Hidup ini cuma persinggahan. Kita berjalan, bertemu, berpisah, dan kadang tak sempat kembali. Tapi setiap langkah punya arah, dan setiap jiwa punya tempat pulang. Dunia bukan tujuan akhir, hanya jalan yang mengantar kita kembali ke tanah yang dijanjikan—tempat asal, tempat abadi.
**
Ada sebuah kabar yang mampir lewat media sosial, muncul di beranda seperti tamu tak diundang. Sebuah status berduka, disertai foto yang langsung membuatku diam sejenak. Wajah itu... teman lama yang sangat kukenal. Untuk mengenang, rasanya tak perlu kusebutkan namanya—biarlah tetap jadi bagian yang tenang dan pribadi.
Ingat dia, aku langsung teringat Paris van Java. Lima belas tahun lalu, kami sempat jalan bareng ke sana, liburan. Bukan pacar, bukan juga kekasih—cuma sahabat, meski rasanya lebih dari sekadar teman.
Aku kembali membuka buku diary yang sudah lama kusimpan. Sampulnya masih dari kulit, masih ada jejak kamitetep yang dulu sempat menetap di sana. Pelan-pelan, aku membaca ulang tulisan-tulisanku tentang dia—tentang masa yang pernah begitu dekat.
Setelah membaca kembali halaman-halaman lama di diary itu, aku terdiam sejenak. Dalam hati, aku berbicara pelan—hidup ini memang singkat. Berapapun umur yang kita jalani di dunia, ujungnya tetap satu: kita akan sampai di titik untuk berpulang, menuju kekekalan.Â
Rasanya seperti diingatkan lagi, bahwa setiap tawa, setiap luka, setiap pertemuan dan perpisahan... semuanya hanya mampir sebentar. Maka kalau masih diberi waktu, semoga bisa dijalani dengan hati yang ringan dan niat yang tulus.
**
Kadang aku lupa, bahwa waktu berjalan tanpa suara. Kita sibuk tumbuh, sibuk mengejar, sibuk merasa... sampai akhirnya sadar, banyak hal yang dulu terasa besar, kini hanya jadi catatan kecil di sudut halaman.Â
Tapi justru di sanalah letaknya: hidup bukan soal panjangnya, tapi tentang apa yang sempat kita rasakan, siapa yang sempat kita temui, dan bagaimana kita sempat menjadi bagian dari cerita orang lain.Â