Matahari sore menyelinap masuk melalui celah jendela kamar tua itu. Cahaya keemasan memantul di kaca yang mulai berdebu, menciptakan pola-pola abstrak di lantai kayu yang berderit setiap kali diinjak. Di balik jendela, pohon jambu yang dulu rindang kini tinggal ranting-ranting kering yang menggantung seperti kenangan yang enggan pergi.
Di kursi goyang dekat jendela, duduk seorang wanita bernama Sinta. Rambutnya telah memutih, namun matanya masih menyimpan binar yang sama seperti dulu - Saat ia pertama kali jatuh cinta pada Ardi, pria yang sering melintas di depan rumahnya hanya untuk melambaikan tangan.Â
Setiap sore, Sinta menanti di balik jendela, berharap melihat sosok Ardi kembali, meski ia tahu itu mustahil. Ardi telah pergi lima tahun lalu, meninggalkannya dengan segenggam kenangan yang bersemi setiap sudut rumah ini.
"Masih suka menunggu?" suara lembut terdengar dari belakang. Itu Rina, putri semata wayangnya.
Sinta tersenyum samar, matanya tetap tertuju ke luar jendela. "Dulu, jendela itu adalah saksi bisu cinta kami, Nak. Dari sini, Ibu melihat senyumnya, bahkan saat ia tak berkata apa-apa."
***
Rina duduk di samping Ibunya, menggenggam tangan yang mulai keriput. "Ibu enggak harus terus-terusan menyimpan rasa sakit ini sendirian."
Sinta menghela napas pelan. "Ini bukan rasa sakit, Rina. Ini cinta yang belum selesai.
Senja semakin merambat, langit berwarna orange kemerahan seperti lukisan. Sinta menutup matanya, membiarkan angin sore mengelus pipinya. Dalam hening, ia hampir bisa merasakan kehadiran Ardi - berdiri di bawah pohon jambu, tersenyum, dan melambai seperti dulu.
Di balik jendela itu, kenangan terus hidup, mengisi ruang kosong di hati Sinta. Dan meski waktu terus berjalan, cinta yang tersimpan di sana akan tetap abadi, seiring dengan detik-detik yang bergulir.