Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Penulis

Citizen Journalism

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

One in Million Moment: Momen Nekat yang Ubah Hidupku Jadi Guru

9 September 2025   11:24 Diperbarui: 11 September 2025   16:04 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku punya keinginan besar buat ngubah nasib, nentuin arah hidup, dan dapetin kerja tetap sebagai CPNS guru. Itu jadi motivasi utama. Dan jujur aja, langkah ini tuh kayak momen langka banget—“one in a million”—yang bakal ngaruh besar ke hidup aku ke depannya.

Tahun 1997 itu, jadi guru PNS di kota tuh susah banget. Pemerintah Orde Baru (Orba) enggak buka formasi baru di daerah perkotaan waktu itu.

Tapi kalau jadi guru honorer masih bisa, soalnya banyak sekolah yang nerima—walaupun ya, gajinya seadanya banget.

Setelah lulus dari D2 Keguruan, aku sempat jadi guru honorer di salah satu sekolah negeri. Gajinya? Rp90.000 sebulan—iya, segitu. Itu pun dibayar dari uang SPP yang dikumpulin lewat iuran orang tua murid.

Dulu tuh belum ada dana yang namanya dana BOS, baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Tunjangan insentif atau tambahan buat guru juga belum kepikiran. Yang ada cuma gaji resmi dari pemerintah, sama uang SPP yang dikumpulin tiap bulan dari iuran orang tua murid buat bantu operasional sekolah.

Nah, uang SPP itu biasanya dipakai buat bayar gaji guru honorer, nutup biaya listrik, air, sama perawatan sekolah. Kadang juga dipakai buat dukung kegiatan belajar, termasuk ekstrakurikuler.

● ● ●

Hidup yang Berat

Aku lahir dari keluarga yang biasa aja—enggak miskin, tapi juga nggak bisa di bilang kaya. Setelah kena PHK dari kerjaan di perusahaan alat berat, bapak banting setir jadi sopir taksi colt—jaman dulu tuh masih populer banget.

Tiap pulang sekolah, aku ikut ngernet, bantuin nyari penumpang sampai larut malam. Terus pas taksinya dijual, bapak mulai bertani. Nanem padi di sawah, ngurus kebun juga. Aku ikut turun tangan, nyangkul, nanem, bantuin sebisanya.

Pas kuliah pun enggak bisa leha-leha. Aku nyambi kerja diproyek perumahan, jadi pembantu tukang bangun rumah, bahkan sempat jadi buruh harian di perusahaan alat berat, ngecor lantai segala. Pokoknya, hidup tuh beneran dari bawah—tapi justru dari situ aku belajar banyak soal kerja keras, susahnya cari uang, dan enggak gampang menyerah.

Hidup itu enggak selalu mulus, kadang kita juga harus jatuh dulu biar tahu rasanya bangkit. Nggak semua hal datang dari keberuntungan—banyak yang harus diperjuangkan, dijalani pelan-pelan, sambil nahan lelah dan kadang nangis diam-diam. Tapi justru dari situ, kita belajar jadi kuat, jadi tahu arah, dan ngerti arti "hidup" yang sebenarnya: bukan cuma soal hasil, tapi soal proses yang bikin kita tumbuh. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun