Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengapa Orang Indonesia Suka Komentar Tanpa Baca Dulu?

9 Juni 2019   11:14 Diperbarui: 9 Juni 2019   20:05 2051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi maha benar netizen dengan segala komentarnya (Sumber: humanislucu.com)

 

Ada pengalaman menarik yang saya alami sendiri terkait kebiasaan orang kita, orang Indonesia, yang ternyata suka komentar tanpa baca dulu apa isi tulisan atau unggahan seseorang di media sosial.

Suatu ketika tulisan saya diunggah admin Kompasiana di akun Instagram Kompasiana. Para keyboard warrior dan warganet Indonesia yang konon maha benar itu ternyata sebagian hanya membaca judul unggahan atau artikel saja sehingga berkomentar secara tidak tepat. 

Nggak nyambung. Bahkan komentar yang diberikan berkebalikan dengan isi artikel saya. Lho gimana sih? Tidak baca tulisan secara utuh tapi kok bisa komentar nyinyir? Hal senada tampak juga dalam komentar warganet kita secara umum di YouTube, Instagram, Facebook, Twitter, dan aneka media sosial. 

Banyak sekali warganet kita asal komentar tanpa menyimak dulu isi unggahan. Malas sekali membaca tapi amat cepat berkomentar. Nyinyir pula!

Menurut pendapat saya, ada 3 alasan mengapa orang Indonesia (netizen atau warganet) suka berkomentar tanpa baca dulu:

Pertama, Tingkat Literasi Amat Rendah
Saya meyakini, kebiasaan orang Indonesia yang suka berkomentar tanpa membaca dulu secara lengkap tulisan atau unggahan (di medsos) terkait erat dengan rendahnya literasi masyarakat kita. Setidaknya ada 2 penelitian atau jajak pendapat yang menegaskan betapa rendahnya literasi masyarakat Indonesia.

Pada tahun 2016, Survei World's Most Literate Nations yang dibuat Central Connecticut State University, Amerika Serikat menempatkan literasi masyarakat Indonesia di posisi ke-60 dari 61 negara yang disurvei.

Di tingkat lokal, survei Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI)/Indonesia National Assessment Program (INAP) yang mengukur literasi matematika, membaca, dan sains siswa kelas IV juga menunjukkan hasil mengecewakan. 

Menurut AKSI 2016, literasi matematika siswa kita mendapatkan skor 77,13 (kurang), literasi membaca 46,83 (kurang), dan literasi sains 73,61 (kurang). Rendahnya tingkat literasi pada ketiga mata pelajaran ini dengan mudah disimpulkan sebagai akibat minat baca di kalangan siswa Indonesia rendah.

Kedua, Jumlah Buku Amat Sedikit
Alasan kedua terkait erat dengan alasan pertama yang telah kita sebut di atas. Rendahnya literasi terkait dengan minimnya jumlah buku yang terbit per tahun di Indonesia.

Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) mengatakan, jumlah judul buku yang terbit per tahun di tanah air kita lebih dari 30 ribu judul. Rata-rata satu judul buku dicetak 3.000 eksemplar. Maka jumlah buku baru yang beredar per tahun sedikitnya mencapai 90 juta eksemplar.

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2015 sekitar 255.461.700 jiwa. Jika angka itu dibandingkan dengan jumlah judul buku terbit per tahun, maka judul buku baru yang terbit hanyalah 8 buku per satu juta penduduk. 

Angka ini kalah jauh dibandingkan dengan judul buku baru yang terbit per satu juta penduduk di Thailand pada 2015 yang berjumlah 168 dan di Filipina 93.

Pengalaman sebuah Dinas Pendidikan Kabupaten di Sumatera menunjukkan minimnya ketersediaan buku di daerah. Saat itu, Dinas Pendidikan setempat sampai bingung harus mencari buku di mana. Di kabupaten itu, tidak ada toko buku umum. Yang tersedia hanya buku agama. Akhirnya, Dinas Pendidikan membeli buku yang tersedia, yakni buku-buku agama saja dan mendistribusikannya ke sekolah-sekolah.

Ketiga, Tiadanya Pendidikan Bermedia (Sosial)
Menjamurnya internet yang membuka akses mudah ke media sosial tak diimbangi dengan pendidikan bermedia sosial bagi warga Indonesia. Masyarakat dibiarkan begitu saja menggunakan media sosial tanpa dibekali wawasan mengenai peluang dan bahaya yang mengintai di balik media sosial.

Sangat jarang atau bahkan tidak pernah kita mendengar pemerintah memberi edukasi secara masif dan terstruktur mengenai kecerdasan dan etika bermedia sosial. Kurikulum formal memang memuat pelajaran teknologi informatika dan komputer, namun soal etika dan kecerdasan bermedia sosial tak disinggung.

Akibatnya, masyarakat yang sudah tingkat literasinya rendah makin terperosok ke dalam kebiasaan bermedia sosial tanpa kecerdasan dan etika. Berita bohong ditelan mentah-mentah dan justru disebarkan. 

Amat sedikit orang yang mau bersusah-payah mengecek kanal berita tepercaya untuk memastikan bahwa "berita" yang sedang ia baca termasuk hoaks atau bukan. Tak banyak yang mau membaca seluruh isi artikel dan unggahan di medsos. Kalau bisa langsung komentar, kenapa harus baca utuh? Kalau bisa simpel, mengapa dibuat repot?

Menyigi Solusi

Hemat saya, warga(net) Indonesia harus lebih pandai mendidik diri dan orang lain. Mulailah dari diri sendiri dan keluarga. Biasakan membaca tulisan dan unggahan dengan cermat sebelum berkomentar. Didik anak dan remaja untuk mau membaca utuh sebelum mengomentari tulisan di medsos.

Pengajar dan pemuka agama perlu mendidik anak didik dan umat masing-masing untuk cerdas bermedia sosial. Tanamkan sikap kritis terhadap konten medsos. Beri pemahaman bahwa hanya membaca judul suatu unggahan atau tulisan di medsos bisa amat menipu. 

Beberapa judul justru bersifat sarkastis. Ketika dibaca dengan saksama, isinya berbalik 180 derajat dengan judulnya. Misalnya judul "Terima Kasih pada Gubernur yang Membebaskan Kota dari Banjir" bisa jadi berisi kritik terhadap gubernur yang gagal mengendalikan banjir. 

Pemerintah melalui aneka kementerian dan badan terkait perlu memberi edukasi pada warga mengenai cara cerdas bermedia sosial. Mengapa tidak dibuat aneka lomba, challenge, festival penyadaran kecerdasan bermedia sosial secara masif dan terstruktur? 

Bukankah saat ini setiap kementerian dan badan negara punya akun medsos yang amat bisa digunakan untuk membuat gerakan penyadaran cerdas bermedia sosial? Mengapa tidak dibuat kurikulum yang memasukkan keterampilan bermedia sosial sebagai pelajaran wajib? 

Jika kita perhatikan, Indonesia sudah darurat minimnya kecerdasan bermedia sosial. Tengok saja menjamurnya berita bohong, ujaran kebencian, tindak kejahatan daring, perundungan di dunia maya, dan kebiasaan buruk asal berkomentar. 

Jika ingin mendidik masyarakat, tak cukup imbauan, tapi harus ada kehendak politik yang kuat untuk mendidik masyarakat bermedia sosial, mulai dari usia dini. 

Salam literasi (digital). Saya yakin, ketika artikel ini dimuat di kanal medsos Kompasiana, akan ada (banyak) warganet yang cuma baca judulnya, lalu berkomentar atau memberi tanda "like" atau membagikannya di medsos masing-masing. Tentu saja, tanpa (harus) membaca isi artikel ini...

Ya. Indonesia memang surga warga(net) maha benar dan keyboard warriors paling jago sedunia!

Salam dari saya, warganet mahasalah ^_^.

Rujukan: gmb-indonesia.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun