Mohon tunggu...
Birgita Olimphia Nelsye
Birgita Olimphia Nelsye Mohon Tunggu... Desainer - Sambangi isi pikiranku.

Hakikat hidup adalah belajar.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Upaya Menyelamatkan Lingkungan melalui Bentuk Partisipasi

25 Mei 2017   19:44 Diperbarui: 25 Mei 2017   20:42 1138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                Sejak meningkatnya kesadaran lingkungan pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, Lingkungan dan Partisipasi menjadi dua aspek yang berkaitan erat dengan “ketidakpuasan hijau”. Ketidakpuasan hijau mengacu pada dua hal. Pertama, ketidakpuasan terhadap beban yang harus ditanggung lingkungan dari berbagai aktivitas industri maupun manufaktur. Kedua, karena tidak adanya partisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pemerintah; seperti pembangunan sirkuit, pembangunan jalan baru, dsb.

Pesan Politik di balik 'Ketidakpuasan Hijau'

            Ketidakpuasan hijau di tahun 60-70 an tersebut adalah bagian dari kritik publik yang lebih luas di mana kritik berfokus pada sistem kapitalis dan peran negara dalam melanggengkan ketidaksetaraan. Di gereja-gereja, di serikat buruh, universitas, dalam politik muncul panggilan untuk mempolitisasi lembaga kapitalis, mendemokratisasi negara, dan untuk melakukan emansipasi terhadap kelompok tertindas. Aktivitas ini ditafsirkan sebagai argumen radikal untuk partisipasi yang hampir di semua bagian masyarakat. Radikalisme di sini adalah upaya untuk melakukan perubahan dari akarnya dalam rangka menyelamatkan lingkungan melalui bentuk partisipasi.

            Radikalisasi ini membuat legitimasi berbagai lembaga tradisional, seperti gereja-gereja, universitas, gerakan serikat buruh, politik, menjadi berkurang. Berbagai demonstrasi yang dilakukan pada intinya mengharapkan lembaga-lembaga lama untuk dihilangkan dan diganti dengan organisasi yang lebih modern. Mereka menuntut partisipasi politik dalam tingkat yang lebih tinggi bagi warga dan kelompok-kelompok sosial (mahasiswa, perempuan) dalam proses pembuatan keputusan politik dan realisasi kebijakan pemerintah.

            Mereke menuntut agar hak politik tidak hanya untuk partai, tetapi juga berlaku bagi partisipasi organisasi non-pemerintah, seperti serikat pekerja, organisasi pemberi kerja, organisasi di bidang kesejahteraan kerja, budaya, dll. Hak politik tersebut antara lain hak untuk memilih, hak petisi, hak untuk referendum dan hak sebagai partai yang berkepentingan, hak sebagai warga negara, untuk menolak rencana pemerintah tertentu. Partisipasi menjadi penting karena tradisi dan struktur elit sebagai konsultan hanya akan mengabaikan aspirasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.

Partisipasi ditegakkan dan secara bertahap dilembagakan

            Sekitar tahun 1970 banyak negara-negara Barat menghadapi serangkaian konflik lingkungan. Protes yang dilakukan oleh warga negara, penduduk setempat, gerakan lingkungan, dan kelompok kontra adalah meliputi keluhan seperti terlalu sedikitnya perhatian terhadap dampak lingkungan dan proses pengambilan keputusan yang kurang demokratis membuat terjadinya perkembangan dan pelembagaan kebijakan lingkungan.

            Banyak aktivitas bisnis yang menghasilkan gangguan menuai protes masyarakat. Hal ini kemudian mempertanyakan izin beroperasinya bisnis tersebut. Bisnis menghasilkan gangguan di luar, seperti menciptakan bahaya, kerusakan, dan gangguan. Sedangkan gangguan di dalam, seperti keamanan kerja dan kondisi kerja. Protes lingkungan yang muncul akibat gangguan ini mengarah pada: perluasan ruang lingkup undang-undang, perluasan ruang lingkup istilah “gangguan”, dan keterbukaan dalam prosedur dan keputusan pemberian izin ditingkatkan sampai batas yang berbeda-beda di setiap negara. Protes lingkungan ini membangkitkan kesadaran masyarakat akan dampak nuklir. Mereka mulai tidak percaya dan menolak energi nuklir.

            Protes lingkungan ini mengancam legitimasi, terutama di negara dengan tradisi legitimasi politik dan konsensus skala besar. Protes mendorong pelembagaan sebagai usaha untuk perubahan dan efektivitas kebijakan lingkungan. Pelembagaan berkaitan dengan partisipasi di mana ini kemudian dapat mengabulkan permintaan akan keterlibatan dalam partisipasi yang lebih dalam kebijakan lingkungan (misalnya, masyarakat lokal dapat terlibat dalam pemberian izin lingkungan) dan penataan ruang. Dalam kebijakan lingkungan juga ada kemudahan dalam prosedur pengajuan keberatan dan banding. Selain itu, informasi tentang Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) pun dijelaskan dalam audiensi publik, diskusi panel, dll.

Energi nuklir: uji kasus dan hambatan untuk lebih partisipatif

            Pada tahun-tahun antara 1973 dan 1986, topik yang paling kontroversial di hampir setiap negara barat mengenai lingkungan adalah energi nuklir. Krisis minyak yang terjadi antara tahun 1973-1974 diikuti dengan kenaikan harga minyak yang nampak terlihat di 1979-1981. Energi nuklir diajukan sebagai alternatif politik dan teknis yang aman untuk ketergantungan tingkat tinggi pada minyak dari Timur Tengah. Namun energi nuklir mendapat perlawanan yang sangat besar dalam masyarakat. Mereka menentang nuklir tidak hanya terkait dengan bom atom dan perlombaan senjata, tetapi juga melihatnya sebagai simbol dari teknologi skala besar yang didominasi oleh teknokrat (politik, militer, teknologi), sementara orang-orang jalanan tidak menguasai sama sekali. Singkatnya, energi nuklir itu berbahaya, tidak aman, tidak demokratis dan sebagai konsekuensinya tidak dapat diterima secara politik dan sosial.

            Argumen penolakan terhadap nuklir adalah karena ketidakseimbangan antara manfaat ekonomi yang diperoleh dengan risiko yang ditanggung lingkungan. Kemudian, ketakutan Belanda jika kehilangan perkembangan dari teknologi ini. Terakhir karena nuklir memicu terjadinya ‘hujan asam’. Meskipun mendapat penolakan, pemerintah masih bersikeras untuk mengembangkan energi nuklir beberapa tahun kemudian (1985). Keputusan pemerintah ini menyebabkan sejumlah besar kemarahan dan kekecewaan di kalangan masyarakat umum dan gerakan lingkungan pada khususnya.

Efek dari bentuk-bentuk partisipasi baru

           Sampai tahun 1970-an, penelitian yang pernah dilakukan baik direncanakan maupun disengaja, diselenggarakan untuk mengetahui dampak dari bentuk partisipasi baru yang lebih luas dalam kebijakan lingkungan, kebijakan spasial, dan kebijakan wilayah yang terkait lainnya.

            Pertama, studi ini telah mengkonfirmasi bahwa instrumen baru gagal menyebabkan partisipasi politik yang lebih. Warga masih ada yang tidak hadir dalam partisipasi tersebut. Kedua, instrumen partisipasi yang baru gagal menyeimbangkan mekanisme partisipasi kumulatif: individu dan kelompok yang sudah memiliki keterlibatan politik berdasarkan minat mereka, status, pengetahuan, keakraban dll, diberi kesempatan ekstra untuk berpartisipasi, sementara warga yang kurang tertarik tidak mendapat peluang baru, apalagi dimobilisasi. Diskusi panel dihadiri oleh para ahli gerakan lingkungan, tetapi 'orang jalanan' masih absen. Ketiga, pengaruh yang terbatas dari peluang berhasilnya partisipasi baru akan sulit untuk berkontribusi dalam proses pembuatan keputusan.

Partisipasi dan sosialisasi kebijakan lingkungan dari tahun 1985 sampai sekarang

            Protes yang terjadi pada tahun 1970an pada intinya adalah perdebatan mengenai kesenjangan antara pemerintah dan masyarakat sipil, atau antara pemerintah dan warga negara. Konteks politik dalam protes tersebut memperdebatkan masalah lingkungan, dalam hal proses pengambilan keputusan. Ini terutama berkaitan dengan rencana lokasi atau pengelolaan bisnis tertentu. Protes jarang ditujukan pada bisnis, melainkan pada pemerintah yang diminta untuk dapat mengelola lingkungan atas nama semua orang. Bahkan instrumen baru dari partisipasi terkait dengan transparansi dan aksesibilitas terhadap keputusan pemerintah.

            Isu penting dari partisipasi adalah bahwa, secara bertahap, lebih banyak aktor yang terlibat dalam kebijakan lingkungan selain hanya pemerintah, pasar, dan masyarakat. Strategi peraturan secara bertahap dilengkapi agar lebih ekonomis dan komunikatif di mana bisnis dan warganya, produsen dan konsumen dibujuk (bukan dipaksa) untuk bertindak dengan cara yang lebih ramah lingkungan. Perubahan peran dan tanggung jawab pemerintah, pasar dan warga negara juga merupakan hasil dari proses modernisasi politik. Proses ini lebih luas daripada sekadar pembuatan kebijakan lingkungan karena merupakan redefinisi terhadap hubungan antara pemerintah, pasar dan masyarakat sipil. Sementara deregulasi (mengurangi aturan/syarat partisipasi) dan privatisasi sebenarnya hanya wujud dari societalisation dan pemasaran kebijakan.

            Pertama, Sosialisasi kebijakan lingkungan membawa perubahan strategi manajemen pemerintah yang top-down untuk setidaknya dilengkapi dengan bentuk pemerintahan yang lebih komunikatif (Weale, dalam Leroy, dkk, 2003: 175). Ini berarti bahwa warga negara dan kelompok non-pemerintah tidak bisa hanya bertindak reaktif, misalnya hanya dengan mengajukan keberatan atau banding. Sebaliknya, komunikasi yang dilakukan harus menjangkau kelompok-kelompok ini secara luas dari tahap persiapan, perencanaan dan pelaksanaan kebijakan. Misalnya dalam kebijakan pertanian dan lingkungan, kebijakan konservasi alam, dll.

            Kedua, sosialisasi menyiratkan keterlibatan aktor lain (bukan kelompok kepentingan yang mapan, tetapi warga non-organisasi, penduduk lokal, asosiasi dan kelompok lokal), dan penggunaan mekanisme pengambilan keputusan lain (seperti partisipasi dan dukungan publik di mana ‘aktor dari pemerintah’ bersama ‘aktor dari masyarakat’ menjadi konsultan dan produsen konsensus). Namun, warga negara dan gerakan lingkungan yang kurang profesional sebenarnya memiliki posisi yang lebih lemah daripada profesional pemerintah yang telah dilengkapi dengan kelompok kepentingan ekonomi yang mapan. Sehingga terdapat tingkat akses yang tidak proporsional di antara para aktor. Terlebih, konsensus dalam proses partisipasi tersebut pada akhirnya perlu mendapat konfirmasi atau penolakan dari badan politik reguler sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Oleh karena itu, partisipasi menimbulkan frustrasi jika politik mengarahkan pada keputusan yang berbeda dari yang diperjuangkan oleh para peserta. Selain itu, sekitar tahun 1990, setidaknya di Belanda ada bagian dari politik yang berpendapat bahwa partisipasi telah berjalan terlalu jauh. Pengajuan keberatan dan banding hampir tak berujung sehingga mengakibatkan penundaan proses pengambilan keputusan untuk berkas-berkas tertentu.

            Marketisasi memainkan perannya dalam menghormati peran pemerintah sebagai partai pasar yang dinamis dalam melayani antusiasme swasta untuk berinvestasi, terutama dalam dokumen-dokumen logistik dan infrastruktur (lokasi pengolahan limbah, rencana infrastruktur lalu lintas jalan, kereta api dan udara). Pada intinya, inovasi politik di tahun 1990an ditandai dengan pengambilan keputusan yang partisipatif, dukungan publik, dan produksi konsensus bersama.

Partisipasi dan marketisasi kebijakan lingkungan hidup

            Proses marketisasi kebijakan lingkungan berjalan sejajar dengan proses sosialisasi sejak sekitar tahun 1985. Marketisasi ini merupakan singkatan dari berbagai indikator yang terhubung.

            Pertama, terjadi pergeseran gaya pemerintahan, strategi manajemen dan serangkaian instrumen kebijakan yang digunakan. Alih-alih menggunakan peraturan sendiri, pemerintah juga memperkenalkan instrumen yang sesuai dengan pasar untuk menarik perhatian warga dan bisnis untuk mengubah cara mereka dalam hal lingkungan. Sehingga warga negara dan bisnis ditangani sebagai konsumen dan produsen dalam proses penetapan harga, misalnya.         Kedua, marketisasi mengacu pada pemerintah yang meninggalkan tanggung jawab dan kompetensi tertentu kepada pihak pasar (atau: mengembalikannya kepada mereka). Hal ini dapat dilakukan secara cukup mencolok melalui pembebasan dan privatisasi. Proses privatisasi dan liberalisasi juga menyiratkan adanya pergeseran peran dan tanggung jawab. Peran dan tanggung jawab pemerintah sebagian diperluas dan sebagian diambil oleh aktor lain. Misalnya, sektor ekonomi yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan sekarang dipanggil untuk menggunakan kemampuan mereka sendiri dan dengan demikian berkontribusi untuk memecahkan masalah yang mereka timbulkan. Ada sedikit kekurangan dari instrumen ini yaitu bentuk kontrol kualitas atas layanan yang diberikan oleh perusahaan yang diprivatisasi (misalnya taksi pink untuk keluarga Sultan). Sehingga, seringkali memicu konflik.

Lingkungan, partisipasi dan kekuatan: antara ‘Model polder hijau' dan demokratisasi lebih lanjut

            Ada dua jalur yang dapat ditempuh untuk merancang instrumen partisipatif baru yang diperlukan: model polder hijau atau demokratisasi lebih lanjut. Keberhasilan model polder sosio-ekonomi, yang didasarkan pada konsensus dasar antara pemerintah, perdagangan dan industri, serta gerakan serikat pekerja, mengilhami beberapa orang untuk mengemukakan jenis model kebijakan lingkungan yang serupa (Leroy, dkk, 2003: 183).

            Instrumen ini menurut beberapa pendapat secara substansial dapat meningkatkan kemampuan untuk memecahkan masalah dan dapat menyelesaikan konflik mengenai infrastruktur, pertanian, alam, dan lain-lain. Pendapat lain mengatakan bahwa 'model polder hijau' tidak lebih dari sekedar bencana: mereka mengasosiasikan 'model polder' dengan konsultasi antara elit kelompok kepentingan dan saling berkompromi. Padahal konsensus di antara elit menyebabkan non-partisipasi. Sebagai gantinya, sekarang proses pengambilan keputusan dari partai-partai pasar harus dibuat lebih transparan dan lebih mudah diakses. Label ekologi, laporan lingkungan, energi hijau dan instrumen lainnya merupakan langkah awal yang sementara dalam proses politisasi dan demokratisasi yang luas bagi pasar dan masyarakat.

Referensi:

Leroy, P, dkk. (2003). Environment and participation in a context of political modernisation. Environmental values, 12(2), 155-174.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun