Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Blogger

Nomine Best in Opinion Kompasiana Awards 2024 | Konsisten mengangkat isu-isu yang berhubungan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), terutama yang terpantau di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Halte Transjakarta Jadi Pangkalan Ojek Online, Siapa yang Bertanggung Jawab?

10 Oktober 2025   14:30 Diperbarui: 10 Oktober 2025   19:04 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Halte Transjakarta di depan Gedung Kenanga, Jalan Senen Raya, menyajikan pemandangan yang ironis.

Fasilitas yang seharusnya menjadi tempat tunggu penumpang bus Transjakarta, justru berubah menjadi pangkalan ojek online (selanjutnya disingkat ojol).

Sepeda motor diparkir di dalam atau di belakang halte. Para pengemudi ojol duduk santai di kursi halte sambil berbincang dengan rekan, menunggu notifikasi orderan di ponsel mereka.

Bukan hanya pengemudi ojol saja, pedagang asongan juga ikut memanfaatkan halte sebagai tempat berteduh, duduk-duduk di kursi halte, seraya menunggu pembeli.

Akibatnya, hampir seluruh tempat duduk di halte diduduki oleh pengemudi ojol dan pedagang asongan.

Penumpang Transjakarta yang datang terpaksa berdiri menunggu bus, meskipun sebenarnya tempat duduk tersedia, namun telah diokupasi (pendudukan, penguasaan) oleh pihak lain.

Kondisi ini tidak hanya mengganggu kenyamanan penumpang, tetapi juga menciptakan pemandangan kota yang tak beraturan.

Halte yang seharusnya menjadi simbol transportasi publik yang tertib dan modern, justru terlihat seperti terminal dadakan yang kumuh dan tidak terkelola.

Pemandangan serupa, hampir sering terlihat di berbagai wilayah di Jakarta. Satpol PP memang sering melakukan penertiban terhadap parkir liar dan penyalahgunaan halte, tetapi efeknya hanya sesaat.

Setelah petugas pergi, pengemudi ojol dan pedagang asongan kembali menduduki halte. Pola ini berulang tanpa henti, menunjukkan bahwa pendekatan penertiban semata tidak efektif untuk menyelesaikan masalah.

Ketiadaan fasilitas alternatif dan lemahnya penegakan aturan

Penyalahgunaan halte Transjakarta sebagai pangkalan ojol bukan masalah sepele. Ini adalah cerminan dari dua kegagalan mendasar dalam tata kelola transportasi publik Jakarta.

Pertama, ketiadaan fasilitas alternatif yang memadai bagi pengemudi ojol untuk menunggu dan menjemput penumpang. Kedua, lemahnya penegakan aturan yang konsisten terhadap pelanggaran penggunaan fasilitas publik.

Urgensi masalah ini terletak pada dampaknya terhadap kenyamanan penumpang Transjakarta dan citra transportasi publik secara keseluruhan.

Ketika penumpang yang telah memilih menggunakan transportasi publik justru mendapat pengalaman yang tidak nyaman, harus berdiri di halte karena tempat duduk diokupasi, harus berdesakan dengan motor-motor ojol, atau menghirup asap rokok dan knalpot di dalam halte, ini akan menurunkan minat masyarakat untuk beralih ke transportasi publik.

Padahal, salah satu tujuan utama pembangunan sistem Transjakarta adalah mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan mengatasi kemacetan.

Kalau pengalaman menggunakan Transjakarta buruk sejak dari halte, maka tujuan tersebut tidak akan tercapai, bukan.

Masalah struktural yang lebih dalam adalah tidak adanya perencanaan terpadu dalam mengintegrasikan berbagai moda transportasi.

Ojol adalah bagian dari ekosistem transportasi Jakarta yang tidak bisa dihilangkan. Ya, mereka memiliki peran penting dalam mobilitas last mile, menghubungkan penumpang dari rumah ke halte atau stasiun, dan sebaliknya.

Namun, keberadaan mereka tidak pernah diantisipasi dengan penyediaan infrastruktur yang memadai. Akibatnya, pengemudi ojol memanfaatkan fasilitas yang ada, dalam hal ini halte Transjakarta, untuk tempat mangkal, karena memang tidak ada alternatif lain yang disediakan.

Penegakan aturan tanpa solusi infrastruktur hanya menggeser masalah

Hemat saya, pendekatan penertiban yang selama ini dilakukan oleh Satpol PP hanya bersifat tambal sulam dan tidak menyelesaikan akar permasalahan.

Mengusir pengemudi ojol dari halte tanpa menyediakan fasilitas alternatif hanya akan menggeser masalah dari satu lokasi ke lokasi lain.

Yang dibutuhkan sekarang adalah solusi infrastruktur yang permanen disertai dengan penegakan aturan yang konsisten.

Argumen pertama berkaitan dengan keadilan akses terhadap ruang publik. Halte Transjakarta adalah fasilitas publik yang dibiayai oleh pajak masyarakat untuk kepentingan penumpang bus.

Ketika halte diokupasi oleh pengemudi ojol dan pedagang asongan, terjadi privatisasi tidak langsung atas ruang publik untuk kepentingan ekonomi segelintir pihak.

Penumpang Transjakarta yang membayar tiket dan pajak kehilangan haknya untuk mendapat fasilitas yang nyaman. Ini adalah bentuk ketidakadilan yang harus diakhiri.

Argumen kedua menyangkut efektivitas pendekatan penertiban. Data lapangan menunjukkan bahwa penertiban yang dilakukan Satpol PP tidak bertahan lama.

Setelah petugas pergi, pengemudi ojol kembali menduduki halte. Ini terjadi karena penertiban tidak disertai dengan penyediaan alternatif.

Pengemudi ojol membutuhkan tempat untuk menunggu orderan dan menjemput penumpang. Kalau tidak ada fasilitas yang disediakan, mereka akan kembali ke halte karena itulah satu-satunya tempat yang strategis dan teduh.

Pendekatan yang hanya mengandalkan represi tanpa solusi struktural adalah pendekatan yang sia-sia dan membuang-buang sumber daya.

Argumen ketiga berkaitan dengan perlunya integrasi moda transportasi. Terminal Kalideres di Jakarta Barat telah memiliki fasilitas shelter drop-off untuk ojek online sejak 2018, yang bertujuan untuk antar jemput penumpang sekaligus mengantisipasi agar tidak ada ojol yang mangkal di sembarang tempat.

Model ini terbukti efektif. Begitu juga di Stasiun Depok Baru yang sejak Februari 2018 memiliki shelter ojek online di sisi barat stasiun, sebagai tempat bertemunya pengemudi dan penumpang (Kompas.com).

Bahkan, di Stasiun Manggarai, pada 2021 Wakil Gubernur DKI Ahmad Riza Patria memastikan akan membuat shelter ojek online untuk menjaga lalu lintas tidak macet (Detik.com).

Kalau konsep ini sudah diterapkan di beberapa lokasi, mengapa tidak direplikasi secara masif di seluruh wilayah Jakarta, terutama di titik-titik strategis, seperti halte Transjakarta yang ramai?

Tiga langkah konkrit mengintegrasikan ojek online dalam sistem transportasi

Tampak depan shelter ojek online (ojol) di Stasiun Depok Baru, Selasa (22/5/2018). (KOMPAS.com/Ardito Ramadhan D)
Tampak depan shelter ojek online (ojol) di Stasiun Depok Baru, Selasa (22/5/2018). (KOMPAS.com/Ardito Ramadhan D)

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, saya mengusulkan tiga langkah konkrit mengintegrasikan ojol dalam sistem transportasi yang dapat dipertimbangkan oleh pemangku kepentingan.

Pertama, bangun shelter drop-off ojek online di setiap halte Transjakarta yang ramai. Pemprov DKI Jakarta mesti segera menyusun peta halte-halte Transjakarta yang sering disalahgunakan sebagai pangkalan ojol, kemudian membangun shelter khusus di dekat halte tersebut.

Shelter tidak perlu mewah, cukup berupa kanopi sederhana dengan area tunggu yang nyaman dan sistem penomoran digital untuk mempermudah penumpang menemukan pengemudi mereka.

Lokasi shelter harus strategis: cukup dekat dengan halte agar penumpang tidak perlu berjalan jauh, tetapi terpisah agar tidak mengganggu operasional halte.

Di shelter, sediakan fasilitas seperti tempat duduk, stop kontak untuk mengisi daya ponsel, toilet, dan mungkin kantin kecil. Dengan fasilitas yang memadai, pengemudi ojol tidak perlu lagi menduduki halte Transjakarta.

Anggaran untuk pembangunan shelter dapat dialokasikan dari APBD DKI atau melalui skema kerja sama dengan perusahaan penyedia layanan ojol yang juga diuntungkan dari tersedianya infrastruktur ini.

Kedua, terapkan sistem zonasi dan aturan ketat dengan teknologi pendukung. Setelah shelter dibangun, pemerintah mesti membuat aturan tegas: pengemudi ojol hanya boleh menjemput penumpang di shelter yang telah disediakan, bukan di halte Transjakarta atau sembarang tempat.

Untuk menegakkan aturan ini, gunakan teknologi geofencing dalam aplikasi ojek online. Geofencing adalah teknologi yang membuat 'pagar virtual' atau batas wilayah digital menggunakan GPS atau sinyal lokasi di smartphone.

Aplikasi dapat diatur agar pengemudi hanya bisa menerima orderan pick-up di zona shelter yang telah ditentukan, bukan di halte Transjakarta.

Kalau pengemudi tetap nekat parkir di halte, terapkan sanksi tegas: tilang dengan denda yang signifikan untuk pelanggaran pertama, dan penangguhan akun untuk pelanggaran berulang.

Pasang papan larangan yang jelas di setiap halte dengan informasi lokasi shelter terdekat. Libatkan perusahaan ojol dalam sosialisasi kepada pengemudi tentang aturan baru ini.

Dengan kombinasi infrastruktur, teknologi, dan penegakan aturan yang konsisten, pelanggaran dapat diminimalkan.

Ketiga, bentuk tim koordinasi terpadu antarinstansi untuk pemantauan dan evaluasi berkala. Masalah penyalahgunaan halte Transjakarta bukan tanggung jawab satu dinas saja.

Ini membutuhkan koordinasi antara Dinas Perhubungan yang mengatur transportasi, Satpol PP yang menegakkan aturan, PT Transjakarta yang mengelola halte, dan bahkan perusahaan ojek online sebagai mitra.

Bentuk tim koordinasi khusus yang bertemu secara rutin untuk memantau implementasi shelter, mengevaluasi efektivitasnya, dan mengatasi masalah yang muncul.

Tim ini juga bertugas mengidentifikasi lokasi-lokasi baru yang membutuhkan shelter seiring dengan perkembangan jaringan Transjakarta.

Libatkan warga dan penumpang Transjakarta dalam mekanisme pengaduan melalui aplikasi atau hotline khusus, sehingga pelanggaran dapat segera ditindak.

Lalu, tidak lupa untuk melakukan evaluasi berkala setiap tiga bulan untuk mengukur tingkat kepatuhan dan kepuasan penumpang.

Model koordinasi terpadu ini penting karena masalah transportasi bersifat multidimensional dan tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan sektoral.

Penutup

Halte Transjakarta yang disalahgunakan sebagai pangkalan ojek online adalah cerminan dari kegagalan perencanaan transportasi yang integratif.

Ojol dan Transjakarta seharusnya tidak berada dalam hubungan konflik, melainkan saling melengkapi dalam sistem transportasi Jakarta yang lebih baik.

Tiga solusi yang ditawarkan: pembangunan shelter khusus, penerapan sistem zonasi dengan teknologi, dan koordinasi terpadu antarinstansi, adalah langkah konkrit yang dapat segera diimplementasikan tanpa memerlukan anggaran yang fantastis.

Yang dibutuhkan adalah kemauan untuk mengubah pendekatan dari yang bersifat represif menjadi solutif, dari yang parsial menjadi terintegrasi.

Pengemudi ojol membutuhkan tempat untuk bekerja dengan nyaman dan tertib. Penumpang Transjakarta membutuhkan halte yang berfungsi sesuai peruntukannya. Keduanya bisa dipenuhi dengan perencanaan yang baik dan pelaksanaan yang konsisten.

Saatnya Jakarta membuktikan, bahwa transportasi publik yang nyaman dan moda transportasi modern seperti ojol dapat hidup berdampingan secara harmonis, bukan saling berebut ruang.

Halte Transjakarta harus dikembalikan kepada fungsinya yang sejati: melayani penumpang bus, bukan menjadi pangkalan ojek online.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun