Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Penulis

Citizen Journalism

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aktivisme Gen Z mengolah Swipe, share, March dari Feed ke Realita

19 September 2025   16:24 Diperbarui: 19 September 2025   17:12 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Demo Gen Z dari larangan media sosial di Nepal,  Imigrasi dan kebebasan berbicara di Inggris (Source: Viory—diolah menggunakan Canva)

Kamu pernah scroll TikTok, nemu video tentang perubahan iklim, terus langsung mikir, "Eh, ini penting banget"?  Atau mungkin kamu pernah share postingan soal kesehatan mental, lalu ngajak teman ngobrol lebih dalam soal itu? Kalau iya, selamat—kamu udah jadi bagian dari aktivisme Gen-Z.

**

Dalam beberapa waktu terakhir, dunia menyaksikan gelombang demonstrasi yang dipimpin oleh Gen Z—generasi yang lahir di era digital, tumbuh dengan kesadaran sosial, dan tak segan menyuarakan ketidakadilan. Meski berbeda negara, isu yang mereka angkat punya pola yang mirip: korupsi, ketimpangan, dan pembungkaman suara.

Dulu, aktivisme identik dengan orasi dan spanduk. Sekarang? Bisa lewat meme, video lucu, atau bahkan outfit yang statement banget. Gen-Z tahu cara bikin isu berat jadi relatable. Kita bisa bahas privilage sambil pakai filter lucu, atau bahas keadilan sosial lewat puisi di caption.

Tapi jangan salah di balik gaya santai itu, ada keresahan yang nyata. Kita share karena peduli. Kita bikin konten karena ingin didengar. Dan kita tahu, satu postingan bisa jadi awal perubahan. Begitulah cara Gen Z mengolah swipe, share, march—mengubah keresahan menjadi gerakan, dari layar ke jalanan.

Mereka menyuarakan ketidakadilan lewat unggahan, menyebarkan solidaritas lewat media sosial, lalu melangkah nyata di jalanan seperti yang terjadi di Nepal, Inggris, dan Prancis—semuanya beresonansi dengan semangat Gen Z Indonesia yang lebih dulu menyalakan api perubahan lewat kreativitas, keberanian, dan suara yang tak bisa dibungkam.

Awal September 2025, pemerintah Nepal melarang 26 platform media sosial. Gen Z, yang sangat bergantung pada ruang digital untuk berekspresi, langsung bereaksi.

Sebuah video lama berisi pidato penuh semangat dari Abiskar Raut, seorang pelajar sekolah menengah di Nepal, viral di media sosial dan menjadi pemantik gelombang demonstrasi besar-besaran yang digerakkan oleh Gen Z di seluruh negeri. 

Di balik gerakan ini, nama Sudan Gurung muncul sebagai tokoh sentral yang mengorganisasi aksi melalui LSM Hami Nepal, mengajak ribuan anak muda ke jalan menuntut keadilan, transparasi, dan pembebasan ruang digital. 

**

Resonansi yang Sama, Bahasa yang Berbeda

Meski konteks lokal berbeda, ada benang merah yang menghubungkan semua gerakan ini: 

  • Kemarahan terhadap korupsi dan ketimpangan
  • Penolakan terhadap pembungkaman suara, baik digital maupun fisik
  • Penggunaan media sosial sebagai alat mobilisasi dan edukasi
  • Simbol budaya pop sebagai ekspresi perlawanan (One Piece, meme, musik)
  • Gerakan tanpa pemimpin tunggal—fleksibel, cair, dan sulit dipadamkan.

Gen Z tidak hanya protes karena kecewa. mereka punya visi tentang masa depan yang lebih adil, transparan, dan inklusif. Mereka mengolah algoritma, tren viral, dan solidaritas digital menjadi gerakan nyata yang mengguncang sistem. 

Isu yang bikin meraka gerak itu beragam banget—mulai dari korupsi yang makin nggak masuk akal, sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan, pengangguran kian meningkat, sampai kebebeasan berekspresi yang makin sempit. 

Disisi lain, mereka juga marah soal nepo kids (gaya hidup mewah anak politisi) yang hidup mewah dari uang rakyat, soal akses pendidikan dan kesehatan yang nggak merata, dan soal ruang digital yang dibatasi seenaknya.

Di Inggris, demo Gen Z dipicu kebijakan yang kontroversial: menolak retorika anti-imigran yang digaungkan oleh kelompok ekstrem kanan. Kebebasan berbicara yang mengklaim membela "kebebasan berbicara terbesar dalam sejarah inggris". Namun, banyak Gen Z yang melihat ini sebagai kedok untuk menyebarkan ujaran kebencian.

Mereka turun ke jalan untuk:

  • Menolak ujaran kebencian yang dibungkus kebebeasan berbicara
  • Membela hak imigran dan minoritas
  • Menuntut ruang publik yang aman dan inklusif

Demo ini mencerminkan pola yang sama seperti di Nepal, prancis, dan Indonesia: anak muda yang melek digital, sadar isu, dan berani bergerak. Ketika Gen Z bicara, dunia mulai mendengar—dan pemerintah pun tak bisa lagi menutup telinga. 

Resonansi global dari aksi-aksi anak muda, dari nepal hingga inggris, dari Prancis hingga Indonesia, menunjukkan bahwa suara Gen Z bukan sekadar riuh di media sosial, tapi gema yang mengguncang kebijakan. Pemerintah mulai menyadari: generasi ini tak hanya menuntut perubahan, mereka tahu cara menggerakannya.

**

Aktivivisme Gen Z tuh udah bukan cuma soal repost di story atau bikin thread panjang di X. Sekarang, dari feed ke realita, mereka turun langsung—ngumpul di taman, bikin diskusi, galang dana, bahkan buka lapak edukasi di warung kopi. Gerakannya nggak ribut, tapi ngena. 

Mereka tahu: perubahan nggak harus viral, yang penting berdampak. Jadi, kalau kamu melihat anak muda bawa poster, nyebar zine, atau ngajak ngobrol soal isu sosial sambil ngopi—itu bukan gaya-gayaan. Itu cara Gen Z bilang, "Kita peduli, dan kita bergerak."

Pemerintah seharusnya nggak cuma melihat aktivisme Gen Z sebagai "keributan anak muda", tapi sebagai sinyal kuat bahwa generasi ini peduli, melek isu, dan siap ikut membangun masa depan. Bukan waktunya lagi buat tutup telinga atau kasih janji kosong—yang dibutuhkan adalah ruang dialog, transportasi, dan keberanian untuk berubah bareng. 

Diakhir tulisan ini, aku ingin katakan aktivisme Gen Z bukan hanya sekedar fenomena gerakan sosial. Gerakan Gen Z itu udah jadi semacam ekosistem sosial baru—campuran antara ekspresi diri, solidaritas digital, dan aksi nyata. 

Mereka nggak cuma ikut-ikutan tren, tapi sering jadi pemantik obrolan penting: soal lingkungan, kesehatan, mental, kesetaraan, bahkan budaya lokal yang nyaris tenggelam. Jadi ini bukan cuma fenomena sosial—ini cara hidup, cara berpikir, dan cara mereka merawat dunia yang mereka warisi.

Yuk, jadi bagian dari obrolan yang bermakna! Kalau kamu punya pandangan, pengalaman, atau saran soal aktivisme Gen Z—baik dari sudut pandang pelaku, pengamat, atau sekadar pembaca yang peduli —jangan ragu untuk tinggalkan komentar di bawah. Masukan dari kamu, para pembaca komisioner yang budiman,bisa bahan refleksi sekaligus inspirasi untuk gerakan yang lebih inklusif dan berdampak. Salam Kompasianer. (*)

Samarinda, 19 September 2025
Penulis: Riduannor

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun