretnis, misalnya. Saya pernah menulis puisi bertema persahabatan lintas etnis berjudul Kisah Acong dan Slamet di Hari Imlek (sila klik). Tema unik lain adalah kepedulian sosial di tengah becana banjir.   Contohnya puisi Nanti Kita Cerita tentang Banjir Ini.

Cukup banyak rekan penulis di Kompasiana mengetengahkan puisi-puisi bertema unik. Inspirasinya bisa dari legenda dan hikayat lokal, adat, peristiwa menarik, tokoh inspiratif, karya sastra unggul, dan sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun