Kedua, Jumlah Buku Amat Sedikit
Alasan kedua terkait erat dengan alasan pertama yang telah kita sebut di atas. Rendahnya literasi terkait dengan minimnya jumlah buku yang terbit per tahun di Indonesia.
Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) mengatakan, jumlah judul buku yang terbit per tahun di tanah air kita lebih dari 30 ribu judul. Rata-rata satu judul buku dicetak 3.000 eksemplar. Maka jumlah buku baru yang beredar per tahun sedikitnya mencapai 90 juta eksemplar.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2015 sekitar 255.461.700 jiwa. Jika angka itu dibandingkan dengan jumlah judul buku terbit per tahun, maka judul buku baru yang terbit hanyalah 8 buku per satu juta penduduk.Â
Angka ini kalah jauh dibandingkan dengan judul buku baru yang terbit per satu juta penduduk di Thailand pada 2015 yang berjumlah 168 dan di Filipina 93.
Pengalaman sebuah Dinas Pendidikan Kabupaten di Sumatera menunjukkan minimnya ketersediaan buku di daerah. Saat itu, Dinas Pendidikan setempat sampai bingung harus mencari buku di mana. Di kabupaten itu, tidak ada toko buku umum. Yang tersedia hanya buku agama. Akhirnya, Dinas Pendidikan membeli buku yang tersedia, yakni buku-buku agama saja dan mendistribusikannya ke sekolah-sekolah.
Ketiga, Tiadanya Pendidikan Bermedia (Sosial)
Menjamurnya internet yang membuka akses mudah ke media sosial tak diimbangi dengan pendidikan bermedia sosial bagi warga Indonesia. Masyarakat dibiarkan begitu saja menggunakan media sosial tanpa dibekali wawasan mengenai peluang dan bahaya yang mengintai di balik media sosial.
Sangat jarang atau bahkan tidak pernah kita mendengar pemerintah memberi edukasi secara masif dan terstruktur mengenai kecerdasan dan etika bermedia sosial. Kurikulum formal memang memuat pelajaran teknologi informatika dan komputer, namun soal etika dan kecerdasan bermedia sosial tak disinggung.
Akibatnya, masyarakat yang sudah tingkat literasinya rendah makin terperosok ke dalam kebiasaan bermedia sosial tanpa kecerdasan dan etika. Berita bohong ditelan mentah-mentah dan justru disebarkan.Â
Amat sedikit orang yang mau bersusah-payah mengecek kanal berita tepercaya untuk memastikan bahwa "berita" yang sedang ia baca termasuk hoaks atau bukan. Tak banyak yang mau membaca seluruh isi artikel dan unggahan di medsos. Kalau bisa langsung komentar, kenapa harus baca utuh? Kalau bisa simpel, mengapa dibuat repot?
Menyigi Solusi
Hemat saya, warga(net) Indonesia harus lebih pandai mendidik diri dan orang lain. Mulailah dari diri sendiri dan keluarga. Biasakan membaca tulisan dan unggahan dengan cermat sebelum berkomentar. Didik anak dan remaja untuk mau membaca utuh sebelum mengomentari tulisan di medsos.