Belum genap 20 menit dengan kecepatan rata-rata 40 kpj terlihat gerbang selamat datang menandakan telah memasuki desa Siaga Bencana. Seperti yang saya baca dari berbagai sumber, Gunung Kaba yang warga lokal menyebutnya bukit Kaba (1937 mdpl), di puncaknya terdapat kawah aktif yang menyemburkan asap mengandung sulfur. Terdapat beberapa  kawah/puncak lainnya, yaitu Bukit Itam (1893 mdpl) dan Bukit Malintang (1713 mdpl).
Tidak jauh dari gerbang, terdapat pos pendakian ke bukit. Saya berhenti sejenak di sini. Lebih dikenal dengan sebutan Posko Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) terdapat bangunan rumah yang seharusnya digunakan untuk mendapatkan informasi tentang pendakian ke Bukit Kaba, dan juga untuk melaporkan diri jika akan mendaki. Ini sangat penting sebenarnya, karena jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kan lebih mudah untuk melacaknya. Tapi ironisnya di sini tidak di temukan satu orang pun yang bisa dimintai keterangan. Pintu posko terkunci rapat.
Hanya berbekal peta lokasi yang ada di depan posko, saya mengamati jalur pendakian. Terdapat dua jalur, yaitu jalur pertama adalah untuk pejalan kaki yang jalannya bisa dimulai dari belakang posko berupa jalan setapak tentunya, sedangkan jalur kedua adalah terdapat jalan aspal berukuran tidak lebar, saya pikir jalur kedua ini adalah yang bisa dilalui sepeda motor. Tidak lama di sini saya langsung tancap menuju jalur kedua.
[caption id="attachment_368231" align="aligncenter" width="640" caption="Posko"]

Sekitar 3 kilometer dari posko akan dijumpai gerbang menandakan jika akan memasuki Bukit Kaba, inilah pintu masuk jalur kedua. Disambut oleh jalan aspal tidak begitu mulus selebar 1,5 meteran dengan kanan-kiri pepohonan lebat berbagai jenis, dari tumbuhan merambat sampai berbatang besar. Semua tampak alami. Memang lokasi ini merupakan salah satu hutan lindung. Sebagai informasi tambahan, jika jalur ini letaknya di sabuk bukit, layaknya ikat pinggang yang melingkari tubuh, sebelah kiri adalah jurang dengan jarak 2-5 meter dari jalan.
[caption id="attachment_368232" align="aligncenter" width="640" caption="Gerbang masuk"]

Semakin jauh jalannya semakin variatif dan cenderung menyempit, dan aspal semakin rusak malah ada yang bebatuan, belokan patah dan menanjak banyak ditemui di sepanjang jalan. Tidak ada orang lain atau berpapasan dengan pengunjung lain, benar-benar sepi. Hanya terdengar sesekali bunyi serangga, kadang terlihat kupu-kupu yang tiba-tiba terbang memotong jalan.
[caption id="attachment_368924" align="aligncenter" width="640" caption="jalan setelah gerbang"]

Setiap melakukan perjalanan saya selalu berusaha untuk berpikir positif, menghilangkan sugesti dan pikiran negatif. Tetapi ketika melewati jalur ini sesekali ada perasaaan tidak enak, kadang timbul rasa kekhawatiran yang tidak jelas datang dari mana. Benar adanya, ketika melakukan perjalanan seorang diri akan lebih sensitif terhadap apa yang di sekeliling kita. Kita akan lebih banyak melakukan dialog dengan diri sendiri, dan tentu saja itu menjadi refleksi diri. Saya akan lebih mengenal siapa saya. "I think one travels more usefully when they travel alone, because they reflect more." - TJ-
Jalan semakin menanjak, lebih banyak ditemui jalan aspal yang berubah menjadi bebatuan. Sampai akhirnya setelah lewat satu tikungan saya terkejut dengan jalan yang tepat di depan. Jalan ambles, membentuk seperti sungai dengan kedalaman setinggi motor, dengan lebar sedikit lebih panjang dari setang motor, dengan posisi menanjak kemiringan sekitar 20-25 derajat, sepanjang kira-kira 10 meter. Berhenti sejenak, turun dari motor dan melihat kondisi jalan yang ambles itu sampai akhir ketemu aspal lagi.
[caption id="attachment_368926" align="aligncenter" width="640" caption="jalan apaan ini?"]
