Pernah nggak sih, kamu merasa "udah paham banget" soal keuangan, padahal baru nonton dua video youtube dan baca satu thread X (dulu twitter) atau Instagram? Tenang, kamu nggak sendiri. Banyak dari kita—terutama generasi muda—pernah terjebak dalam ilusi tahu. Dan di sinilah efek Dunning-Kruger mulai beraksi.
● ● ●
Efek Dunning-Kruger: Pintar di Kepala, Kosong di Dompet
Efek Dunning-Krugger adalah bias psikologis di mana seseorang yang baru tahu sedikit justru merasa paling tahu. Dalam dunia finansial, ini bisa jadi jebakan manis. Kita merasa pintar karena pernah untung sekali, lalu mulai percaya diri berlebihan. Padahal, pemahaman kita masih dangkal.
Contohnya? investasi cripto. Tiap kali aku follow akun baru di Instagram, pasti ada aja yang langsung kirim pesan soal bisnis kripto—lengkap dengan screenshot keuntungan harian yang katanya "gila banget". Tapi jujur aja, aku nggak tergoda sama sekali. Buatku investasi itu bukan soal untung cepat, apalagi kalau sistemnya nggak jelas dan rawan "fraud"(penipuan atau kecurangan).
Banyak anak muda yang baru kenal kripto langsung menjadi "pakar". Mereka masuk ke pasar dengan modal nekat dan rasa yakin tinggi. Tapi ketika pasar jatuh, barulah sadar: ternyata belum benar-benar paham.
Overconfidence: Saudara Dekat Dunning-Kruger
Efek Dunning-kruger sering jalan bareng dengan overconfidence. Rasa percaya diri yang berlebihan membuat kita ambil keputusan finansial tanpa pertimbangan matang. Kita merasa bisa mengatur semuanya, padahal belum punya dasar yang kuat.
- Baru kerja, langsung ambil cicilan motor mahal.
- Baru belajar investasi, langsung ngajarin orang lain cara investasi.
- Baru tahu istilah "diversifikasi", langsung ngajarin orang lain cara investasi.
Semua itu bukan karena kita bodoh. Tapi karena kita belum sadar bahwa tahu sedikit bukan berarti tahu cukup.
Seorang teman pengawas sekolah pernah bercerita, ia beli aset kripto karena "kata orang ini bakal naik". Waktu itu, ia merasa pintar. Tapi grafik merah yang muncul beberapa minggu kemudian bikin ia duduk termenung di kantor , sambil mikir: "Kenapa aku nggak belajar lebih dulu?"
Dari situ aku belajar dari cerita teman, bahwa bijak dalam finansial bukan soal tahu banyak. Tapi soal tahu kapan harus bertanya, kapan harus berhenti, dan kapan harus bilang, "Aku belum paham."
Seorang pemuda yang tampak cerdas dengan penuh semangat menjelaskan grafik saham di layar ponselnya, meyakinkan teman-temannya untuk ikut berinvestasi seperti dirinya—namun sayangnya, di balik rasa percaya diri itu, ia sendiri belum memahami resikonya, dan akhirnya mereka semua tertipu oleh skema yang tampak menjanjikan di awal.
Bijak itu Proses, Bukan Status
Rencana finansial yang sehat dibangun dari proses belajar yang jujur. Bukan dari rasa ingin terlihat pintar. Kita nggak harus jadi ahli keuangan untuk bisa mengelola uang dengan baik. Kita cuma perlu rendah hati, konsisten, dan mau belajar.
Bijak itu:
- Mau mendengar pengalaman orang lain
- Nggak malu bilang "aku belum tahu"
- Nggak tergoda ikut tren tanpa riset
- Berani bilang "nanti dulu" saat ingin belanja impulsif
Langkah untuk tidak terjebak dalam overconfidence, terutama dalam hal finansial, bukan soal menahan diri sepenuhnya—tapi soal membangun kesadaran dan kebijaksanaan dalam setiap keputusan.
Berikut beberapa langkah yang bisa kamu lakukan agar tetap rendah hati dan bijak:
1. Sadari bahwa merasa tahu bukan berarti benar-benar tahu
kadang kita merasa sudah paham karena pernah sukses sekali atau baca satu-dua sumber. Tapi dunia finansial itu luas dan dinamis. Selalu ada hal baru yang belum kita ketahui.
"Semakin kita belajar, semakin kita sadar betapa banyak yang belum kita pahami."
2. Terus belajar dari sumber yang beragam
Jangan hanya mengandalkan satu influencer atau satu video. Baca dari berbagai sudut pandang—artikel, buku, pengalaman orang lain. Belajar dari kegagalan juga penting, bukan hanya dari keberhasilan.
3. Diskusikan keputusan dengan orang yang lebih berpengalaman
Sebelum ambil langkah besar, coba ngobrol dengan mentor, teman yang sudah lebih dulu terjun, atau komunitas yang sehat. Perspektif luar bisa jadi cermin yang membantu kita melihat bias pribadi.
4. Gunakan data, bukan asumsi
Dalam investasi atau pengelolaan uang, jangan hanya mengandalkan intuisi. Lihat tren, analisis risiko, dan buat simulasi. Data membantu kita berpikir lebih objektif.
5. Latih kerendahan hati dalam keputusan
Berani bilang "aku belum tahu" atau "aku perlu waktu untuk belajar" adalah kekuatan, bukan kelemahan. Orang yang bijak tahu kapan harus berhenti, kapan harus bertanya, dan kapan harus mulai lagi.
6. Catat keputusan dan evaluasi hasilnya
Dengan mencatat, kita bisa melihat pola: apakah keputusan kita selama ini berdasarkan analisis atau sekadar impulsif? Evaluasi rutin membantu kita tumbuh dan menghindari kesalahan berulang.
● ● ●
Jadi, dalam mengelola keuangan, bukan soal siapa yang paling cepat paham atau paling berani ambil risiko. Tapi siapa yang cukup bijak untuk terus belajar, bertanya, dan mengenali batas dirinya.
Karena kadang, rasa tahu yang berlebihan justru menjauhkan kita dari keputusan yang sehat.
Kalau kamu punya pengalaman, pendapat, atau bahkan pelajaran pribadi soal overconfidence dan finansial. Silahkan tinggalkan komentar atau tanggapanmu di kolom komentar artikel Kompasiana—siapa tahu, cerita kamu bisa menjadi inspirasi buat orang lain juga.(*)
Samarinda, 18 September 2025
Penulis: Riduannor
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI