Catatan Harian Sebagai Pendidik Di Pedalaman Awyu
(Yosef mp Biweng)
Berbicara soal pendidikan, tidak semuda membalik telapak tangan. Apalagi yang berkaitan dengan pendidikan formal di pedalaman atau kampong yang terpencil. Dan setiap daerah memiliki cara pandang yang berbeda tentang pendidikan. Di daerah Asmat khususnya daerah pedalaman Awyu yang meliputi enam kampong besar, yakni Suagai, Yerfun, Yogamane, Wagi, Yefu dan Sagare. Keenam kampong tersebut didiami daerah oleh suku bangsa Awyu.
Padangan pendidikan untuk orang di pedalaman akan sangat berbeda dengan cara pandang orang di kota. Di pedalaman, ada orangtua yang menganggap pendidikan itu penting. Akan tetapi, ada juga orangtua yang merasa pendidikan itu hanya sebagai formal saja bagi masa depan anaknya. Yang dimaksud dengan kata formal menurut orangtua di pedalaman adalah anak itu mau sekolah atau tidak sekolah itu urusan anak. Kata kuncinya adalah terserah anak itu saja.
Terlepas dari pandangan orangtua. Kita tahu bersama bahwa tugas dan fungsi pendidik adalah mendidik dan mengajar. Setiap pendidik memiliki cara dan gayanya untuk mendidik adan mengajar peserta didiknya. Keberhasilan peserta didik amat dipengaruhi oleh seorang pendidik. Tidak semua pendidik peduli terhadap pendidikan. Ada yang menjadi pendidik hanya sekedar mendapat gaji, anak didik mau pintar atau tidak, tidak terlalu penting. Yang penting adalah tiap bulan terima gaji. Ada juga yang hanya memanfaatkan anak-anak murid demi pembekakan pada uang BOS. Ya, amat miris, tetapi itu yang terjadi. Namun, ada pendidik juga yang peduli terhadap pendidikan. Pendidik yang peduli terhadap pendidikan, akan terlihat berbeda dengan pendidik yang tidak peduli terhadap pendidikan. Semua kembali kepada motivasi pendidik?
Seorang guru yang bekerja di pedalaman Asmat, harus siap mental dan siap batin, karena kita akan dihadapkan dengan pelbagai sorotan yang kadang menyakitkan, menjengkelkan, mungkin juga bisa dijadikan sebagai motivasi yang harus kita diterima dengan lapang dada. Misalnya, ketika kita terlambat naik ke tempat tugas, entah karena urusan kedinasan, atau urusan keluarga yang tidak bisa kita tinggalkan, atau armada/hubungan yang susah, atau cuaca yang ekstrim. Kita pasti akan dikomentari dari masyarakat atau dari dinas atau mungkin juga dari pimpin, kenapa belum naik? Sekolah sudah buka tapi guru belum lengkap? Kapan naik ke tempat tugas? Nanti gaji atau TPP di tahan. Belum lagi dapat tanya lagi dari masyarakat, kenapa guru-guru tidak betah tinggal di tempat tugas? Pertanyaan mendasar adalah dimana rasa kemanusiaan terhadap kita yang bertugas dipedalaman? Cobalah berikan kebijakan sesuai konteks medan dimana kita bekerja atau bertugas? Pertanyaan lain yang sangat mendasar adalah Siapa yang suruh menjadi guru? Susah-senang urus sendiri.
Terlepas dari keluh-kesah diatas. Pengalaman sederhana yang ingin saya tuangkan dalam bentuk cerita dari pedalaman awyu tempat dimana saya bertugas. Liburan lebaran telah berakhir, sekolah mulai aktif lagi. 26 April 2023, hanya 3 siswa saja yang dating dari sekian puluhan siswa/i. Para guru hanya meminta ketiga siswa tersebut, membersihkan ruang kelas. Setalah itu, beberapa penyampaian untuk mengingatkan teman-teman siswa yang lain bahwa sekolah sudah aktif seperti biasa. Hari kedua, 27 April 2023, siswa yang hadir telah bertambah menjadi Sembilan orang siswa. Pada 28 April 2023, jumlah siswa yang hadir menjadi 17 siswa. Artinya bahwa ada kesadaran tentang pentingnya pendidikan.
Akan tetapi kalua kita melihat lebih jauh kedalam, kita akan melihat bagaimana Sekolah di pedalaman sangat berbeda jauh dengan sekolah di perkotaan. Sekolah di kota, kalau liburan sudah berakhir, siswa/i sangat antusias untuk tetap masuk sekolah. Siswa/i mungkin merasa pendidikan itu sangat peting untuk masa depan mereka. Sekolah akan berjalan normal seperti biasanya.
Amat prihatin, melihat pendidikan di pedalaman Papua Selatan, khususnya di pedalaman Asmat. Memang benar, bahwa tidak semua sekolah di pedalaman Asmat boleh dikatakan 'sangat prihatin', karena pasti memiliki tantangan yang berbeda dalam menghadapi pendidikan di pedalaman Asmat.
Saya seorang guru yang bertugas di pedalaman Asmat, yang sangat peduli dengan pendidikan tidak dapat terhindar dari tantangan dan hambatan. Saya merasa ada kekeliruan dan pembodohan yang sangat dana mat disayangkan bagi generasi dan masa depan bangsa, terlebih khusus perkembangan dan kemajuan daerah.
Umur saya sebagai seorang guru boleh dikatakan masih seumuran jagung, saya baru menjalani profesi sebagai seorang guru seumuran dengan anak usia dua tahun. Akan tetapi kepedulian saya terhadap pendidikan sangat tinggi. Saya berani mengatakan demikian bahwa saya mencoba 'door to door' rumah siswa/i dengan membawa rotan untuk menyadarkan siswa/i bahwa sekolah itu penting demi masa depan kalian. Kalian tidak boleh santai dan bermalas-malasan, karena masa depan kalian masih panjang.