Mohon tunggu...
Suyut Utomo
Suyut Utomo Mohon Tunggu... Travel | Content creator | Video | Writing

Menceritakan apa yang dialamii lewat tuisan dan video

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Meraba Bukit Kaba

25 Oktober 2014   00:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:50 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari keempat (7/10/2014) di Provinsi Bengkulu ini adalah saat yang tepat untuk melakukan perjalanan dengan roda dua, pikir saya saat itu. Tepatnya di Desa Sambirejo, Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong saya singgah selama total 5 hari. Sebenarnya tujuan utama ke kota ini adalah menghadiri pernikahan saudara sepupu, yang kebetulan saya belum pernah sama sekali berkunjung/silahturahmi di rumah paman atau yang biasa saya sebut paklik ini. Jadi ini adalah perjalanan pertama di daerah yang pernah menjadi tempat pengasingan presiden pertama, Ir. Soekarno.

Untuk mencapai kota ini diperlukan waktu dua sampai tiga jam perjalanan darat dari Ibu Kota Bengkulu. Lebih lama daripada penerbangan yang saya lakukan dari Bandara Soekarno-Hatta ke Bandara Fatmawati, Bengkulu yang hanya memakan waktu satu jam. Tidak seperti di kota besar di Pulau Jawa, transportasi umum seperti bis antarkota tidak akan ditemui, apalagi taksi. Kami harus memesan beberapa hari sebelumnya untuk memastikan mobil 'travel' bisa menjemput kami di bandara.

[caption id="attachment_368227" align="aligncenter" width="480" caption="Diatas Bandara Fatmawati"][/caption]

Kembali ke rencana awal untuk berkendara di kota ini, tidak banyak persiapan yang dilakukan. Untuk motor, saya pinjam dari sepupu. Sebuah motor sport 150 cc yaitu Yamaha Vixion akan menemani perjalanan kali ini. Perlu diketahui, kecamatan ini adalah dataran tinggi dengan dihiasi pemandangan perbukitan, perkebunan sayuran dengan suhu udara berkisar 20-25 derajat celsius. Sering tampak petani mengangkut hasil kebunnya dengan motor dimodifikasi menyerupai jenis trail, tampak dari ban 'tahu' dan velg yang lebih besar dari standar pabrikan.

[caption id="attachment_368229" align="aligncenter" width="640" caption="Mengangkut sayuran "]

14139031131761262343
14139031131761262343
[/caption]

Tadinya saya akan dipinjami motor jenis trail tersebut, karena menurut orang setempat, medan yang akan saya jelajahi lebih cocok dengan jenis motor tersebut. Tapi karena motor yang sedianya akan saya pakai sedang tidak sehat maka saya gunakan motor seadanya saja. Saya termasuk orang yang tidak mau ambil pusing dengan motor apa yang akan saya gunakan, toh itu hanya sebagai sarana. Saya lebih berpikir bagaimana cara untuk bisa menikmati perjalanan serta mencapai lokasi.

Bukit Kaba adalah tujuan kali ini. Jika dilihat dari peta, jaraknya tidak lebih dari 50 kilometer dari tempat saya akan berangkat. Minimnya informasi untuk menuju ke sana dengan roda dua tidak mengurungkan niat, tidak ada partner perjalanan alias tidak ada mengantar ke lokasi juga tidak menjadi halangan berarti. Saya termasuk penikmat solo riding akut, atau bisa sangat menikmati melakukan perjalanan seorang diri.

Depan rumah tempat saya singgah adalah termasuk jalan utama akses Bengkulu-Curup-Lubuk Linggau. Mulai menggelindingkan roda motor pukul 9.30 pagi, pagi itu sangat cerah setelah hari sebelumnya kota ini diselimuti kabut, informasi lain menyebutkan jika kemarin itu bukan kabut, melainkan asap kebakaran hutan di provinsi tetangga.

Seperti biasa untuk mengetahui rute, selain mengandalkan peta yang ada di handphone saya juga melihat petunjuk arah papan berwarna hijau, atau jika tidak ada juga petunjuk arah dari tulisan papan maka bertanya warga setempat adalah solusinya. Kesasar juga merupakan kenikmatan tersendiri, karena akan menemukan hal-hal baru, dan bisa belajar untuk keluar dari zona aman.

Sepanjang jalan akan disuguhi pemandangan barisan bukit yang seakan mengelilingi kota ini, juga hamparan kebun sayur-sayuran yang menyejukkan mata dan pikiran. Jika hari-hari saya dipenuhi oleh hiruk-pikuk kota industri, beserta kesemrawutannya, apa yang saya lihat di perjalanan ini seakan menjadi tombol reset, yang mengembalikan gairah dalam diri.

[caption id="attachment_368230" align="aligncenter" width="640" caption="Desa Siaga Bencana"]

1413903416407922437
1413903416407922437
[/caption]

Belum genap 20 menit dengan kecepatan rata-rata 40 kpj terlihat gerbang selamat datang menandakan telah memasuki desa Siaga Bencana. Seperti yang saya baca dari berbagai sumber, Gunung Kaba yang warga lokal menyebutnya bukit Kaba (1937 mdpl), di puncaknya terdapat kawah aktif yang menyemburkan asap mengandung sulfur. Terdapat beberapa  kawah/puncak lainnya, yaitu Bukit Itam (1893 mdpl) dan Bukit Malintang (1713 mdpl).

Tidak jauh dari gerbang, terdapat pos pendakian ke bukit. Saya berhenti sejenak di sini. Lebih dikenal dengan sebutan Posko Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) terdapat bangunan rumah yang seharusnya digunakan untuk mendapatkan informasi tentang pendakian ke Bukit Kaba, dan juga untuk melaporkan diri jika akan mendaki. Ini sangat penting sebenarnya, karena jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kan lebih mudah untuk melacaknya. Tapi ironisnya di sini tidak di temukan satu orang pun yang bisa dimintai keterangan. Pintu posko terkunci rapat.

Hanya berbekal peta lokasi yang ada di depan posko, saya mengamati jalur pendakian. Terdapat dua jalur, yaitu jalur pertama adalah untuk pejalan kaki yang jalannya bisa dimulai dari belakang posko berupa jalan setapak tentunya, sedangkan jalur kedua adalah terdapat jalan aspal berukuran tidak lebar, saya pikir jalur kedua ini adalah yang bisa dilalui sepeda motor. Tidak lama di sini saya langsung tancap menuju jalur kedua.

[caption id="attachment_368231" align="aligncenter" width="640" caption="Posko"]

1413903639193714322
1413903639193714322
[/caption]

Sekitar 3 kilometer dari posko akan dijumpai gerbang menandakan jika akan memasuki Bukit Kaba, inilah pintu masuk jalur kedua. Disambut oleh jalan aspal tidak begitu mulus selebar 1,5 meteran dengan kanan-kiri pepohonan lebat berbagai jenis, dari tumbuhan merambat sampai berbatang besar. Semua tampak alami. Memang lokasi ini merupakan salah satu hutan lindung. Sebagai informasi tambahan, jika jalur ini letaknya di sabuk bukit, layaknya ikat pinggang yang melingkari tubuh, sebelah kiri adalah jurang dengan jarak 2-5 meter dari jalan.

[caption id="attachment_368232" align="aligncenter" width="640" caption="Gerbang masuk"]

1413903786431200826
1413903786431200826
[/caption]

Semakin jauh jalannya semakin variatif dan cenderung menyempit, dan aspal semakin rusak malah ada yang bebatuan, belokan patah dan menanjak banyak ditemui di sepanjang jalan. Tidak ada orang lain atau berpapasan dengan pengunjung lain, benar-benar sepi. Hanya terdengar sesekali bunyi serangga, kadang terlihat kupu-kupu yang tiba-tiba terbang memotong jalan.

[caption id="attachment_368924" align="aligncenter" width="640" caption="jalan setelah gerbang"]

14141463951469721616
14141463951469721616
[/caption]

Setiap melakukan perjalanan saya selalu berusaha untuk berpikir positif, menghilangkan sugesti dan pikiran negatif. Tetapi ketika melewati jalur ini sesekali ada perasaaan tidak enak, kadang timbul rasa kekhawatiran yang tidak jelas datang dari mana. Benar adanya, ketika melakukan perjalanan seorang diri akan lebih sensitif terhadap apa yang di sekeliling kita. Kita akan lebih banyak melakukan dialog dengan diri sendiri, dan tentu saja itu menjadi refleksi diri. Saya akan lebih mengenal siapa saya. "I think one travels more usefully when they travel alone, because they reflect more." - TJ-

Jalan semakin menanjak, lebih banyak ditemui jalan aspal yang berubah menjadi bebatuan. Sampai akhirnya setelah lewat satu tikungan saya terkejut dengan jalan yang tepat di depan. Jalan ambles, membentuk seperti sungai dengan kedalaman setinggi motor, dengan lebar sedikit lebih panjang dari setang motor, dengan posisi menanjak kemiringan sekitar 20-25 derajat, sepanjang kira-kira 10 meter. Berhenti sejenak, turun dari motor dan melihat kondisi jalan yang ambles itu sampai akhir ketemu aspal lagi.

[caption id="attachment_368926" align="aligncenter" width="640" caption="jalan apaan ini?"]

14141465061593719025
14141465061593719025
[/caption]

Lagi-lagi saat berdialog dengan diri sendiri, kira-kira sanggup tidak melewati ini. Setelah berpikir gimana caranya untuk melewatinya. Motor saya starter dan coba melaju untuk menanjak, sekitar jalan 2 meter motor mati mesinnya setelah kehilangan torsi atau tenaga. Tidak ada ruang untuk mengambil ancang-ancang membuat keadaan ini wajib mengandalkan putaran bawah dari mesin motor. Saat-saat ini saya kangen Bishop untuk melakukannya. Tapi kerinduan itu segera dihilangkan dan harus menghadapi kenyataaan yang ada. Saya coba beberapa kali dengan cara yang sama. Tapi tidak berhasil. Sementara saya juga harus menjaga keseimbangan karena jika miring ke kanan/kiri motor akan menyerempet dinding tanah

Kembali berpikir sejenak, entah dari mana saya mendapat ide untuk melakukan cara ini, yaitu kaki saya berpijak di tanah posisi paling tinggi pada kanan-kirinya. Sedangkan tangan tetap memegang setang. Posisi tubuh saya seperti kuda-kudaan ketika keponakan saya akan menunggangi punggung. Logikanya dengan cara ini akan mengurangi beban motor, dan tujuannya adalah mendongkrak tenaga awal si mesin. Entah benar apa tidak logika saya saat itu, tapi ketika dicoba motor berhasil menanjak walau dengan sedikit kepayahan.

[caption id="attachment_368927" align="aligncenter" width="640" caption="entah ide dari mana gaya seperti ini "]

14141466162069210893
14141466162069210893
[/caption]

Layaknya bermain game konsole bergenre petualangan, yang semakin tinggi level game itu semakin susah melewatinya. Di tanjakan ini adalah bagian paling susah bagi saya yang masih hijau pengalaman kegiatan, ya sebut saja motorcycle adventure ini. Ketika berhasil melewati, sontak saja kegirangan dalam hati tidak bisa dipungkiri lagi. Tetapi sesudahnya terasa sangat lelah dengan nafas putus-putus, teringat dengan hukum alam, semakin tinggi posisi dari permukaan laut maka kadar oksigen semakin menipis, mungkin itu juga yang membuat nafas saya seakan mau habis.

Menanjak sekitar 200 meter, jalan semakin melebar, di akhir tanjakan saya terperangah melihat di 100 meter di depan mata, mirip tembok memanjang berwarna hijau ditumbuhi rerumputan, terlihat tangga terbuat dari beton menjulang naik. Di sini juga terdapat tanah lapang, mirip tempat parkir kendaraan, berdasarkan informasi yang saya dapat, dulu memang jalan yang telah saya lalui bisa dilewati mobil sekalipun, tapi karena longsor dan perubahan kondisi alam lainnya maka jalannya berubah seperti yang telah diceritakan sebelumnya. Motor diberhentikan, memandang sekeliling, seketika kegembiraan diluapkan dalam hati. Saya tahu itu adalah apa yang menjadi tujuan setelah melewati jalur kedua.

[caption id="attachment_368928" align="aligncenter" width="640" caption="kegembiraan"]

14141467121640790348
14141467121640790348
[/caption]

Informasi dari saudara, jika sudah terlihat tangga seribu, berarti kawah bukit berada di baliknya. Ya mereka menyebutnya tangga seribu karena jumlah anak tangganya konon mencapai hampir seribu buah, ada mitos juga jika menghitung jumlah anak tangga beberapa kali, hasilnya tidak pernah akan sama dari setiap orang, atau setiap kesempatan menghitung. Seketika saya teringat dengan tangga menuju makam Kerajaan Imogiri - Jogja, mitosnya serupa.

Sementara jika berbalik badan, maka akan terlihat sejauh mata memandang adalah rimbunnya hutan alami, sebagian telah terlewati ketika menuju ke sini. Permukiman warga Rejang Lebong juga terlihat sangat mungil atapnya. Saya pun mengabadikan beberapa gambar dari kamera poket yang dibawa. Sebelum menaiki tangga seribu tentunya.

Tidak lama terdengar raungan knalpot sepeda motor dari arah bawah, kemudian muncul di hadapan dua motor jenis bebek dengan pengendara membawa senapan angin. Di duga mereka adalah warga sekitar Bukit Kaba, jika melihat apa yang dipakai, dan tanpa memakai helm. Saya pun menyapanya.

Layaknya orang yang baru ketemu, kami pun saling mengenalkan diri. Heri dan Riki adalah namanya. Warga desa yang terletak tidak jauh dari posko pendakian. Sebagai orang lokal tentu mengenal lebih jauh tentang Bukit Kaba. Mereka ke sini tujuan utamanya adalah berburu satwa di sekitar bukit terutama jenis burung. Heri bercerita, jika Bukit Kaba selain sebagai tempat wisata pelepas penat, juga untuk berbagai keperluan seperti melunasi nadzar, yaitu melaksanakan apa yang telah dijanjikan jika apa yang dimohon terkabulkan. Kebanyakan yang ke sini dengan melepas burung merpati atau kambing untuk melaksanakan nadzar mereka. Memang saya temui ada beberapa ekor burung merpati di sini, mungkin jika saya temui kambing akan saya bawa turun ke bawah untuk dijual kembali.

Atau cerita berbau mistis, ada salah satu dusun bernama Curup yang jika warganya mendaki ke bukit ini akan mendapat celaka di perjalanan, entah itu hilang atau malah ditemukan sudah tidak bernyawa. Heri juga berpesan untuk menjaga ucapan dan perilaku selama di sini, karena sudah banyak kejadian aneh di luar logika jika tidak bisa menjaga hal tersebut.

Heri juga mengatakan jika saya beruntung bisa menemui langit cerah tanpa ditutupi kabut. Karena mereka sendiri sering ke sini, tetapi jarang sekali menemukan cuaca seperti ini.

Heri dan Riki pun naik ke atas duluan dengan meniti tangga seribu. Sementara saya berhenti sejenak untuk sekedar menenggak minum. Oya jika ke sini hendaknya membawa air minum dari bawah, karena di sini tidak ditemui pedagang makan/minuman.

[caption id="attachment_368929" align="aligncenter" width="636" caption="tempat parkir, tangga seribu, Heri & Riki yang naik duluan"]

14141468721626451095
14141468721626451095
[/caption]

Setelah mereka hampir sampai atas, saya menyusul naik. Kemiringan tangga hampir 45 derajat, membuat energi terkuras, beberapa kali berhenti buat menyelesaikan nafas yang terputus-putus. Penuh hati-hati menapaki anak tangga, karena tidak ada pegangan di sisinya, keseimbangan tubuh harus tetap terjaga. Konon juga sering terjadi kecelakaan ketika pengunjung menaikinya, tentu celaka ketika jatuh dan menggelinding ke bawah.

Akhirnya sampai atas, di ujung tangga dibatasi pagar berbeton yang hampir mengelilingi kawah, beberapa pagar sudah rusak dan rubuh. Sementara sesekali melongok ke bawah kawah untuk memperhatikan kepulan asap sulfur yang berhembus dari permukaan tanah. Terdapat jalan setapak juga jika ingin turun ke bawah kawah, tapi saya tidak melakukannya karena jaraknya lumayan jauh. Saya lebih memilih berada di pinggir kawah memperhatikan sekeliling. Terus terang baru pertama kali ini menjumpai pemandangan seperti ini, berada di ketinggian sekitar 1938 meter dari permukaan laut, dengan berdampingan mulut besar kawah yang masih aktif.

Walau saya saat itu berada di ketinggian tapi kenapa dalam hati bergumam bahwa betapa 'rendahnya' atau kecilnya manusia dibandingkan dengan ciptaan-Nya terhampar di hadapan. Gusti Allah memang Mahakeren!

Saya semakin mendekat ke bibir kawah, harus hati-hati, lengah sedikit saja bisa terjun bebas ke dasar. Saya perkirakan dalamnya sekitar 100 meter. Bau belerang menyengat tidak bisa dihindari, entah efek bau tersebut atau bukan kepala sedikit pusing. Berjalan mengelilingi pinggir kawah walau tidak satu lingkaran penuh, hanya berjalan yang bisa dijangkau, karena beberapa bagian adalah tebing terjal. Mengabadikan beberapa gambar dengan kamera seakan wajib hukumnya, sesekali narsis dengan tripot dan selftimer menjadi solusi ketika berpergian sendirian.

[caption id="attachment_368932" align="aligncenter" width="640" caption="akhirnya"]

1414146964769124257
1414146964769124257
[/caption]

[caption id="attachment_368933" align="aligncenter" width="640" caption="kota Curup kelihatan dari sini:"]

14141470441458543137
14141470441458543137
[/caption]

[caption id="attachment_368934" align="aligncenter" width="640" caption="pagar kawah:"]

1414147134518670123
1414147134518670123
[/caption]

[caption id="attachment_368935" align="aligncenter" width="640" caption="jalan turun menuju kawah:"]

1414147216840991674
1414147216840991674
[/caption]

[caption id="attachment_368937" align="aligncenter" width="640" caption="sisi lain"]

14141472901331057328
14141472901331057328
[/caption]

Tidak ada orang lain selain saya sendiri setelah Heri dan Riki pamit turun duluan. Begitu hening, hanya hembusan angin yang terdengar. Walaupun saat itu sangat terik, tapi udara gunung tidak membuat tubuh ini berkeringat.

Keheningan pecah saat terdengar suara satwa jenis kera, saya menebak itu suara simpanse atau sejenisnya, karena pernah mendengar ketika berkunjung ke kebun binatang, arah suara dari hutan di bawah, sangat keras suaranya. Sedikit membuyarkan kosentrasi. Tidak lama kemudian saya turun menuju parkiran.

[caption id="attachment_368940" align="aligncenter" width="640" caption="mereka mengaku dari kota Pahiang. Dan latar belakang tembok penuh vandalisme seolah menjadi ciri tidak baik bangunan di negeri ini. Semoga generasi ini tidak melakukan hal serupa"]

1414147464922199391
1414147464922199391
[/caption]

Tadinya mau tancap gas kembali pulang, tapi dekat tempat parkir saya jumpai beberapa anak muda di sana. Saya hampiri dan mulai mengobrol. Mereka sekitar delapan orang telah menginap di sini dengan cara berkemah, dan mendaki ketika menuju ke sini. Tentu dengan jalur pendakian. Tidak lama mengobrol di sini, saya pun pamit turun. Tidak ada halangan berarti ketika jalan ke bawah sampai gapura pintu masuk jalur kedua Bukit Kaba. Alhamdulillah.

1414147416154847512
1414147416154847512

Di sini saya mendapat "message in a bottle" bahwa gusti Allah masih sayang pada saya, dengan masih melindungi selama dan setiap perjalanan. Semoga. Amin.

***************

(semua foto adalah dokumen pribadi)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun