Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

4 Mitos Keliru tentang Sosok Teroris

16 Maret 2019   08:46 Diperbarui: 16 Maret 2019   08:55 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita yang hidup di Indonesia cukup punya banyak pengalaman dengan apa yang disebut terorisme dan teroris.

Selama ini, terorisme telah mewarnai sejarah bangsa kita. Akan tetapi, dalam benak kita bisa jadi masih ada mitos-mitos keliru tentang sosok teroris.

Pertanyaan-pertanyaan singkat

Sebelum membahas empat mitos keliru tentang teroris, saya mengundang Anda untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan singkat berikut dengan jujur dan spontan (tak usah terlalu lama berpikir):

Saat Anda mendengar kata teroris,

1) apakah spontan Anda mengaitkan teroris dengan agama tertentu?   [ ya/tidak ]
2) siapa nama teroris yang langsung muncul di benak Anda? [jawab: ...........]
3) apa nama kelompok teror yang spontan muncul di pikiran Anda? [jawab: .....]
4) kata-kata sifat apa yang muncul di benak Anda untuk menggambarkan sosok teroris? 

Misalnya : menyeramkan, tertutup, keras kepala

jawab: .......
5) tingkat pendidikan mana yang secara spontan Anda kaitkan dengan teroris? 

jawab: 

- tak berpendidikan
- pendidikan rendah
- pendidikan menengah
- pendidikan tinggi

6) tingkat ekonomi mana yang secara spontan Anda kaitkan dengan teroris?
- miskin
- menengah
- kaya

Nah, mari kita simak apakah jawaban Anda menggambarkan mitos-mitos tentang teroris dalam pengamatan saya.

Mitos pertama: teroris selalu terkait agama tertentu

Kita yang hidup di Indonesia memang punya banyak pengalaman dengan pelaku teror yang ingin mendirikan khilafah di Indonesia. Akan tetapi, sejarah membuktikan, terorisme dilakukan oleh aneka kalangan. 

Cobalah baca laman wikipedia ini: List of designated terrorist groups

Anda akan menemukan teroris beragama Islam, Kristen, Katolik, juga teroris tak beragama.

Jadi, teroris selalu terkait motif agama (tertentu) adalah mitos. Teroris bisa jadi tak beragama atau menggunakan agama hanya untuk menarik simpati pengikut dan publik demi meraih tujuan mereka dengan cara-cara kekerasan.

Mitos kedua: teroris orangnya seram dan tertutup

Simak kutipan berita berikut:

- "Sehari-hari, Z kerap bergaul dengan masyarakat. Warga pun tak curiga dengan sosok Z. Apalagi rata-rata warga di Gunung Gagak bekerja sebagai buruh tani. " Sumber

- Dua terduga teroris yang ditangkap Densus 88 dan Polda Sumsel di Mariana, Banyuasin, sehari-hari menjual jamu dan membuka usaha bengkel. Tetangga tak menduga keduanya diduga terlibat kelompok radikal. Sumber

Teroris seram dan jarang bergaul adalah stereotip umum. Namun, jangan lupa, seorang teroris yang lihai justru bertindak sebaliknya. Bisa terjadi, teroris yang bersangkutan sedang mencari simpati warga atau sedang menutupi kegiatan kelompoknya dengan tetap bergaul wajar dengan masyarakat sekitar.

Mitos ketiga: teroris berpendidikan rendah

Azahari bin Husin atau Doktor Azahari adalah seorang insinyur Malaysia yang diduga kuat merupakan otak di belakang Bom Bali 2002 dan 2005. 

Ia tewas dalam penggerebekan oleh polisi di Malang. 

Noordin M. Top, rekan Azahari,  pernah mengecap pendidikan akuntansi dari Universiti Teknologi Malaysia (UTM).

Kedua teroris ini berpendidikan tinggi. 

Justru pendidikan tinggi ini mereka salah gunakan untuk meracik bom, merancang aksi teror tingkat tinggi, melarikan diri dari pantauan aparat, dan sebagainya.

Mitos keempat: teroris dari kalangan ekonomi lemah

Contoh Doktor Azahari di atas membuktikan, teroris juga berasal dari kalangan berada. Justru yang paling mendukung suburnya terorisme adalah para penyandang dana.

Tanpa dana, tak mungkin teroris "lapangan" bergerak leluasa. 

Mirisnya, para penyandang dana terorisme ini bisa jadi adalah orang-orang kaya yang tak bakal dicurigai terlibat dalam terorisme.

Mereka bisa jadi dekat dengan aparat karena sering memberi "upeti". Mereka bisa jadi adalah tokoh-tokoh penting di tingkat pusat, entah sebagai pejabat tinggi negara, petinggi partai, pengusaha sukses, pemuka agama tersohor, dan sebagainya.

Nah, membongkar jaringan terorisme level atas ini tentu tak mudah bagi aparat negara mana pun. Sebabnya, sel-sel teror itu telah menyusup di segala kalangan masyarakat: terdidik sampai tak berpendidikan, kaya sampai miskin, beragama sampai tak beragama, petinggi sampai rakyat jelata.

tak heran, negara-negara maju pun terus kecolongan dengan aksi-aksi terorisme internasional maupun lokal. 

Apa yang bisa kita lakukan?

Untuk mempersempit ruang gerak teroris(me), beberapa hal ini bisa kita lakukan:

- mengembangkan budaya toleransi dan tenggang rasa

- mendidik generasi muda untuk melihat perbedaan sebagai kekayaan, bukan ancaman

- memelajari agama dengan hati dan akal sehat

- kritis membaca dan menafsirkan ayat-ayat atau ajaran yang bernada kekerasan atau membahas perang sesuai konteks ayat-ayat tersebut

- bergaul dengan segala kalangan, bukan hanya kalangan seagama, sesuku, sepandangan politik saja

- banyak membaca agar wawasan luas

- menjalin pengamanan berbasis warga di lingkup akar rumput

- sedini mungkin melaporkan pada aparat saat melihat keganjilan

Semoga rumah kita bersama, Indonesia dijauhkan Tuhan dari segala kebencian, pertengkaran, dan terorisme.

Kita juga yang bertanggung jawab menciptakan hidup rukun bertetangga dan bermasyarakat di lingkup masing-masing.

Salam persaudaraan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun